Suara ketukan pada pintu kamar membuatku mengerang kesal dan menaikan selimutku hingga menutupi wajah. Tak lama kemudian terdengar deritan lembut ketika pintu kamarku di buka, diikuti suara langkah kaki yang aku tebak milik Mama.
"Nara, di luar ada Agam," kata Mama pelan sembari menarik selimutku. Aku mengerjap perlahan sebelum meresapi perkataan Mama waktu itu.
"Hah? Siapa?" tanyaku dengan kesadaran yang masih di ambang batas.
"Agam," jawab mama seraya tersenyum geli. Wanita berparas kecil itu menarikku berdiri, membuatku kembali mengerang kecil.
"Kak Agam?" tanyaku lagi ketika rasa kantuk mulai berhenti menggelayut manja pada dua kelopak mataku.
"Iya."
"Kak Agamnya Nara?" Kali itu tawa Mama pecah, sehingga aku menatapnya bingung.
"Sejak kapan Agam jadi milikmu?" tanya Mama. Dapat aku rasakan wajahku memanas, mungkin sudah merona merah sekarang karena tawa Mama semakin keras.
"Maksudku Kak Agam kakak kelas Nara," jawabku salah tingkah. Butuh beberapa saat bagi Mama untuk menghentikan tawanya, lalu beranjak keluar dari kamarku.
"Sudah, sana temui dia," kata Mama. Setelah itu aku kembali sendirian, duduk diam di atas kasur sembari menatap sinar mentari pagi yang masuk melalui jendela kamar.
Sebuah kesadaran menghantamku ketika aroma nasi goreng memenuhi ruang-ruang kosong dalam kamar. Dengan cepat aku mengganti piyamaku dan membilas wajah.
Ketika aku melangkahkan kaki memasuki ruang makan yang menyatu dengan dapur, tampak dirimu duduk di sana bersama Papa. Helai rambut hitammu tampak bergerak lembut mengikuti tubuhmu yang bergetar menahan tawa. Di seberang meja Papa sedang mengatakan sesuatu yang tidak terdengar dari tempatku berdiri.
"Kak Agam ngapain?" tanyaku begitu mendudukan diri tepat di sampingmu. Kamu tampak terkejut, namun dengan segera menguasai diri.
"Pagi, Nara," sapamu. Senyummu terlihat cerah, membuatku kembali merasakan debaran pada rongga dadaku.
"Pagi juga, Kak," balasku, "Jadi, Kak Agam ngapain?"
"Memangnya aku tidak boleh ke rumahmu?" kamu malah balas bertanya. Tampak Papa tersenyum geli melihatku salah tingkah, sebelum kemudian memilih untuk bergabung bersama Mama di depan kompor yang menyala.
"Boleh. Cuma, seharusnya kan Kak Agam belajar," jawabku canggung sementara kamu tersenyum simpul.
"Anggap saja ini minggu tenang sebelum badai."
Setelah itu sunyi. Aku memilih untuk menyibukan diri mengunyah nasi goreng, sementara kamu mengaduk-aduk segelas susu coklat. Dari sekian banyak orang yang kamu kenal, kamu adalah satu-satunya lelaki yang begitu menyukai susu. Segala produk olahan susu, mulai dari keju, yogurt, es krim, sampai pada permen tidak pernah gagal membuatmu tertarik.