Dimulai dari SD kemudian berlanjut ke SMP, Langit bukan menjadi satu-satunya atau lelaki pertama yang mendekati Cerise. Namun, lelaki-lelaki sebelumnya akan mundur teratur saat Cerise hanya merespons mereka ala kadarnya, atau berbalik menjauhinya dan mencapnya sombong kala Cerise menolak ajakan kencan mereka.
Ayolah, usia Cerise saat itu masih SD. Ada seorang anak lelaki dari kelas lain yang memberikan Cerise setangkai bunga mawar berduri dan mengajaknya menonton bioskop. Cerise yang sudah mengerti arti pacaran karena terpengaruh oleh Irene langsung menolaknya dan berujung perundungan oleh geng lelaki itu.
Masa SMP mungkin lebih parah karena predikat sombong dilekatkan pada dirinya oleh hampir seluruh penghuni sekolah. Ada yang menyebutnya gadis cantik yang sombong; ada yang menyebutnya gadis cantik yang sombong yang hanya mau bergaul dengan Irene, Jihan, dan Fanya saja; ada juga yang menyebutnya gadis cantik berotak kosong.
Semuanya diawali dengan kata gadis cantik yang membuat Cerise entah harus bersyukur atau bertafakur. Kini, apa hidupnya harus menemukan ketidaktenangan lagi karena makhluk bernama Langit?
Langit yang sedang bersandar pada tembok sambil berpangku tangan langsung berdiri tegak dengan senyum lebarnya begitu menyadari kehadiran Cerise. Tidak terlalu banyak murid yang berlalu-lalang di koridor ini karena, seperti biasanya, Cerise menunggu kelasnya kosong sebelum beranjak ke luar.
Cerise mengembuskan napas berat dengan terang-terangan. Namun, agaknya Langit tetap tak terpengaruh dan justru menarik Cerise untuk berjalan bersama. Begitu Cerise menghentikan paksa langkah mereka dan menatap Langit sengit, barulah lelaki itu melepaskannya. Kedua tangannya terangkat ke atas seolah buronan terciduk polisi, tetapi senyumnya terlukis tengil.
“Gue bayar aja.” Cerise masih ngotot.
Langit sama ngototnya dengan menggeleng.
Sebelum membalas, Cerise menarik panjang napasnya. “Jujur, sebenernya tujuan lo apa? Kalau sekarang gue langsung bayar, kayaknya urusan kita langsung selesai.”
“Menurut lo?” Langit menantang dengan raut tengil.
Kali ini, Cerise berani menatap Langit dengan sama menantangnya. Postur tubuhnya yang lebih pendek dari Langit tidak menggerusnya untuk merasa terintimidasi. Karena Cerise memiliki dua tipe manusia dalam kamus hidupnya; tipe yang harus dia “segani” dan tipe yang harus dia perlakukan dengan “terang-terangan”. Langit telah menjebloskan dirinya sendiri untuk masuk ke dalam tipe kedua.
“Kalau yang lo maksud adalah flirting atau apa pun bahasa lo, gue menolak. Gue enggak tertarik. Sebagai saran, daripada lo membuang waktu lo untuk sebuah kesia-siaan, lebih baik sekalian pake logika lo untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat.” Cerise mundur satu langkah. “Biayanya tetep bakal gue transfer, kasih tau gue berapa. Gue enggak akan lari dari tanggung jawab.”
Setelahnya, yang Langit dapati adalah kepergian perempuan itu yang menyisakan aroma parfumnya. Hidung Langit sampai tergelitik. Kekehan ringan terselip dari bibirnya sebelum Langit menyugar rambutnya ke belakang takpercaya.
“Ini gue ditolak?”
🌒🌒🌒
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.” Sosok Papa Nathan langsung terlihat oleh Langit begitu pintu rumah terbuka. Letak dapur yang berada di sisi kiri pintu dan tanpa sekat itu memudahkan Langit untuk melihat Papa Nathan yang tengah memasak sesuatu entah apa. “Kok, baru balik?”
“Main bentar.” Langit tidak sepenuhnya berbohong. Sebelum mengambil seragamnya di penatu, dia menyempatkan mengajak Amira menikmati suasana kafe yang baru dibuka di sekitaran Tugu Kujang.
“Main? Itu temen-temen kamu di atas.”
Langit yang baru melongokkan kepalanya ke arah wajan langsung terdiam. Teman-teman. Kamar. Sialan! Kata teman-teman tidak boleh disandingkan dengan kamar, atau musibah lokal bakal menerjangnya. Langit pamit kilat pada Papa Nathan dan bergegas naik ke lantai dua. Tiga anak tangga dilaluinya sekaligus dengan berlari.
Benar saja. Begitu Langit membuka kasar pintu kamarnya, ketiga makhluk yang sedang berperang bantal di atas ranjang itu kontan menghentikan aksi mereka. Tas, seragam sekolah, serta kotak makanan cepat saji yang berceceran di lantai turut memenuhi perhatian Langit.
Arde yang berdiri dengan bertumpu pada kedua lutut di atas ranjang dan kedua tangan yang masih memegang bantal, menyengir. “Hai, El.”