“Satu, dua, tiga, … buncisss!” Cerise, Irene, Jihan, dan Fanya berteriak serempak sambil memandang ponsel yang dipegang Irene, tidak peduli seluruh penghuni lantai dua kafe ini mengamati mereka heran.
Hari ini tepat perayaan HUT Kemerdekaan RI. Karena hanya diisi oleh perlombaan kemerdekaan, sekolah dibubarkan lebih cepat sehingga keempat gadis remaja itu memilih melepas stres sejenak di salah satu kafe di kawasan Baranangsiang. Apalagi, Irene yang katanya butuh asupan udara kebebasan lebih sebelum mengikuti LDKS Calon Anggota OSIS nanti.
Hanya Irene. Cerise memilih mangkir dari rapat perdananya sehingga namanya langsung dicoret saat itu juga. Besoknya, Cerise langsung mendapatkan wejangan dan gerutuan dari Irene yang dia dengarkan dengan khidmat seraya menikmati sosis bakar.
“Upload, Ren. Tag gue juga. Eh, kirim ke gue dulu.” Jihan menyeru sambil membuka ponselnya.
“Bentar, ini gue belum foto makanannya. Jangan dulu ada yang makan!” Irene menepis tangan Cerise yang sudah akan meminum jusnya galak.
Sekarang, Irene dan Jihan sudah sibuk memotret hidangan mereka dari berbagai angle. Fanya bahkan diusir oleh Irene dari tempat duduknya sendiri karena katanya menghalangi jalur cahaya. Cerise menunggu momen ini dengan jengah. Ketika Irene menyerukan kata, “Oke!”, Cerise dan Fanya menjadi dua orang pertama yang langsung melahap makanan mereka.
“Gue kebelet pipis. Ada yang mau nganterin gue ke toilet gak?”
Tidak ada yang menanggapi Irene. Cerise dan Fanya sibuk makan, sementara Jihan pusing sendiri memilih foto mana yang bakal dia upload di media sosialnya. Irene dengan gemas akhirnya menarik paksa Fanya.
“Anterin bentar, yuk, Fany. Pahala!”
Cerise jadi kasihan sendiri melihat Fanya yang melangkah dengan terseok-seok dan mulut masih mengunyah.
“Yang kita berempat, Ren—lah, Irene mana?” Jihan memandang bangku di depannya bingung. Dia bahkan tidak menyadari hilangnya Irene dan Fanya.
“Toilet.”
“Ish, dia belum ngirimin foto kita yang berempat.”
Cerise mendorong piring Jihan. “Makan,” titahnya yang langsung dituruti sahabatnya itu, meski dengan bibir mencebik. Cerise tidak mengerti mengapa ritual upload foto di media sosial menjadi begitu lebih penting daripada perut yang keroncongan.
Mereka berdua mulai menikmati hidangan masing-masing ketika seseorang tiba-tiba muncul dengan seruan, “Wah! Gue boleh gabung di sini?”
Mata Cerise melotot, sementara Jihan menampilkan raut bingung. Apalagi, saat Langit duduk di bangku Irene tanpa menunggu izin. Persis di sebelah Jihan membuat perempuan itu melongo dengan kening berkerut-kerut.
“Takdir banget, ya, ketemu di sini,” celetuk Langit asal. Bibirnya menarik segaris senyum dan mulai menoleh pada Jihan. “Halo, gue Langit.”
Jihan membuka mulutnya tanpa mengucap apa pun, mengabaikan juga uluran tangan Langit yang mengajaknya berkenalan. Setelah beberapa saat, barulah dia tersadar. “Langit? Kak Langit temennya Kak Nanda? Yang kata Irene target potensial buat jadi pacar Cerise?”
Cerise hampir menusuk mulut Jihan dengan garpu ketika mendengar kalimat terakhir.
“Target potensial?” Langit menaikkan alisnya heran.
“Ah, gue Jihan! Jihara Adreena!” Jihan menepuk tangannya sekali heboh sebelum balas menjabat tangan Langit, bahkan menaik-turunkannya dengan antusias. “Boleh. Boleh banget. Kak Langit boleh banget gabung di sini.”
Langit mengangguk-angguk menanggapi keantusiasan Jihan. Matanya menelurusi meja persegi panjang di hadapannya yang penuh dengan berbagai macam makanan dan minuman. “Lo seriusan cuma berdua di sini?”
Mengerti arti tatapan Langit, Jihan buru-buru mengangguk. “Sebenernya, gue lagi ulang tahun. Kita lagi rayain ulang tahun gue dengan pesen banyak makanan. Jadi, Kak Langit boleh banget gabung, dan selamat menikmati,” dustanya riang tanpa mengacuhkan pelototan Cerise. Yang ada di pikirannya kini adalah Cerise itu bego kuadrat. Kalau lelaki sekeren Langit saja masih ditolak, lalu dia mencari yang seperti apa? Seganteng Zayn Malik, se-hot Brad Pitt, dan sekaya Mark Zuckerberg?
“Oh, happy birthday to you,” ucap Langit ringan.
“Makasih.” Jihan mengangguk senang, melupakan fakta ulang tahunnya yang sebenarnya masih beberapa bulan lagi. Dia tambah tersenyum kala Langit mulai menikmati croffle-nya. Croffle saus biscoff yang sebenarnya milik Irene.
Ketika Jihan menoleh ke depan, Cerise sudah mengirimkannya delikan tajam. Tangan perempuan itu bahkan menusuk makanannya dengan kasar membuat Jihan sedikit tersentak. Namun, dia tidak mengacuhkan. Saat netranya mendapati keberadaan Irene dan Fanya dari balik punggung Cerise, dia langsung memberikan kode berupa pelototan dan gerakan bibir asal yang intinya menyuruh Irene dan Fanya segera menyingkir dari tempat ini.
Irene di belakang sana berhenti melangkah dengan raut bingung. Dia baru mengerti saat matanya menangkap kehadiran Langit. Mulutnya balas berkomat-kamit. Jihan mengangguk saja, walau tidak mengerti apa yang Irene bicarakan. Napasnya terembus lega ketika Irene akhirnya menarik Fanya pergi.
Mendapati croffle yang dimakan Langit sudah habis setengahnya, Jihan dengan baik hati menyodorkan taro latte milik Fanya. “Diminum, Kak.”