Ah, aku sudah terlambat. Tuan Sakra telah jatuh, dan Seno baru saja berpapasan denganku. Ini adalah perang yang pasti akan berakhir dengan kegagalan. Namun, begitulah adanya; aku adalah apsara, seorang penghibur bagi para dewa. Apa salahnya untuk terus melangkah maju? Meskipun Tuan Sakra telah tumbang, cahaya pertempuran masih bersinar. Tuanku Dharmakusuma masih berdiri tegak. Inilah saatku menari; aku menyadari bahwa mungkin aku tidak akan menang, tetapi kali ini aku ingin melawan manusia-manusia kotor itu.
Akhirnya, aku tiba di medan perang. Chandrahasaku telah lama menginginkan pertempuran ini. Di sana, aku melihat Prabu Dharmakusuma Jayawardhana, Maharaja yang pertama, sosok raja yang selalu kuimpikan. Dia adalah pejuang yang sempurna, kekuatannya bagaikan berkah bagi dunia, dan senyumnya yang ramah menambah pesonanya. Hari ini, aku akan bertarung di sisinya, mengangkat pedangku untuk berjuang bersama melawan para Prajasena. Wahai para budak penguasa, dengan pedangku, aku akan membebaskan kalian dari belenggu dunia ini.
Perang ini telah berlangsung cukup lama. Meskipun orang ini tidak memegang senjata, ia tetap sangat menakutkan, bahkan setelah dua hari berlalu. Sementara aku bertarung di belakangnya, mengatasi para pengganggu yang mudah, kami tidak akan kalah. Aku menyadari bahwa aku tidak sekuat itu. Jika ada kesempatan, aku akan menusuk jantung kedua maharaja palsu di depanku. Mereka masih belum bisa mendeteksiku. Ratusan pohon masih bisa ia tumbuhkan, bahkan jumlahnya semakin bertambah. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa dikalahkan ketika alam sendiri berjuang di sisinya. Apakah orang-orang yang melawannya gila? Ah, itu dia, targetku. Dia lengah, benar-benar maharaja yang bodoh. Hanya karena kau tidak bisa merasakanku, bukan berarti aku tidak ada. Kamu terlalu terfokus pada maharajaku. Baskara, kamu memang tidak layak menjadi Raja. Seharusnya semua raja seperti Dharmakusuma, pelindung yang kuat dan adil.
Saat itu, aku melesat dengan cepat. Tujuanku hanya satu: leher Baskara. Aku mengayunkan Chandrahasa untuk menerobos segala halangan. Aku masih bersembunyi di antara pepohonan maharajaku. "BOOM!" Sial, itu adalah Brahmastra dari tuanku. Tubuh Sanjivani miliknya membuatnya hanya menyerang manusia yang lebih kuat terlebih dahulu, sementara aku, sebagai pria biasa, tidak menjadi sasaran. Keahlianku terletak pada kemampuan menyusup dan mengeksekusi. Saat itu, aku meraih sebuah batang pohon dan meluncurkan anak panah dengan tanganku sendiri. Ini dia, anak panah terbaik untuk eksekusi diam-diam, Anjalikaastra. "Fwush!" Senjata suciku meluncur tanpa suara. "Jleb!" Kena, leher Baskara berlumuran darah. Aku mengangkat pedangku. Ini saatnya, aku tak peduli lagi. Pasukan panik, dan tujuanku hanya satu: aku akan membersihkan dunia dari manusia kotor ini. Aku melangkah di atas darah dan mayat Baskara, menunjuk ke arah tuanku, sementara Faisal bergerak maju. Ah, biarlah, aku masih di sini sambil menyingkirkan beberapa orang. Aku terus mengalirkan energi ke dalam Chandrahasa dan pedang ini, menajamkan dan menguatkannya. Baskara masih fokus pada tuanku. Apa maksudnya? Aku sudah di sini, dan Faisal juga sudah menghilang. "Fwish!" Pedang ini memotong leher raja bodoh ini tanpa hambatan. Apa yang disebut pahlawan perang? Mungkin Dharmayudha kedua tidak seangker yang kubayangkan. Aku sudah menghabisi satu, tinggal satu lagi: Faisal, si pahlawan Dharmayudha ketiga. Aku masih bertarung meski dikepung banyak musuh, namun aku segera melompat kembali ke hutan yang melindungiku, yang tentu saja adalah buatan tuanku Dharmakusuma.