Aphelion

Clarissa Kawulur
Chapter #25

24. Hubungan Yang Tidak Bisa Diperbaiki

"Cakra?" Panggilku ketika melihat siluet lelaki berambut cepak sedang berdiri diam di antara bayangan pepohonan. Suasana lapangan cukup ramai, namun batang-batang pohon besar cukup menyembunyikan sosoknya.

Ia tampak terkejut ketika melihatku berjalan mendekat. Samar, aku mencium aroma tembakau yang cukup kuat.

"Kenapa?" tanya Cakrawala. Setelah menatapku sekilas tadi, fokusnya kembali pada benda kecil yang menghasilkan asap ketika dihisap. Aku berusaha tidak memperdulikan sebatang rokok yang terselip di antara kedua jarinya, walaupun akhirnya gagal.

"Kamu merokok?" dia mengangkat alis mendengar pertanyaanku itu. Sesaat ekspresinya tampak keberatan ketika aku memposisikan diri tepat di sebelahnya, sebelum kemudian ia mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah.

"Kenapa dimatiin?" tanyaku heran.

"Kamu bukan perokok. Lagian, resiko terkena penyakit akibat perokok pasif lebih berbahaya dari perokok aktif." Aku tidak bisa untuk tidak tercengang ketika mendengarnya.

Sejujurnya, kamu dan Cakrawala itu serupa. Kalau menurut istilah Binar, satu spesies. Kalian memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan orang. Kalian melihat segala sesuatu bukan hanya melalui sudut pandang kalian sendiri, melainkan juga dari sudut pandang orang lain.

"Kamu kenapa?" tanya Cakrawala tiba-tiba, membuatku sedikit tersentak kaget.

"Kamu yang kenapa," kataku. Sebuah hembusan nafas, sebelum kemudian lelaki itu menjawab.

"Gak apa-apa."

"Masih kepikiran soal Asav?"

"Sedikit." Lagi-lagi sebuah hembusan nafas. Tampaknya, permasalahan dengan Asav kemarin benar-benar membebani pikirannya.

"Mau cerita?" Ia menatapku sekilas. Untuk sesaat aku berpikir Cakrawala akan meninggalkanku begitu saja tanpa jawaban apapun.

"Rasanya sakit pas dengar Asav bilang seperti itu." Aku segera memasang telinga baik-baik ketika dia mulai berbicara. Yang aku tahu, Cakrawala bukan seseorang yang mudah mencurahkan perasaannya. Sehingga ketika ia mau sedikit terbuka seperti waktu itu, segera saja rasa peduliku menyeruak keluar.

"Maksudku, aku mungkin tidak mengerti apa yang ia alami. Tapi, keluargaku sendiri tidak sesempurna yang ia pikirkan," katanya. Matanya tampak menerawang, menatap langit meski aku tahu bukan itu yang sedang ada di pikirannya.

"Ia bahkan tidak tahu apa-apa tentang keluargaku."

"Kamu tahu, kalau orang tua Asav mau bercerai?" tanyaku perlahan.

"Tahu," jawabnya. Wajahnya mengeras ketika menambahkan, "Tapi, bukan berarti itu membenarkan sikapnya kemarin."

Lihat selengkapnya