Pernah suatu hari Asav datang ke rumahku dengan wajah kusut dan mata bengkak. Sejak kamu sering menghabiskan waktu bersamaku, anggota divisi yang lain terkadang ikut datang ke rumah. Entah untuk belajar bersama atau hanya sekedar bermain —Binar bahkan sempat beberapa kali menginap. Hanya saja tidak pernah sekalipun mereka datang tanpa pemberitahuan seperti hari itu.
Dengan segera aku menghubungimu, ketika melihat kondisi Asav yang kacau. Padahal baru minggu lalu kita semua bersenang-senang di gunung, tapi sekarang keadaan Asav seolah menunjukan bahwa ia telah menangis sendirian selama berhari-hari. Untung saja kamu segera menyanggupi untuk datang setelah aku menjelaskan keadaan yang ada.
"Kamu kenapa?" tanyamu pada Asav sesaat setelah mendudukan diri di sofa ruang tamuku. Untungnya hari ini Papa dan Mama sedang pergi menghadiri acara makan siang bersama teman kuliah mereka dulu, sehingga otomatis aku hanya sendirian di rumah.
"Asav," panggilmu ketika lelaki berkaca mata itu hanya diam dan tidak merespon pertanyaanmu sebelumnya. Perlahan Asav mengangkat wajah untuk menatapmu, dan aku dapat melihat dengan jelas lingkaran hitam di bawah matanya.
"Papa sama Bunda mau bercerai," jawab Asav pelan. Suaranya terdengar pecah, sementara nafasnya tampak berat. Aku rasa ia sedang menahan tangisan.
"Menangis saja, ada kami disini." Perlahan kepalanya kembali menunduk, dan tak lama kemudian ku lihat bahunya bergetar. Ia menangis tanpa suara, membuatmu segera saja menariknya dalam satu rangkulan.
Butuh waktu cukup lama sampai getaran pada bahu Asav mereda. Ia tampak enggan untuk mengangkat kembali wajahnya, sehingga kamu harus sedikit memaksa ketika ingin melihat seberapa parah bengkak pada matanya. Mata bengkak karena menangis tidak terlalu sulit untuk di atasi. Aku segera mengambil kain dan es batu, lalu menyerahkannya padamu. Yah, bukankah lebih baik kalau kamu —sebagai sesama lelaki— yang menangani Asav?
"Mau bercerita?" Asav tampak meragu sejenak, sebelum kemudian mengangguk. Ia sedikit memberi jarak di kalian, namun tidak melepaskan rangkulanmu.
"Setelah pulang dari liburan bersama kalian, rumahku sepi. Tiba-tiba saja Papa gak pulang selama berhari-hari. Aku kira cuma perkerjaan kantor biasa, karena Bunda pun terlihat baik-baik saja." Dia menarik nafas sekali, sebelum kemudian melanjutkan.
"Dua hari yang lalu Papa pulang dengan seorang wanita dan sepasang anak kembar. Kata Papa itu anaknya. Bunda marah sampai teriak-teriak —aku gak pernah lihat Bunda semarah itu. Lalu Papa ikut marah dan menampar Bunda." Samar, ku lihat matanya kembali di lapisi oleh selaput air. Sekali kedipan, dan aku yakin Asav tidak akan bisa menahan aliran air matanya.
"Papa bilang, semua karena Bunda yang gak bisa ngasih dia perhatian. Papa bilang, semua karena aku yang menyusahkan." Suaranya memelan pada bagian akhir. Kamu sendiri tampak terkejut ketika mendengarnya.
"Kalau bisa, rasanya aku gak mau tahu masalah mereka. Lebih baik aku gak tahu penyebab mereka bercerai."
"Kenapa?" tanyamu, membuat Asav memberikan sebuah tatapan heran.
"Karena dengan gak tahu artinya aku gak akan seterluka ini," jawabnya yakin, namun kamu malah menggeleng.
"Gak tahu apa-apa gak bikin kamu baik-baik aja. Gak tahu apa-apa cuma bikin kamu merasa baik-baik aja." Asav terdiam sebentar, mencerna ucapanmu waktu itu. Entah apa yang ada di pikirannya, karena setelah itu ia malah mengendikan bahu; tak mau peduli.
"Rasanya itu lebih baik."