Hawa sejuk yang melingkupi area taman membuat Cerise mengisi udara ke paru-parunya dengan serakah lalu mengembuskannya perlahan. Segar. Matanya bahkan sampai terpejam karena udara di sekitar benar-benar membuat otaknya rileks. Tidak sia-sia dia mengiyakan ajakan joging Ayah Ardian di penghujung minggu ini.
“Sudah enggak cape?”
Ayah Ardian tengah menatapnya ketika Cerise membuka mata. Mereka sedang duduk berselonjor di salah satu sisi taman dengan beralaskan rumput. Kepala Cerise bergerak ke atas dan bawah bergantian, membenarkan pertanyaan Ayah Ardian meski wajahnya masih dialiri peluh.
“Mau cari sarapan?”
“Masa langsung sarapan?” protes Cerise. Dia selalu merasa tidak nyaman jika langsung mengisi perutnya sehabis berolahraga, seperti kalorinya yang baru saja terbuang menjadi sia-sia. Padahal, hal tersebut sah-sah saja selama asupannya diperhatikan.
“Takut gemuk?” Ayah Ardian tertawa kecil. “Cerise, selama berat badan kamu enggak mengganggu kesehatan kamu, berapa pun angkanya jangan dijadikan masalah.”
“Bukan gitu.” Cerise menyanggah, tetapi kemudian terdiam karena bingung mencari alasan. “Cari minum aja kalau gitu,” putus perempuan itu akhirnya seraya bangkit berdiri.
Ayah Ardian ikut bangkit, dan sempat mengusap kepala Cerise ringan ditemani derai tawanya sebelum berjalan memimpin. Cerise ingat, ketika kecil, Ayah Ardian pernah tiba-tiba mengatakan, “Rambut kamu halus, anak Ayah jadi semakin keliatan cantik.” saat mengusap kepalanya. Mungkin, itulah alasan mengapa Ayah Ardian kerap mengusap kepalanya.
Langkah mereka baru berhenti di sebuah warung kecil yang terletak tidak terlalu jauh dari taman. Keduanya sama-sama memesan air mineral biasa. Cerise sempat memesan yang dingin, tetapi Ayah Ardian menolaknya dan berakhir menceramahi Cerise bahwa meminum air dingin selepas berolahraga itu tidak dianjurkan.
“Enggak setiap abis olahraga Cerise minum air dingin, kok. Jarang-jarang aja.”
“Jarang-jarang bisa menjadi kebiasaan. Jangan mentang-mentang jarang, kamu membenarkan dan masa bodoh.”
“Kalau lupa?” tanya Cerise polos.
“Mana mungkin kamu lupa.”
“Cerise pernah lupa.”
“Yah, manusiawi. Makanya, selagi ingat, ya, dihindari.”
Percakapan absurd tersebut diakhiri Cerise dengan manggut-manggut, tanpa menyadari kecanggungan di antara dirinya dan sang ayah perlahan menguap.