Awal bulan ke delapan. Hari pertama kamu mengikuti ujian akhir. Rasanya ada bagian diriku yang perlahan patah, bersikeras untuk mengikuti kamu. Padahal, aku sendiri tahu kalau kebersamaan kita beberapa minggu yang lalu merupakan momen terakhir sebelum kamu benar-benar pergi.
Betapa hati bisa menjadi begitu egois.
Aku sudah meminta pada semesta sebuah kebersamaan denganmu. Semesta sudah memberikannya. Dan aku masih saja tidak merasa puas.
"Nara, makan dulu," panggilan Mama membuatku seketika tersadar. Aku menatap selembar kertas yang sudah dipenuhi garis-garis abstrak. Rupanya sedari tadi aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sampai tidak menyadari bahwa tanganku bergerak membentuk coretan tidak beraturan.
Dengan cepat aku membereskan kertas-kertas yang berserakan, ketika pandangan mataku terjatuh pada sebentuk wajah hitam putih milikmu.
Aku ingat, foto itu merupakan satu-satunya foto dirimu yang berhasil aku ambil dengan sedikit paksaan.
Saat itu kamu sedang sakit, dan aku diminta oleh Mama untuk mengantarkan sup ke rumahmu. Kenyataan bahwa ketika sakit, kamu menjadi jauh lebih manja sekaligus lebih mudah dirayu membuatku berhasil memotretmu walau hanya sekali.
Saking senangnya, aku sampai mencetak foto itu dan meletakannya dalam bingkai yang aku pajang di atas meja belajar.
"Nara," panggil Mama lagi, membuatku dengan cepat menaruh kembali fotomu tersebut dan bergegas menuju ruang makan.
"Ayo, makan dulu." Kali itu suara Papa. Aku tersenyum senang ketika mendapati Papa sudah berada di rumah saat waktu makan malam. Ini merupakan peristiwa langka yang mungkin hanya bisa aku nikmati beberapa kali dalam sebulan.
Kami makan dalam hening, sampai kemudian suara Papa kembali terdengar.
"Kenapa Agam sudah tidak pernah ke sini?" Sesaat rasanya makanan dalam mulutku mengeras dan tidak dapat melewati kerongkongan dengan lancar. Aku terbatuk beberapa kali, membuat Mama menyodorkan segelas air padaku.
"Kak Agam lagi ujian," jawabku pada akhirnya.