Salad:
Aku belum kasih nama, Kak.
Tapi, ini Mueeza keliatan seneng banget.
Cerise mengetik pesan balasan untuk Salad sambil tersenyum. Gadis SMP itu mengirimkannya video berisi tingkah aktif Mueeza yang mencoba menarik perhatian kucing baru Salad. Sepertinya, Mueeza memang merasa kesepian karena selama ini Cerise jarang membawanya bermain di luar rumah.
Salad adalah tetangganya sejak tiga tahun lalu. Keluarganya menempati bangunan di samping rumah Cerise yang kosong selama dua bulan setelah kepindahan keluarga Eiran. Sudah tiga tahun. Cerise bahkan tidak tahu ke mana keluarga Eiran pindah dan bagaimana kabar teman masa kecilnya itu. Sekalipun Eiran berubah menjauhinya saat mereka memasuki masa putih-merah, tetapi Eiran jugalah satu-satunya teman yang Cerise punya sebelum masa itu.
Selama SD, benar-benar tidak ada lagi yang mau bergaul dengannya karena rumor Ayah-Cerise-tidak-pernah-pulang menyebar di kelasnya. Sebagian teman sekelasnya seolah “mengikut” saja apa yang dilakukan teman sekelasnya yang lain. Inti yang bisa mereka tangkap adalah Cerise harus dijauhi.
Hingga muncullah sosok Irene, murid pindahan saat mereka duduk di bangku kelas 5. Sampai sekarang, Cerise tidak mengerti mengapa Irene tertarik berteman dengannya. Asumsinya, mungkin Irene merasa kasihan pada siswi yang selalu merenung sendiri di pojok belakang kelas ini.
Cerise mulai mengenal Jihan dan Fanya saat mereka menempuh masa putih-biru. Irene yang mengenalkannya. Boleh dibilang, jika saat itu Irene tidak nekat mendekatinya, mungkin sekarang Cerise hanya punya dirinya sendiri.
Diam-diam, Cerise mengulum senyum mengingat masa itu. Tangannya menopang dagu pada meja kantin. Karena tidak lagi mendapat balasan dari Salad, Cerise memilih memperhatikan Jihan dan Fanya yang sedang memesan makan siang mereka di salah satu sisi kantin. Ada Amira juga di sana. Perhatian Cerise seolah terhipnotis untuk selalu mengikuti gerak-gerik Amira.
Bagaimana perempuan itu menyungging senyum ramah pada setiap orang yang menyapanya, bagaimana dirinya yang selalu tampak anggun walau hanya dibalut seragam putih-abu-abu dan rambut sepinggang terurai, dan bagaimana tawanya keluar saat beberapa lelaki dari salah satu meja kantin mengajaknya berbicara.
Ah, ya. Kehidupan Amira memang terlalu sempurna hanya untuk seorang Cerise.
“Heh!”
Cerise terperanjat begitu Irene tiba-tiba muncul di hadapannya sambil menggebrak meja. Bertepatan dengan Jihan dan Fanya yang datang dengan mangkuk dan gelas berisi di masing-masing tangan mereka. Sekalipun wajah Irene terlihat garang, Cerise lebih memilih fokus pada pesanan yang dibawa Jihan serta Fanya.
“Punya Cerise tadi mangkuknya harus dicuci dulu. Jadi, belum dibikinin.” Fanya seolah menjawab kebingungan Cerise.
“Iya. Minum lo juga belum gue bawain. Tangan gue enggak bisa membelah diri.” Jihan menyengir.
“Enggak apa-apa, gue ambil sendiri aja.” Cerise sudah setengah berdiri ketika Irene mendorong kedua bahunya untuk duduk kembali. Matanya mendelik seakan tengah menghunuskan kekuatan jahat yang selama ini bersemayam dalam tubuhnya. Cerise hanya membalasnya dengan pandangan bertanya.
“Ngaku! Sejak kapan lo deket sama Kak Langit?” Irene bertanya dengan menggebu-gebu seraya menggebrak meja, lagi.
Jihan dan Fanya yang sudah akan menyuap makanan mereka sontak berhenti, ganti menjelang Cerise menuntut.
Cerise gelagapan. “Apaan, sih? Kak Langit siapa?”
“Enggak usah amnesia dadakan!” Irene menyeru galak. Beruntungnya, suasana kantin lumayan ramai sehingga suaranya yang sewaktu-waktu bisa berubah menjadi titisan megafon itu tidak akan terlalu menarik perhatian. “Tadi, waktu gue pamit mau ke kantin dari Ruang OSIS, Kak Langit tiba-tiba ngomong, ‘Titip salam gue buat Cerise, ya!’.” Nada suara Irene diberat-beratkan, mencoba meniru suara Langit meski berakhir gagal.
“Kak Langit siapa, sih?” Jihan akhirnya menyeru, kepalang penasaran dengan si Langit-Langit ini.
“Temennya Kak Nanda.”
“Kak Nanda Ketua OSIS kita?”