Kota Makara, 9 Agustus 2001. Suasana kota terlihat begitu damai di pagi hari, warga berlalu-lalang melakukan kegiatan seperti biasa, sampai tiba-tiba terjadi ledakan yang sangat kuat di pusat kota. Sebuah brahmastra ditembakkan ke pusat kota. Wira sedikit kecewa karena kekuatannya masih kurang, sehingga efek brahmastranya tak seperti yang ia bayangkan. Di antara debu dan asap, kedua bayangan itu muncul dengan mata menyala. Para Prajasena yang selamat menyaksikan dengan mata kepala sendiri kedua maharaja yang telah lama mati, yang digerakkan kembali dengan sanjivani. Di mata mereka, kedua bersaudara itu, Dharmakusuma dan Kertarajasa, berjalan menghampiri kerumunan dengan mata menyala-nyala. Baskara, yang sedang menyelidiki di kota Makara, pun syok dan tidak habis pikir bagaimana kedua orang yang sangat dia hormati bisa datang kepadanya sebagai musuh dalam keadaan di antara hidup dan mati. Nampaknya sanjivani telah digunakan.
Tak lama setelah itu, suara mengerikan terdengar; itulah dentingan Gandiwa yang melepaskan beribu anak panah ke langit dan akhirnya menghujani kota Makara. Suara ledakan demi ledakan bergema memenuhi udara, memekakkan telinga. Situasi sungguh kacau, pertarungan tak terhindarkan. Baskara segera menginformasikan kepada pusat tentang serangan mendadak ini.
"Fwish" Tak lama setelah itu, Faisal memasuki Kota Makara dengan mantra sepi angin miliknya, sembari membawa beberapa akshauhini pasukan.
"Sepi angin masal itu tak membuatmu lelah, kan Faisal!? Lawan kita...," ucap Baskara terengah-engah.
"Aku tahu, Tuan Baskara, makanya aku membawa mereka. Tuan Dharmakusuma memang sangat kuat," timpal Faisal dengan wajah serius sambil menyalakan mode tempurnya.
Tak berselang lama, deru suara vimana tempur memenuhi angkasa bersamaan dengan anak panah yang tak terhitung jumlahnya menghujani medan tempur. Kilatan-kilatan cahaya menyambar-nyambar di langit. Hanya dalam sehari, kota Makara yang berisi gugusan galaksi dan objek langit lain yang tak terhitung jumlahnya jadi hancur lebur. Warna langit jadi hijau, jingga, merah, semua bercampur. Seluruh area kota Makara seolah dilahap keputusasaan.
***
Malam hari di Kota Makara terlihat terang benderang seperti pagi hari. Suara gemuruh dan ledakan bersahutan seperti burung yang sedang menarik pasangan, suara pasukan masih riuh. Sementara itu, di camp para apsara, Seno mulai pulih dari efek penggunaan sanjivani yang tidak sempurna. Dia sengaja mengurangi kekuatan mayat yang dibangkitkan sanjivani untuk memberikan kontrol lebih terhadap orang yang dibangkitkan. Namun, meski kekuatan tempur petarung yang dibangkitkan turun drastis, para maharaja tetaplah monster yang sangat sulit dikalahkan. Di balik itu, dia juga sadar pemakaian sanjivani seperti ini juga akan mengurangi kesempatan mereka untuk membelot dari kontrol sang pengguna atau orang yang diserahkan kontrol atas mayat sanjivani. Sementara itu, di antara bintang-bintang, seseorang terbang cepat menuju cahaya. Dia Damar, yang sedang menuju medan tempur sembari menenteng pedang chandrahasa di punggungnya. Dalam hati, Damar untuk terus menguatkan hatinya, dia terus menerus bergumam, "Ini demi kebebasan."
Di jalan yang dilalui Damar, mayat pasukan dan monster yang tak terhitung bergelimpangan. Damar membunuh semua yang menghalanginya menuju cahaya yang menyala terang itu, sebuah cahaya yang mengisyaratkan kehancuran.
***
Kota Makara, 12 Agustus 2001. Perang masih sengit, bau amis membumbung di angkasa, tanah Makara sudah berwarna merah hari itu. "Lho alah, mas, kok perang terus?" Faisal mulai kesal dengan perang ini. Dia masih belum habis pikir tentang motivasi para pemberontak itu untuk menyerang negaranya sendiri. Sembari merancang strategi untuk penyerangan balik, Faisal juga meningkatkan kekuatannya dan pasukan dengan persenjataan yang dia ambil dari mayat-mayat yang bergelimpangan.