Bunda Terre sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Sempat pulang sore tadi hanya untuk mengemasi beberapa potong pakaiannya. Hanya dua hari dan hal ini sudah lumrah terjadi hingga Cerise mulai terbiasa.
Biasanya, si Mbak yang terbiasa pulang di sore hari akan menginap untuk memastikan Cerise dan Rafan tetap dalam keadaan aman. Kedua saudara itu akan kompak mengeluh dalam hati karena merasa sudah terlalu dewasa untuk sekadar “diawasi”. Namun, hari ini, Bunda Terre menyuruh si Mbak pulang dan tiga orang yang jika bisa tidak ingin Cerise lihat lagi selama alveolusnya masih berfungsi justru berdiri di depan pintu rumahnya.
“Ayah sama Mama Tamia ada perjalanan bisnis ke Semarang selama satu minggu. Sampai Ayah pulang, Amira akan menginap di sini. Ayah sudah izin sama Bunda kalian. Enggak apa-apa, ‘kan?”
Cerise hanya bungkam, melirik pada tiga orang di hadapannya saja tidak. Hanya Rafan yang memang sejak awal menerima kehadiran Ayah Ardian dan keluarga barunya mau menanggapi. Mereka sempat berbincang sebentar di ruang tamu, berbasa-basi menanyakan keadaan Cerise dan Rafan, serta bagaimana kehidupan Cerise di sekolah barunya. Cerise hanya membalasnya dengan satu kata; baik, tidak peduli pada protesan yang menyuarakan ketidaksopanannya dari Mama Tamia. Sejak detik mereka bertemu, Cerise memang sudah menandai wanita dengan bulu mata palsu yang badai itu sebagai musuh, dan Mama Tamia juga sepertinya menyambut gerilya perang dari Cerise dengan baik.
Sekarang, Cerise sudah menata bantalnya bersiap untuk tidur. Ayah Ardian dan Mama Tamia sudah berpamitan pulang beberapa saat lalu. Sejak keduanya pergi, Cerise menolak ajakan makan malam dari Rafan, dan memilih untuk mengurung dirinya di kamar dengan menonton drama di televisi yang sudah terhubung dengan aplikasi penyedia layanan streaming digital.
Amira masuk ke dalam kamarnya dan melenggang santai menuju meja rias. Lampu utama yang sudah Cerise matikan kembali hidup. Menahan diri untuk tidak melempar kepala Amira dengan bantal, Cerise berganti mengubur seluruh tubuhnya dengan selimut. Baru beberapa menit kelopak mata Cerise tertutup, Amira sudah mendorong-dorong bahunya. Cerise awalnya mengabaikan dan baru membuka selimutnya kala dorongan Amira semakin kuat.
“Apaan, sih?”
“Geser, dong. Gue juga mau tidur.”
“Enggak!” tolak Cerise galak. Guling yang semula berada dalam pelukannya, Cerise pindahkan ke sisi ranjang sebelah kanan yang menempel pada dinding.
“Gue lagi enggak mau main drama. Ngantuk.” Amira naik ke atas ranjang, nekat akan melangkahi tubuh Cerise.
Namun, Cerise dengan cepat mendorongnya hingga perempuan yang sejak sepuluh tahun lalu resmi menjadi kakak tirinya itu terjerembap ke lantai.
“Cerise!” Amira berseru kesal, lumayan keras hingga Mueeza yang jatuh tertidur di lantai bawah nakas karena ikut menonton besama Cerise terperanjat. Perempuan itu bangkit berdiri sambil mengusap kedua telapak tangannya yang terasa sakit.
“Lo tidur di sana aja mending.” Cerise menunjuk sofa bed yang persis berada di bawah jendela kamarnya.
“Enggak mau. Gue biasa tidur di sini kalau nginep, kan.”
“Itu dulu.” Cerise mengumpulkan seluruh sisi selimutnya untuk dia rengkuh erat, seolah selimut tersebut adalah penentu siapa yang berhak tidur di atas ranjang. “Sekarang enggak!”
Amira mendelik, bibirnya terkatup rapat menahan emosi. Pandangan sepasang saudara tiri itu lekat bertemu. Jika dalam komik, mungkin ada gambar kilat yang menghubungkan kedua retina itu. Suara kabel listrik yang konslet menjadi backsound.
“Enggak!” Amira berteriak sekali lagi sebelum menarik selimut Cerise. “Lo aja yang tidur di sana!”
“Enggak mau!” Cerise balik menarik selimutnya, masih dalam posisi duduk di atas ranjang.
“Gue juga enggak mau!”
“Ini kamar gue!”