Bulan Sabit
(Bulan yang bagiannya hanya terlihat kurang dari setengah)
🌒🌒🌒
Cerissya, 7 tahun
Cerise tersenyum menatap pantulan dirinya sendiri dalam cermin. Kepalanya dia gelengkan ke kanan dan kiri hingga rambutnya yang dikuncir dua bergoyang. Cerise suka melihat rambutnya sendiri bergoyang. Terlihat lucu.
Suasana hatinya sedang bagus siang ini karena ternyata dia satu sekolah dengan Eiran, teman mainnya. Hanya berbeda kelas, tetapi Cerise tidak masalah. Toh, mereka masih bisa bermain bersama saat istirahat. Mungkin ini juga alasan Bunda Terre tidak memasukkan Cerise ke dalam SD yang sama dengan Rafan, agar dia bisa bersama Eiran. Cerise akan mengucapkan terima kasih kepada bundanya menjelang tidur nanti.
Tubuh Cerise sekarang sudah dibalut pakaian santai karena si Mbak menyuruhnya langsung berganti pakaian saat tiba di rumah tadi. Padahal, Cerise sudah akan berlari menuju rumah Eiran ketika si Mbak menahannya. Katanya, “Ganti baju dulu, Nèng. Kalau langsung main entar seragam Nèng kotor. Nanti Nèng dimarahin Bunda, dimarahin ibu guru, dimarahin kepala sekolah.”
Cerise mengangguk pura-pura mengerti meski dia bingung siapa itu kepala sekolah.
Merasa urusannya sudah selesai, Cerise keluar dari kamarnya dengan sedikit berlari. “Mbak!” teriaknya yang kemudian memunculkan sosok si Mbak dari balik tangga. Wanita berusia pertengahan kepala tiga itu datang dengan napas terengah-engah.
“Iya, Nèng?”
“Cerise main sama Eiran.”
“Makan siang dulu, Nèng.”
“Enggak mau!” Cerise langsung berlari ke luar rumah, mengabaikan teriakan si Mbak dan menuruni anak tangga menuju halaman rumahnya dengan terburu-buru.
Rumah Eiran tepat berada di samping kanan rumahnya. Jadi, Cerise tidak membutuhkan waktu lama untuk langsung dapat mengetuk pintu rumah Eiran. Tombol bel yang berada di sisi pintu terlalu tinggi untuk Cerise yang pendek.
Tidak lama, pintu berdaun dua tersebut terbuka menampilkan sosok Eiran. Tinggi mereka sama. Mata mereka sama-sama bulat. Hanya saja, Eiran lebih kurus dari Cerise. Keduanya sama-sama tersenyum begitu sudah berhadapan.
“Main, yuk!” ajak Cerise antusias.
Eiran mengangguk sama antusiasnya. Kaki kecilnya bergerak mendekati Cerise dan menutup pintu rumah dengan pelan. Mereka sudah bergandengan berencana bermain ayunan yang sengaja dibangun papa Eiran di halaman rumah ketika dua anak perempuan lain tiba-tiba muncul.
Mona dan Meni. Sepupu bersaudara yang mempunyai wajah menyerupai anak kembar. Cerise hanya mengenal mereka sebatas nama karena rumah mereka berada di satu lingkungan yang sama.
“Eiran, ayo, main!” Salah satu dari mereka mengajak, tidak terpengaruh dengan kehadiran Cerise.
“Kok, ada Cerise?” Baru yang satunya lagi mengacuhkan.
“Aku suka main sama Cerise.” Eiran memperkenalkan Cerise dengan bangga, kemudian menatap Cerise masih dengan senyum imutnya. “Mona sama Meni satu kelas sama aku. Kita main bareng, yuk!”
Cerise gugup, tetapi bercampur senang. Selama ini, hanya Eiran yang mau dia ajak bermain. Anak-anak lain enggan, atau harus Cerise dulu yang memulai pertemanan. Sepertinya, mulai hari ini, teman mainnya akan bertambah. Cerise seketika antusias memikirkan akan memamerkan hal ini pada si Mbak. Namun, sosok yang Cerise kenal sebagai Mona malah menggeleng.
“Enggak mau, ah. Kata Mama, ayah Cerise jarang pulang ke rumah soalnya Cerise anak nakal.”
“Memang, iya?” Meni menyahut.
Mendapati ketiga wajah menuntut di hadapannya membuat Cerise takut. Ingin menyangkal, tetapi Ayah Ardian memang jarang pulang ke rumah sejak lama.
“Ayah aku kerja.” Suara Cerise akhirnya muncul, walau bergetar. “Kata Ayah, kerjaan Ayah banyak. Jadi, enggak bisa pulang.”
“Masa mamaku bohong?” Mona memekik tidak terima.