Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #22

21. Kesadaran Yang Menyeruak Keluar

Sebuah operasi yang memakan waktu hampir dua belas jam membuatku terpaksa menginap lagi di rumah sakit malam ini. Padahal sudah dua malam aku tidak pulang, dan tampaknya Papa harus kembali bersabar menunggu anak satu-satunya ini kembali ke rumah.

Rasa lelah segera saja menyergapku begitu aku memasuki ruang kerja. Jas dokterku tergeletak begitu saja di atas meja, sementara aku bergegas membasuh wajah dan menggelar sebuah kasur lipat. Tubuhku yang terasa lengket, membuatku urung segera terlelap. Pada akhirnya aku memutuskan untuk mandi, dengan resiko terserang flu besok.

Mandi malam memanglah tidak sehat, terlebih untuk wanita. Namun, apa boleh buat kalau tubuhku sudah memberi kode untuk segera dibersihkan. Berada di ruang operasi yang berpendingin ruangan tetap saja akan membuat berkeringat, terlebih saat sedang di hadapkan dengan masalah hidup dan mati seseorang.

Sayangnya, bukan hanya tubuhku yang rindu mandi malam ini. Pikiran dan hatiku pun sepakat untuk merindukanmu. Padahal, aku sudah berjanji untuk melupakanmu. Namun, aku bisa apa saat rindu datang tak tahu waktu.

Segera saja kenangan tentangmu berputar dalam pikiranku, seakan aku sedang menonton sebuah film dengan pemeran utama kita berdua. Di mulai dari pertemuan pertama kita, pembicaraan-pembicaraan kita, sampai pada awal mula permasalahan yang membuat kita sejauh sekarang.

Sebelumnya aku tidak pernah menyadari bahwa kemustahilan hubungan kita bukan hanya terletak pada perbedaan medasar seperti kepercayaan atau perasaan. Tidak. Nyatanya segala sesuatunya lebih rumit dari yang aku bayangkan.

Aku kira aku sudah mengenalmu, mengertimu, memahamimu. Aku kira aku sudah menjadi sadaranmu, tempatmu berlabuh walau hanya sementara. Ternyata aku salah. Sejak dulu, banyak hal-hal yang kamu sembunyikan dariku. Banyak rahasia, banyak pertanyaan, banyak jawaban.

Pada akhirnya barulah aku sadar, bahwa kita hanyalah semu. Kamu tak pernah menjadikanku tempat untuk pulang. Aku tidak pernah kamu jadikan tujuan.

Dirimu ibarat bawang yang berlapis. Aku bahkan belum menembus lapisan terluarmu, disaat aku merasa sudah berhasil mengupas sampai pada lapisan terakhir.

Dirimu ibarat kapal, atau pesawat, atau apapun itu. Aku bahkan hanya melihat bayangan terbungkus kabut kenyamanan, disaat aku merasa sudah melihatmu seutuhnya.

"Manusia tanpa mimpi juga bukan manusia namanya. Bisa kamu bayangkan gimana rasanya hidup tanpa mimpi? Rasanya seperti mati."

Aku bahkan tidak menyadari bahwa selama ini kamu hidup tanpa kehidupan. Bahwa selama ini kamu sudah merasakan kematian, bahkan ketika jantungmu masih berdetak.

"Harapan, biasanya muncul ketika cita-cita atau mimpi yang sedang dicapai mengalami jalan buntu. Hal paling tidak realistis, karena harapan sering datang dengan cara tidak terduga. Bisa menjadi penopang, sekaligus penghancur dari mimpi dan cita-cita."

Lihat selengkapnya