Kaki gadis kecil itu melangkah tak tentu arah, kadang kala berhenti di persimpangan jalan. Wajah lusuh, rambut kumal-karena beberapa kali naik dan turun dari angkutan umum. Ia berjalan gontai dengan menenteng sebuah tas hitam kecil-mungkin muat untuk dua buku tulis.
Ia mendengkus saat kembali tiba di persimpangan jalan. Dalam hati terus bertanya, harus ke mana ia menggiring kaki kecilnya?
Perlahan ia menyeka peluh yang mengucur di dahi. Hampir dua hari sudah dia berjalan, dua hari pula kaki mungilnya melangkah menapak ke permukaan tanah.
Matanya berkunang, matahari begitu menyorot kulit. Sensasi seperti terbakar kembali dirasakannya saat tepat pukul dua belas siang. Belasan kumandang azan terdengar di telinganya. Zuhur telah tiba, langit tampak cerah dengan arakan awan yang menggantung di atasnya, ditambah dengan kontras sapuan biru muda menambah kesan epik sejauh mata memandang.
Menggelembungkan pipi saat perut mungilnya berbunyi.
Sempat ia berpikir, bagaimana jika ia mencuri saja? Ide itu muncul saat matanya melihat beberapa makanan dan buah-buahan tertata rapi, seperti dipamerkan.
Ah iya, ini pasar? Matanya membulat sempurna, tersenyum bahagia, kemudian menelan susah saliva saat melewati beberapa buah melon yang sengaja dijejerkan. Ada pula anggur yang sengaja diberi hiasan untuk menambah kesan indah bagi siapa saja yang melihatnya dengan telanjang mata.
Perlahan ia mengusap perutnya. Sehari sudah perut itu belum diberi makan. Entahlah, lambung akan mencerna apa di sana.
Langkahnya terhenti saat melihat sebuah gerobak hijau yang menjual es campur. Termos besar yang digunakan sebagai tempat es batu, beberapa toples untuk tempat buah-buahan.
Lihatlah, warnanya benar-benar menggairahkan, dengan merah kontras, diisi oleh beberapa potongan kecil dari buah-buahan seperti melon, semangka dan kiwi. Kembali, ia hanya bisa menelan ludahnya, menatap dari kejauhan, mungkin sekitar lima meter dari gerobak itu.
Menunggu sekitar tiga menit sembari menatap penjual yang sedang melayani pembeli dengan tersenyum ramah. Tepat setelah pembeli pergi, penjual itu meletakkan topi dan handuk kecil-yang diletakkan di leher, lalu pergi menuju musala.
Ide itu kembali muncul. Matanya dengan jeli menatap manusia yang berlalu-lalang semakin sedikit saja. Perlahan ia menggiring kaki kecilnya untuk mendekati gerobak itu.
Matanya kembali was-was, menatap keadaan sekitar yang masih sepi. Hanya membutuhkan dua detik, tangan kanannya sudah merangkup minuman berkemasan plastik itu. Ia menghela napas lega.
Sekelebat bayangan hadir di pelupuk mata setelah ia benar-benar mengambilnya. Bayangan tentang peristiwa di mana mendiang ibu menasihatinya agar jangan coba-coba mencuri walaupun hanya sekali dan dalam kondisi seburuk-buruknya. Matanya terpejam.
Maafkan aku, bu... lirihnya dalam hati. Entahlah ekspresi apa yang ada di wajah keribut ibu dan bapak ketika tahu ia mencuri.
"Pencuri!"
Deg!
Tubuhnya bergetar, kakinya kaku, seperti sulit untuk digerakkan.
Indra pendengarannya menangkap beberapa manusia yang berlarian menujunya.
Bagaimana ini? tanyanya dalam hati.
Semakin dekat.
Semakin dekat.
Tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram lengannya kuat-kuat. Ia meringis, mengaduh kesakitan.
"Anak kecil sudah mencuri! Bobrok sudah moral bangsa!" Surakan mereka terdengar menggelegar di bawah awan. Lalu dipantulkan oleh gelombang-gelombang hingga menimbulkan bunyi dan sampai di telinga Aqila.
Lengannya kemudian dicengkeram-kali ini lebih kuat dan lebih banyak tangan. Warga lain menggerombol menyaksikannya. Nasibnya kini persis seperti narapidana yang menjalani hukuman mati, sama-sama dilihat dan dipermalukan kepada khalayak ramai. Perbedaannya hanyalah tingkat hukuman yang dijalani.
Di antara hiruk pikuk dan suara pekikan dari warga, menyelinap di sana sang pemilik gerobak tersebut. Ia menelan susah salivanya, badannya kembali bergetar, tak berani menatap pemuda yang umurnya kisaran tujuh belas tahun.
"Ada apa ini?" tanyanya, tangannya merangkup tubuh kecil Aqila dengan maksud menyelamatkan dari tangan-tangan yang mencoba menyakiti Aqila.