Cerise pulang sama temen Cerise, Mas.
Cerise mengembuskan napas panjang begitu pesan tersebut terkirim. Hampir setiap hari sejak beberapa waktu belakangan rasanya pesan serupa selalu dia kirimkan pada Rafan. Karena Langit. Cerise melirik sinis lelaki itu yang sedang berjalan di sampingnya. Langit terlalu keras kepala dan selalu punya seribu satu cara untuk memaksa Cerise menuruti kehendaknya.
Mereka tengah berjalan menuju sebuah vila yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah. Sebenarnya, yang mereka tuju adalah parkiran ruko yang berada di samping vila, tempat Langit biasa memarkirkan motornya karena aturan sekolah yang melarang seluruh murid mengendarai kendaraan sendiri ke sekolah.
Di ujung jalan sana, tampak Irene, Jihan, dan Fanya sedang mengantre membeli es kelapa. Cerise mendengkus. Sudah pasti dia dan Langit akan kembali menjadi bahan gibahan renyah untuk teman-temannya itu. Apalagi, mereka bertiga secara kompak menyadari keberadaannya dengan Irene yang tersenyum usil dan mulai mengajak Jihan berbisik-bisik, sementara Fanya heboh sendiri melambaikan tangannya agar Cerise mendekat.
Cerise tersentak kaget saat tiba-tiba bahunya ditabrak seseorang dari arah belakang. Dia hampir jatuh jika saja Langit tidak segera menahannya.
Langit meneriakinya, tetapi orang tersebut terus berlari, melewati teman-temannya menuju sebuah gang di samping penjual es kelapa.
Cerise melihat Fanya di ujung sana menatapnya dengan ekspresi terkejut sebelum berteriak heboh, “Copet! HP gue! Copet!” Lalu berlari memasuki gang.
Kaki Cerise terpaku di tempat bahkan saat Langit memintanya untuk tetap diam di tempat, sementara dia ikut mengejar pencopet tersebut.
Beberapa orang yang ada di sekitar ikut beraksi, sedangkan sebagiannya panik sendiri memeriksa barang bawaan mereka dan bergegas pergi.
Irene yang ikut panik menghampiri Cerise dan menariknya untuk ikut mengejar. Ternyata, Jihan sudah terlebih dahulu bergerak. Ketika hendak memasuki gang, langkah mereka terhenti oleh teriakan si penjual es kelapa. “Tèh, esnya belum dibayar!”
Irene menatap sebungkus es kelapa dalam genggamannya sebelum beralih pada Cerise. “Gue pinjem lima ribu dulu.”
Cerise berdecak, tetapi tak urung memberikan uang sepuluh ribu dari sakunya. Si penjual es kelapa yang perawakannya masih menyerupai anak SMP tersebut terlihat mengobrak-abrik kaleng bekas biskuitnya sebelum berkata, “Enggak ada kembaliannya, Tèh.”
“Buat tabungan aja. Entar besok gue balik beli es kelapa lagi,” putus Irene akhirnya, kepalang panik sendiri dan kembali berlari sambil menarik Cerise.
Mereka terus mengikuti rombongan yang mengejar pencopet tersebut dari belakang. Meski napasnya sudah ngos-ngosan, Cerise tetap tidak bisa berhenti karena tangannya dicengkeram Irene dengan kuat. Padahal, napas Irene juga sudah terdengar tidak beraturan, tetapi dia tetap pantang menyerah. Beruntungnya, Cerise masih mengenakan seragam olahraga sehingga langkahnya tidak menjadi sulit karena terhalang rok.
Entah sudah seberapa jauh pencopet itu membawa mereka. Yang Cerise tahu, begitu orang-orang telah berhasil menangkapnya, dia langsung luruh ke jalan. Duduk menyelonjorkan kaki dengan napas putus-putus, jantung bedegap cepat, dan peluh membanjiri wajah. Pun dengan Irene dan Jihan. Hanya Fanya yang masih bisa melompat-lompat senang karena ponselnya selamat.
“Minum, Cer. Minum.” Irene melambai-lambaikan tangan di depan wajah Cerise.