Langit mengerang. Matanya masih enggan terbuka meski telinganya sakit karena bunyi alarm di ponselnya. Dia hanya mengulurkan tangan untuk menekan tombol power pada ponselnya sekali dan alarm dengan bunyi menggelegar itu mati.
“Masih jam lima, tidur sepuluh menit lagi enggak masalah. Waktu subuh masih panjang.” Setan dalam dirinya berbisik, mendorong mata Langit untuk kembali terpejam dengan damai.
Baru lima detik saat Langit mendengar pintu kamarnya dibuka dengan kasar. Disusul teriakan, “Erlangit! Alarm kamu bunyinya sampe kedengaran satu rumah, kamu masih belum bangun juga?”
Langit berpikir bahwa itu mimpi dan memiringkan tubuhnya ke samping kanan, berniat melanjutkan tidur. Namun, telinganya tiba-tiba ditarik dengan kasar hingga tubuh Langit harus terbangun secara paksa. Lelaki itu mengerang, kaget bercampur sakit.
“Bangun! Ngapain lanjut tidur lagi? Liat jam!”
Begitu penglihatannya terbuka sempurna, Langit langsung melompat terkejut. Matanya bergulir memindai seluruh sisi ruangan, memastikan bahwa ini memang benar kamarnya dan dia tidak mengalami sleep walking hingga menyasar ke rumah omanya di Bandung. Terakhir, dia mengamati omanya sendiri dari atas hingga bawah.
“Oma ngapain di sini?”
“Kenapa? Enggak suka Oma di sini?”
Mendengar omanya masih betah berteriak sambil berkacak pinggang, Langit berdeham demi membersihkan kerongkongannya. “Bukan gitu—”
“Mandi cepet. Awas kalau tidur lagi!”
Erangan kembali keluar dari Langit ketika omanya memukul bokongnya.
🌒🌒🌒
“Oma datang tadi malam, sekitar jam sepuluh. Sampe sini, Oma langsung tidur. Katanya, cape, badannya pegal-pegal. Jadi, enggak sempet sapa kamu.” Begitu jawaban Papa Nathan saat Langit bertanya.
Sudah tahu badannya mudah pegal, mengapa repot-repot mengunjungi Bogor? Langit hanya menahan gerutuan berkedok pertanyaan tersebut karena Oma keburu datang membawa serta lauk-pauk yang baru dimasaknya.
“Nanti, pulang sekolah, ajak Amira ke sini. Oma udah kasih tau Amira kalau Oma ada di Bogor,” ujar Oma setelah beberapa menit mereka memulai sarapan pagi itu.
“Amira juga punya kesibukannya. Enggak bisa ke sini terus setiap Oma datang,” jawab Langit cuek.
“Sok tau!” Oma yang duduk di samping Langit memukul lengan atasnya hingga cucu satu-satunya itu mengaduh. “Ajak Amira ke sini, Oma enggak mau tau! Kalau enggak ada Amira, Oma kesepian. Enggak ada yang mau diajak ngobrol, enggak ada yang mau diajak merajut, enggak ada yang mau Oma ajak buat kue.”
Langit diam saja, mengabaikan sindiran Oma, sementara Papa Nathan berdeham canggung. Sepertinya, memang lebih baik menuruti keinginan Oma untuk membawa Amira ke rumah ini daripada Langit yang menjadi korban.