Hai.
Tidak aku sangka, sebuah kata sederhana itu yang akan menjadi pembuka sekaligus penutup dari kisah kita.
Berat memang untuk menuliskan semua tentangmu, di saat mengingatmu saja bisa membuatku kembali terluka.
Bagaimana netra sekelam malam milikmu selalu terlihat memukau. Bagaimana senyum berlesung pipi milikmu selalu berhasil menenangkan. Bagaimana elusan lembut pada puncak kepalaku selalu menjadi pertanda akan hadirnya dirimu.
Perjalanan kita bisa di bilang waktu yang sebentar.
Setahun, atau mungkin kurang.
Sayangnya, perasaanku padamu terlalu keras kepala untuk tidak pergi sesaat setelah aku menyadari bahwa aku dan kamu adalah suatu kemustahilan yang dipaksakan semesta.
Ya, semesta.
Lagi-lagi semesta.
Karena ia selalu saja menyelipkan hal-hal kecil mengenai dirimu —entah itu dalam bentuk bayang, siluet, maupun bisikan suara— dalam jangkauan indraku sehingga aku sama sekali tidak bisa menghilangkan kamu dari pikiran barang sesaat saja.
Atau mungkin, hanya aku yang terlalu mencari-cari pembenaran diri.
Pembenaran untuk selalu mengingatmu. Pembenaran untuk selalu merindukanmu. Pembenaran untuk selalu mengharapkanmu.
Sekalipun aku tahu, bahwa kemustahilan kita bukan hanya terletak pada perbedaan-perbedaan mendasar seperti kepercayaan atau perasaan.
Aku tahu, tapi baru sekarang aku bisa menerimanya.
Bahwa kemustahilan kita jauh lebih dalam dari apa yang terlihat.
Bahwa kemustahilan kita menyangkut berbagai aspek kehidupan yang sampai sekarang tidak mau aku pahami.