Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #23

22. Dokter Leo

Pagi ini aku bangun dengan kepala pening dan hidung tersumbat. Tampaknya mandi tengah malam selama tiga malam berturut-turut mulai menunjukan efeknya. Dengan cepat aku mengambil sebuah obat flu dan vitamin C yang selalu tersedia pada laci meja kerjaku, merasakan pahit dan asam yang masuk ke dalam mulut berturut-turut.

Baru saja hendak kembali memejamkan mata, dering telepon yang berulang-ulang membuatku menggeram kesal. Dengan enggan aku merogoh-rogoh kantung jas dokterku, berusaha menemukan ponsel dalam keadaan mata terpejam.

"Selamat pagi, Dokter Nara. Sudah memeriksa keadaan pasien?" Aku mengernyit bingung mendengar suara pria di seberang sana.

"Siapa ini?" tanyaku. Tampaknya suaraku terdengar lebih serak dari yang seharusnya, karena siapapun yang meneleponku saat ini terdengar begitu khawatir.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya lagi. Aku mengangguk sekali, sebelum kemudian buru-buru menjawab ketika menyadari dia tidak dapat melihatku.

"Iya, hanya sedikit pusing. Mungkin flu." Kemudian hening. Aku sampai harus memaksakan diri untuk membuka mata agar dapat memastikan kalau panggilan ini masih terhubung.

Ah, ternyata Dokter Leo.

"Dok?" panggilku. Terdengar dehaman sekali, sebelum kemudian suara Dokter Leo kembali terdengar.

"Kamu yakin tidak apa-apa?" Aku sedikit mengernyit mendengar nada khawatir dalam suaranya. Selama ini Dokter Leo bukanlah seseorang yang akan repot-repot menanyakan kabar rekan sekerjanya.

"Tidak apa-apa. Saya akan tidur sebentar, lalu memeriksa keadaan pasien." Kembali hening yang mengisi pendengaranku. Entah apa yang sedang ia lakukan —atau pikirkan— di seberang sana sampai membiarkanku berbicara dengan udara kosong.

Pening di kepalaku bertambah, membuatku tergoda untuk memutuskan panggilan dan mematikan ponsel. Untung saja suara Dokter Leo kembali terdengar tak lama kemudian.

"Tidak perlu memeriksa pasien untuk hari ini. Istirahat saja, aku bisa menggantikan tugasmu." Aku termenung sesaat mendengar perkataan Dokter Leo.

"Dokter serius?" tanyaku padanya. Ia kembali berdeham sekali, sebelum kemudian menjawab.

"Iya. Kamu istirahat saja. Aku akan meminta seseorang untuk mengantarkan sarapan." Dan setelah itu panggilan terputus begitu saja. Aku hanya bisa terkejut sendirian, apalagi ketika lima belas menit kemudian terdengar ketukan di pintu ruang kerjaku.

"Ada apa?" tanyaku ketika mendapati seorang perawat yang menatapku penasaran.

"Dokter Leo meminta saya untuk mengantarkan ini," katanya sambil menyodorkan sebuah kotak sterofoam. Tampaknya bukan makanan dari kantin rumah sakit, karena penggunaan sterofoam sebagai pembungkus makanan sudah di larang.

"Terima kasih," kataku kemudian. Kotak sterofoam itu hangat, meksipun aku tidak dapat membaui aroma apapun dari dalamnya. Baru saja hendak menutup pintu, perawat tersebut kembali membuka suara.

"Dokter Nara dan Dokter Leo ada hubungan spesial?" tanya perawat tersebut. Aku tidak tahu bagaimana ekspresiku saat ini, yang jelas perawat tersebut tampak canggung ketika kembali melanjutkan perkataannya.

"Maaf Dok kalau saya terlalu kepo. Cuma Dokter sendiri kan tau, Dokter Leo tuh juteknya kayak gimana. Tadi di kantin pada heboh loh pas tiba-tiba Dokter Leo nyari orang yang bisa dimintain tolong buat nganter sarapannya Dokter Nara."

Mau tidak mau aku tercengang ketika mendengar perkataan perawat tersebut. Aku sendiri sudah merasa ada yang salah sejak Dokter Leo meneleponku beberapa saat lalu. Tapi, aku tidak menyangka kalau bukan hanya aku yang merasa seperti itu.

"Saya dan Dokter Leo hanya berteman," jawabku pada akhirnya. Jawaban paling aman sekaligus paling riskan yang dapat aku pikirkan. Tiba-tiba saja aku merasa kembali menjadi remaja labil yang baru saja mendapatkan pengakuan perasaan.

Tunggu.

Dokter Leo tidak mungkin memiliki perasaan lebih padaku kan. Maksudku, dia adalah Dokter Leo. Sementara aku hanyalah seorang Nara. Tidak ada yang bisa ia sukai dari diriku.

"Masih teman mungkin Dok. Kalau suatu saat lebih dari teman, satu rumah sakit mendukung kok," kata perawat tersebut, sebelum kemudian melangkah pergi menjauhi ruang kerjaku, "Saya permisi dulu, Dok."

Masih dalam kondisi tidak percaya, aku mengangguk dan menutup kembali pintu. Kasur tipis yang menjadi alas tidurku semalam segera aku lipat kembali, membuat ruanganku terasa lebih lenggang.

Peningku berkurang, sehingga aku mulai menyiapkan peralatan makan. Ketika membuka kotak sterofoam tersebut, aroma bubur ayam dengan kuah kuning dan taburan daun bawang segera menyerbu penciumanku.

Dengan cepat aku mencari ponselku, membuka aplikasi chat, dan mengirimkan Dokter Leo sebuah pesan.

NarasiAmerta

Terima kasih buburnya:)

Lihat selengkapnya