Saat ini
“Mas?” Raut wajah Mama Tamia yang semula sumringah menyambut suaminya, berubah heran dibalut kesal saat menatap Cerise.
“Cerise malam ini menginap di sini.” Ayah Ardian menanggapi Mama Tamia dengan tenang sambil merangkul bahu Cerise.
Sudah jelas terlihat penolakan dari wajah Mama Tamia. Apalagi, saat matanya bertemu dengan Cerise dan mereka saling berbalas sinyal kebencian. Namun, wanita itu tidak memiliki kesempatan untuk dapat menyuarakan ketidaksetujuannya karena Ayah Ardian sudah melenggang masuk dengan lengannya yang masih mendekap Cerise.
Ingin sekali rasanya Cerise tertawa puas penuh kemenangan di depan wajah penuh riasan Mama Tamia. Dia harus merealisasikan keinginannya ini nanti saat ada kesempatan.
Ini adalah hari kedua kepulangan Ayah Ardian. Pulang dari kantornya tadi, Ayah Ardian langsung berkunjung ke rumah dengan dalih mengantar oleh-oleh. Kemudian, tiba-tiba saja pria itu mengutarakan ide untuk mengajak Cerise menginap di rumahnya. Pelototan dari Bunda Terre kala itu mau tak mau membuat kepala Cerise mengangguk dengan helaan napas berat di antara bibirnya.
“Kamu mau tidur dengan Kak Amira?”
“Enggak.” Cerise menjawab dengan cepat. Bisa terjadi perang kesekian jika dia dan Amira tidur bersama malam ini.
Ayah Ardian mengangguk maklum. Langkahnya menuntun Cerise menaiki tangga menuju lantai dua.
Rumah ini terbilang luas untuk hanya ditempati oleh keluarga yang beranggotakan tiga orang. Lebih luas dan mewah dari rumah yang Cerise tempati. Tidak ada kolam renang, tetapi taman kecil yang memanjang di bagian samping rumah berhasil memanjakan mata dan cocok untuk melepas penat. Pantas saja Rafan betah berkali-kali menginap di sini.
Adalah sofa panjang, bean bag, meja kopi, dan rak penuh buku yang menempel pada dinding di belakang sofa yang menyapa Cerise begitu tiba di lantai dua. Karpet persegi berbulu tebal menjadi alas kaki meja. Cerise menerka ini adalah ruang bersantai nomor dua karena dia sempat melewati ruang bersantai dengan televisi di dalamnya di lantai satu tadi.
Terdapat tiga pintu yang berjejer di depan ruang bersantai ini. Papa Ardian menunjuk pintu yang paling kanan. “Itu kamar Kak Amira.” Lalu telunjuknya mengarah pada pintu paling kiri. “Kamar kamu yang itu. Mas Rafan sering tidur di situ juga kalau menginap di sini.”
Untuk pintu yang tengah adalah pintu kaca berdaun dua yang menjadi penghubung lantai dua rumah ini dengan balkon.
Cerise mengangguk singkat. “Cerise mau langsung istirahat.”
Ayah Ardian mengulas senyum seraya mengelus punggung Cerise. “Biar barang-barang kamu diberesin Bibi aja. Setelah ini, turun dulu ke bawah. Kita nonton tv bareng.”
Cerise meraup banyak udara untuk paru-parunya. Kalimat penolakan yang sudah berada di balik lipatan bibirnya terhalangi oleh ingatan raut penuh permohonan Bunda Terre.
“Pelan-pelan aja. Bunda enggak akan paksa kamu. Pelan-pelan aja, perbaiki hubungan kalian.”
Kepala Cerise akhirnya menyengguk. Sebelum turun, Ayah Ardian sempat mengelus kepala Cerise disertai senyum hangatnya.
Masuk ke dalam ruangan yang akan menjadi kamarnya satu malam ini, perhatian Cerise langsung dicuri oleh balkon kamar yang mengarah ke pekarangan depan rumah. Satu bagian dinding tersebut penuh oleh rolling door dengan dua jendela seukuran pintu yang menempel di kedua sisinya.
Cerise menggeser pintu sedikit hingga embusan angin malam menyapu kulitnya kemudian menjatuhkan diri di atas ranjang. Terdapat beberapa figura yang menghiasi dinding kamar ini. Sebagian besarnya berisi potret seorang gadis kecil. Cerise sempat mengira itu Amira sebelum menemukan sebuah bingkai foto yang berdiri di atas nakas yang saat dibalik akan memunculkan tulisan Nafaniel, 4 tahun.