Enam hari telah berlalu sejak Fajar Kemenangan, dan banyak peristiwa telah terjadi di dunia ini. Sumber daya yang melimpah dan terus berkembang tidak menjamin kedamaian; sebaliknya, manusia harus menghadapi berbagai jenis monster dan kejutan yang tak terduga. Mereka dipaksa untuk beradaptasi, teknologi harus terus berinovasi, dan manusia harus memperkuat diri dengan segala cara, baik fisik, latihan tenaga dalam, maupun penguasaan senjata suci. Namun, meskipun semua usaha itu, konflik tetap tak terhindarkan. Manusia terus mencari harta, kekuasaan, dan kepuasan nafsu. Dunia pun menjadi semakin kejam. Sebuah planet tidak cukup untuk dihuni, dan sebuah galaksi terasa terlalu kecil untuk menjadi kota, meskipun planet-planet terus membesar dan berekspansi dengan cepat setiap kali sumber daya baru ditemukan. Manusia menjelajahi angkasa seolah itu adalah lautan, berusaha mengurangi dampak bencana secara individu meskipun sulit; mereka merasa seolah-olah mereka adalah dewa.
Dalam enam hari yang singkat ini, kehidupan terus berjalan. Banyak harapan yang sirna, banyak pengorbanan yang terjadi. Seorang penguasa baru telah ditunjuk, Maharani Sukma, yang dianggap paling layak untuk melanjutkan pemerintahan sebagai istri Maharaja Baskara. Segera setelah penobatannya, ia menghabisi sisa-sisa pasukan Apsara, mendirikan institusi pendidikan dan fasilitas kesehatan, serta mempersiapkan prajurit dengan pelatihan yang lebih ketat dan persenjataan yang lebih modern. Hampir seluruh kas negara digunakan dengan efisien, meskipun kepergian Faisal dan Baskara merupakan pukulan berat bagi kekuatan tempur Sahasradwipa. Lebih parah lagi, kehancuran kota Makara dan sekitarnya telah menghancurkan sektor teknologi dan informasi secara besar-besaran. Supremasi Sasradwipa mulai dipertanyakan di dunia. Sementara negara lain berkembang pesat, Sasradwipa justru merasakan dampak berat akibat matinya kota terbesar. Kini, Vijayadwipa dan Garudapura menjadi satu-satunya sumber penghasilan bagi warganya. Hilangnya Makarapura juga menghancurkan jalur perdagangan antara Garudapura dan Vijayadwipa. Tidak ada lagi negara Adidaya; kemenangan atas Dharmayudha ketiga terasa sia-sia.
Di tengah situasi ini, lahirlah Ihsan, anak dari Nita dan Ikal di kota Tirtawangi. Meskipun situasinya tidak ideal, Tirtawangi adalah kota yang relatif terisolasi dari pengaruh luar, dilindungi oleh dinding alami yang hanya bisa dilalui oleh para pedagang. Sebagian besar penduduknya tidak terlalu memikirkan kekayaan. Di sini, tidak ada kebutuhan untuk menjadi kuat; makhluk-makhluk di sekitar cukup jinak, dan monster yang ada tidak berniat berkonfrontasi dengan manusia. Mereka hidup di dunia mereka sendiri. Meski demikian, Ikal dan Nita berharap anak mereka kelak dapat memberikan manfaat bagi seluruh dunia—sebuah harapan yang tak tergoyahkan dari orang tua kepada anaknya.
Tak lama kemudian, dunia mulai stabil kembali. Tiga tahun telah berlalu sejak kehancuran Makarapura, dan kota itu mulai dibangun kembali; perannya sebagai pusat perdagangan besar tidak bisa dipungkiri. Sementara itu, di Tirtawangi, Ihsan dan temannya, Alim, sedang bermain. Mereka berdua mulai berbicara tentang impian mereka. "Ihsan, kita akan menjadi yang terbaik! Kita akan belajar di Mataram dan menunjukkan kepada dunia bahwa kita yang terbaik, dan mereka hanya bisa mengagumi kita," kata Alim dengan penuh percaya diri. "Ya, cak, dan kita akan berbagi makanan dengan mereka, hihi," jawab Ihsan polos. "Eee, iya, terserah kau lah, Ihsan," sahut Alim, sedikit kehilangan semangat, sementara Ihsan hanya tersenyum. Tiba-tiba, sandal melayang mengenai Alim. "BALIK DAH SORE!" teriak Ibu Alim, yang biasa dipanggil Tin, memanggil anaknya pulang bersama ayahnya, Khan. Saat Alim pulang, ia mengambil sandal ibunya dan berpamitan kepada Ihsan, "Kita yang terbaik, bro."
Ihsan pulang dengan senyum, membuka pintu rumahnya, dan aroma ikan bakar langsung menyambutnya. Ia segera makan malam dan berkata kepada ayahnya, "Pak, aku mau ke Mataram bersama cak Alim untuk belajar dan membantu orang lain." Ikal tersenyum bangga mendengar kata-kata anaknya. "Bagus, nak. Bapak mendukungmu. Nanti akan saya bicarakan dengan ibumu," ucap Ikal, meskipun ia tidak tahu bagaimana cara memasukkan anaknya ke kadewaguruan Mataram. Ia mulai mencari jalan untuk kedua anak kecil yang penuh mimpi itu. Nita, sang ibu, mendengar percakapan itu dan menghampiri anaknya, "Iya, nak, tapi hati-hati ya, nanti kamu sendiri." Malam itu, kedua anak kecil bertekad untuk menjadi yang terbaik. Mereka menyadari bahwa jalan yang mereka pilih akan sulit dan penuh tantangan, tetapi seperti yang selalu dikatakan orang-orang, di mana ada keyakinan, di situ ada jalan. Maka, mereka bertekad untuk menjalani usaha mereka hingga mencapai tujuan.