Apoge

Kinalsa
Chapter #4

Fase 1.3

Cerise mendesah. Berat, tetapi tak cukup mampu meluruhkan bebannya. Rutinitasnya yang hanya bolak-balik sekolah-rumah terasa seperti pertandingan yang menguras banyak tenaga. Begitu mobil sudah berhenti sempurna di pelataran parkir sekolah, dia langsung berpamitan pada masnya, Rafan. Tangannya sudah akan membuka pintu mobil ketika pemandangan manis dari dalam mobil sebelah menyapa bagai rekaman film pendek.

Hanya sesosok perempuan yang mencium punggung tangan ayahnya kemudian tertawa saat sang ayah memberitahukannya sesuatu. Adegan klise sepasang ayah dan anak. Namun, Cerise masih belum menggerakkan dirinya hingga perempuan tersebut turun dari mobil disertai lambaian tangan, disusul deruman halus mesin mobil yang meninggalkan pelataran parkir.

Setelah mengembuskan napas panjang sekali, Cerise akhirnya menoleh pada Rafan. Dilihatnya Rafan masih memperhatikan perempuan tadi.

“Mas,” panggilnya yang ternyata belum berhasil mengambil atensi Rafan. Cerise akhirnya memanggil lebih keras seraya menggoyangkan pundak masnya itu sekali.

“Hem?” Rafan menanggapi dengan linglung. Sedetik kemudian, raut wajahnya kembali normal. “Turun buru,” titahnya ketus.

Cerise mendengkus dan turun dari mobil dengan wajah masam. Tanpa memastikan Rafan keluar dari area sekolahnya dengan selamat, dia langsung berjalan menyusuri koridor menuju kantin.

Perempuan tadi melangkah tepat di depannya. Beberapa sapaan datang beranjang dari murid-murid di sepanjang koridor. Kontras dengan Cerise yang hanya dilewati begitu saja. Tiba di kantin, mata Cerise masih mengikuti pergerakannya yang tertuju pada seorang lelaki. Figur jangkung lelaki itu langsung mengingatkan Cerise pada lelaki yang mengambilkannya bunga kemarin sore.

Mereka terlibat perbincangan sebelum si perempuan mengambil alih ponsel yang sedari tadi dimainkan landscape oleh Lelaki Tanpa Nama. Sementara, Cerise menyebutnya begitu karena dia tidak mengenalnya. Tidak berencana mengenalnya juga. Sosoknya terlalu mengingatkan Cerise pada Park Jae Eon dalam “Nevertheless”, meski hanya dilihat dari luar. Tipe-tipe lelaki buaya yang patut Cerise hindari.

Lihat saja. Sekalipun ada perempuan di hadapannya yang terus mengajaknya mengoceh, Lelaki Tanpa Nama malah terus memaku pandangannya pada Cerise. Lagi-lagi, bibirnya membentuk segaris senyum yang justru terlihat seperti seringaian terdakwa penculik anak dalam pandangan Cerise.

Cerise melewati mereka yang masih berdiri di depan kantin begitu saja. Langkahnya menuju koperasi sekolah yang terletak di pojok paling kanan kantin. Perhatiannya langsung dipenuhi dengan beragam gel pen dan pena penyorot dengan dua warna berbeda di masing-masing sisi. Cerise masih memikirkan akan memilih pena penyorot dengan warna hijau-biru atau biru-jingga saat seseorang hadir di sisinya.

Amira.

“Ayah ngajak dinner.” Perempuan itu berujar tiba-tiba dengan jari tangan sibuk memilah penggaris.

Cerise meliriknya sekilas. “Enggak.”

“Ngomong sama Ayah, dong,” balas Amira keki. “Chat Ayah enggak dibales, telepon Ayah enggak lo angkat, gue yang diteror.”

Cerise membalikkan tubuhnya, hendak membayar yang sialnya keburu tertahan Amira.

“Ngomong sama Ayah langsung. Gue enggak mau diteror terus-terusan.”

“Iya!” balas Cerise sekenanya, kemudian melangkah cepat setelah menyelesaikan urusan gel pen dan pena penyorotnya.

Lama-lama, Cerise pusing juga berinteraksi dengan orang-orang.

🌑🌑🌑

“Hai, Nan.” Amira mengambil duduk di hadapan Nanda. Matanya memandang takjub sepiring nasi dan soto dengan asap terkepul yang ada di hadapan Nanda, sementara lelaki itu makan dengan fokus terbagi pada laptop. Kacamata yang biasanya hanya dia gunakan di dalam kelas, kini tergantung di atas hidungnya.

“Mir.” Nanda membalas dan mengangkat kepala seperlunya.

“Kok, air putih?” Langit protes saat Amira menyodorkannya sebotol air mineral.

Lihat selengkapnya