Adib menghela napas pendek. Matanya menatap kupu-kupu yang hilir mudik melintasi danau. Kadang kala kawanan capung ikut hinggap di batang pohon.
Musim hujan baru saja tiba, meninggalkan kemarau yang masih menyorot mata. Beberapa kulit daun jati berwarna kuning sisa ranggasan.
"Benar, kamu tidak apa-apa?" Aqila mengangguk. Di luar sana, embun dan semburat matahari beradu, siapa yang menang ialah yang akan bertahan.
Faris menatap Aqila sejenak. Kemudian mengedarkan pandangannya. Melihat gadis menyebalkan itu kembali mengingatkannya pada kejadian beberapa saat lalu.
Memangnya dia siapa bisa mengatakan aku jelek? Memangnya dia cantik? celetuknya jika keadaan sekarang tidak seperti ini.
Sepertinya, benar kata abi. Gadis menyebalkan itu tidak punya teman. Hatinya timbul rasa iba. Entah, gadis semenyebalkan itu yang tadi pagi mengatai jomblo dan jelek sekarang keadaannya malah menyedihkan.
"Ada apa mencariku, Ris?"
"Dicari abah, Kang." Adib mengangguk sekali, lalu pergi. Dalam hitungan menit, tubuh Adib sudah hilang di balik kabut.
Semenit lengang. Mereka masih sibuk dengan diri mereka sendiri. Faris menatap jilbab Aqila yang basah karena tetesan air mata.
"Apa kamu lihat-lihat aku?" tanya Aqila galak. Faris terperanjat, kemudian membelalakkan mata. Ia dapat percaya diri sebesar itu dari mana?
"Siapa yang lihat-lihat kamu?" Faris melengos, mengalihkan pandangan. Bersama Aqila selalu membuatnya naik darah. Entahlah, apakah suasana hati gadis selalu seperti itu? Semenit lalu ia melihat pilu, sekarang seperti itu.
"Aku tadi lihat sendiri," celetuknya sembari bangkit dari duduk, lalu berdiri menghadap Faris.
Faris kikuk, gadis di depannya sedang menatap dengan tajam. Manik mata Aqila hitam legam.
Dadanya berdetak kencang, hanya dengan melihat bola matanya cukup mampu mempora-porandakan hati.
"Ris?" Adib datang. Mereka berdua menoleh. Menatap Adib yang tergopoh menghampiri mereka. Napasnya tersengal.
"Kamu tadi bilang Pak Kiai memanggilku?" Faris mengangguk, samar.
"Aku sudah sowan beliau. Kok tidak ndawuhi kamu memanggilku?"
Haris ber-ha, kemudian menggerakkan badannya kikuk, menatap Adib yang masih mengatur napas.