Tragedi pagi itu membuat Cerise dan Langit harus rela menghabiskan waktu istirahat mereka di perpustakaan. Setelah Cerise berhasil menjelaskan duduk perkaranya—minus mengatakan ritsleting roknya lupa dinaikkan—Ibu Wakil Kepala Sekolah yang sudah berusia setengah abad itu langsung menyerahkan Cerise dan Langit pada petugas perpustakaan, memberi mereka titah untuk membereskan buku-buku paket di perpustakaan yang memang letaknya absurd.
Sudah berjalan setengah dari total waktu istirahat mereka dan buku paket yang harus dibereskan masih tersisa banyak di atas meja. Cerise mengembuskan napas berat. Kedua tangan serta keningnya menempel pada rak buku sehingga dirinya terlihat seperti sedang merayap. Sesuatu kemudian menyentuh telinganya hingga Cerise refleks menghindar.
“Sstt ….” Langit meletakkan telunjuknya di depan bibir, ekor matanya menunjuk petugas perpustakaan yang jatuh tertidur dalam posisi duduk di mejanya. Tangan lelaki itu kemudian terulur menempelkan sebelah AirPods pada telinga kiri Cerise, sedangkan sebelah kanannya sudah terpasang sempurna di telinganya sendiri.
Cerise sudah akan melepas AirPods tersebut ketika tangan Langit menahannya. “Daripada lo ngerjain dengan setengah ikhlas, mending dengerin biar sedikit nyantai.”
Cerise menurut. Alunan musik yang menyapa gendang telinganya memang benar membuat otaknya lebih rileks.
“Ini “Canon in D”, punyanya Beethoven.” Langit memberi tahu tanpa disuruh.
Ketukan panjang pada jendela perpustakaan lantas mengalihkan perhatian keduanya. Sekonyong-konyong, Langit menarik Cerise mendekat pada jendela. Tepatnya, pada sosok Arde yang hampir seluruh wajahnya sudah menempel pada kaca jendela.
Langit membuka jendela persegi panjang tersebut yang memang hanya terletak di atas pinggangnya sedikit. “Pesenan gue mana?”
“Nyantai, dong. Lo kencan di perpus enggak modal amat.”
“Bacot! Pesenan gue buruan!”
“Enggak nyantai amat.” Arde menyelundupkan dua mangkuk bakso yang asapnya masih mengepul lewat jendela. “Perjuangan, nih, gue bawanya. Panas.”
“Minumnya mana?”
“Lo pikir gue Kurama yang ekornya bisa nyambi jadi tangan?” Arde menunjukkan tangannya yang hanya berjumlah dua buah dengan wajah memberengut.
Langit mencibir kemudian meletakkan dua mangkuk bakso pesanannya di atas meja yang tepat berada di bawah jendela. Satu di hadapannya, satu lagi di seberang persis di depan Cerise. “Makan. Kasian perut lo keroncongan.” Nadanya berubah halus saat mengatakan ini pada Cerise.
Gantian Arde yang mencibir.
“Belum selesai?” Nanda dengan tiba-tiba sudah berdiri di samping Arde. Bola matanya lantas bergulir ke bawah menatap dua mangkok bakso di atas meja. Saat pandangannya kembali beralih pada Langit, dia mendelik. “Peraturan nomor satu di perpustakaan sekolah: dilarang membawa makanan dan minuman ke dalam—”
Arde sudah terlebih dahulu membekap mulut Nanda sebelum kalimat tersebut terselesaikan. Sebelum membawa pergi Nanda yang kini tengah memberontak mencoba melepaskan diri, Arde menyempatkan berpesan, “Selamat berkencan, El! Pesan gue, jangan dulu nekat bikinin gue keponakan. Sayangi masa mudamu.”
Langit menyengir lebar sambil mengacungkan ibu jari. Setelah kedua makhluk yang kebetulan menjadi teman dekatnya itu hilang dari penglihatan, Langit langsung mendorong Cerise duduk diikuti dirinya sendiri.
“Makan,” titahnya sekali lagi. “Mumpung lo punya waktu buat makan. Daripada kelaparan.” Matanya kembali melirik petugas perpustakaan yang masih terbuai dalam jeratan mimpi.
Cerise tidak punya kuasa untuk menolak karena perutnya memang benar keroncongan. Sambil makan, dia sesekali melirik Langit. Cerise pikir, setelah penolakan terang-terangannya pada Langit tempo hari itu, Langit akan ikut berpikir bahwa Cerise adalah tipe perempuan sombong yang patut dijauhi. Namun, sikap Langit selama ini justru menunjukkan kalau lelaki itu tidak terpengaruh.
Cerise mengerutkan keningnya. Dalam hati semakin mempertanyakan, “Kenapa? Bukankah seharusnya Langit sakit hati dan bergerak mundur?”
🌒🌒🌒
Lo pulang sendiri enggak apa-apa?
Gue ada urusan sebentar sama Cerise.
Amira memandang pesan tersebut lama sebelum membalasnya dengan, ‘Oke, have fun lo berdua’. Pesannya bernada keceriaan yang justru berbanding terbalik dengan raut wajahnya. Langit mungkin tidak tahu, tetapi Amira yang berdiri di koridor bisa melihat dengan jelas bagaimana lelaki itu dan Cerise yang terlihat seperti sedang memperdebatkan sesuatu di samping gerbang sekolah sebelum akhirnya beranjak pergi.
Amira mendengkus. Keramahan yang selama ini senantiasa menghiasi wajahnya sirna tak berbekas. Ketika melihat mobil Rafan memasuki area parkir, tanpa berpikir dua kali, Amira langsung berjalan memasuki mobil tersebut di kursi sisi kemudi.