Hari yang damai di kota Tirtawangi seperti biasa tak banyak hal terjadi di sini, kota yang biasa saja. "DISTRIK MERAH BERHASIL DIPUTIHKAN," begitulah headline berita yang sedang panas-panasnya, namun kota ini seolah tak bereaksi. Apakah ini adalah hal biasa bagi mereka? Ternyata bukan begitu alasannya; warga Tirtawangi hanya sekelompok petani yang lebih memilih untuk mengurus keluarga masing-masing. Kedamaian seolah hal penting di sini meski mereka sadar bahaya apabila tak banyak orang kuat di situ, tapi mereka juga sadar kota mereka tidaklah semenarik itu baik bagi pemerintahan ataupun penjahat. Sebuah barier pelindung besar serta cuaca yang unik dan berbeda serta ribuan binatang liar yang suka menyerang manusia, namun di balik itu, warga Tirtawangi merasa nyaman dan tenang di sini, sebuah kota tanpa persaingan.
Ikal dan Nita adalah sepasang suami-istri yang tinggal di sini. Mereka juga akan segera dikaruniai seorang putra, dan mereka sedang sibuk menyiapkan syukuran 7 bulanan bersama dengan tetangga-tetangga mereka. Setiap hari do'a mereka adalah "Jadikan anak kami orang yang baik dan bermanfaat."
Hari itu, Damar yang tidak nyaman dengan perlakuan orang-orang di Mataram mencoba mencari waktu luang sendiri. Dia memesan kereta menuju Tirtawangi, berniat terbang menuju pulau Vijayadwipa sekalian melakukan misi infiltrasi rapat pemerintahan sendirian dan mencari tambahan senjata. Akhirnya, keretanya berhenti di kota Tirtawangi, tempat terakhir yang bisa diakses melalui kereta sebelum menyebrangi angkasa memakai vimana menuju Vijayadwipa. Dia pun singgah sementara untuk merasakan kedamaian kota Tirtawangi yang selama ini bagi para pelancong hanya dianggap kota singgah sementara saja. Dia pun penasaran apa yang membuat kota ini begitu damai. Ada juga orang yang menyebutkan bahwa Tirtawangi adalah tempat bersemayam Basuki, sang raja ular. Pak Damar berjalan begitu jauh sampai dia menemukan sebuah tenda perayaan. Orang-orang di sana begitu ramah dan sedang bersenang-senang.
"Ihsan," ucap pak Damar lirih. Tulisan yang dia baca yang ternyata itu adalah nama bayi yang diberikan Ikal dan Nita pada anaknya. Damar mulai menyadari tujuannya setelah melihat kehidupan baru itu.
"Kota ini memang tidak terlihat istimewa, tapi orang-orang di sini sungguh istimewa. Mereka benar-benar mengerti cara bersyukur sehingga bisa berbahagia sekecil apapun alasannya," ucap Damar di dalam hati dalam pesta kecil itu. Sebelum pergi, Damar memberikan lima keping koin emas lalu segera berangkat menuju Vijayadwipa. Sesampainya di dermaga, dia kembali melihat kesibukan para pedagang dan pelancong. Mereka terlihat sangat sibuk dengan urusan mereka. Vimana raksasa yang mengantarkan mereka berlabuh di Tirtawangi untuk mengambil trayek kereta yang lebih murah memaksa mereka berdesak-desakan seperti tak ada hari esok. Keadaan ini mengingatkan Damar dengan kotanya yang penuh persaingan, berbeda jauh dengan daerah yang ditinggali penduduk mukim di Tirtawangi. Area pelabuhan hanya berisi pelancong yang bersegera untuk transit dan berpindah kota, seolah tak ingin lama-lama di Tirtawangi, dan beberapa penduduk asli yang bekerja sebagai penyewa penginapan dan pengojek yang lebih kalem dan bekerja sesuai dengan kesanggupannya. Senyum tulus tergambar jelas di wajah mereka. Sekelebat kebahagiaan dari pesta penamaan bayi Ihsan saat itu juga ikut terluntas di kepala Damar. Apakah dia bisa seperti itu? Mungkin dia bisa. Dia sudah hidup berkecukupan, tak kurang satu hal apapun. Dia punya istri yang cantik dan seorang putra yang sudah bisa berjalan dan berbicara. Saat itu, Damar mulai mengerti bahwa dia hanya kurang bersyukur sehingga seluruh beban itu memberatkan pundaknya.