Aqila

Alifah Fitry
Chapter #4

Tangis dalam Bisu

Delapan tahun kemudian ....

Sebuah pondok pesantren yang memanjang itu tampak lengang. Sepanjang koridor depan kamar tak memiliki tanda-tanda ada seseorang. Di masjid sana, tablig akbar berkumandang, menggelegar hingga membelah kepekatan malam. Bulan sabit yang tergantung di angkasa tampak berwibawa, dengan bantuan parade kerlipan bintang yang bertabur di angkasa.

"Ibu, muara untuk mencurahkan cinta dan kasih sayang. Tempat untuk menyembuhkan rasa lelah dan keluh kesah. Selalu memberikan sandaran dan mendengarkan kita saat gundah gulana menerpa. Mengelus lembut pucuk kepala anak-anaknya sembari menasihati dan menguatkan mereka. Tiada tara, bagaimana pengorbanan seorang ibu kepada anak-anaknya. Mereka selalu memohon agar keluarganya sehat, kalian menjadi orang yang tinggi derajat, orang yang sukses di masa mendatang.

"Tidak tahukah kalian, di setiap sepertiga malam, nama kalian tersebut di dalam untaian doa di sela-sela tangisnya? Mereka selalu berdoa, agar anak-anaknya kelak menjadi orang yang lebih baik dan tidak seperti dirinya?

"Tangannya dengan lemah lembut mengajari kalian, mendidik dan memberikan pelajaran amar maruf nahi mungkar. Dengan lembut dan kasih sayang merawat kalian hingga kalian menginjak usia remaja?

"Lalu, patutkah kita untuk membentaknya?" Semua santri yang duduk lesehan di tikar masjid yang berwarna hijau itu diam. Mata mereka berkaca, membayangkan wajah keriput wanita yang selama ini telah menemani dan membesarkan mereka.

"Uwais Al-Qarni, salah satu pemuda penghuni langit yang memiliki bola mata biru, berambut pirang, dan kulitnya kemerah-merahan dari Qarni. Ia hidup di zaman Rasulullah. Kisahnya patut kita jadikan suri teladan. Ia adalah pemuda yang sangat cinta kepada Rasulullah, saking cintanya hingga ia tak mampu menahan rindu kepada Rasulullah walaupun belum pernah bersua dengan beliau. Di sela-sela rindunya, ia selalu mengucapkan selawat kepada Rasul sembari menghadap ke Makkah.

"Sungguh, dikisahkan ia pemuda yang ahli ibadah. Mengapa ia tak pernah pergi ke Makkah? Ia tidak pergi ke Makkah karena tidak mau meninggalkan ibunya yang sakit-sakitan. Ia lebih memilih merawat ibunya daripada bertemu Rasulullah-padahal rindu itu sudah menyeruak di hati. Dengan sabar ia menyuapi sang ibunda, mencucikan pakaian, dan memasakkan makanan dengan telaten dan sabar. Hidup dalam kesederhanaan, hartanya hanya dua helai kain. Padahal, ia adalah pemuda yang utama, doanya selalu dikabulkan oleh Allah SWT.. Lalu, bagaimana dengan kita? Kita bukanlah apa-apa dibandingkan dengan Uwais. Kepandaian, bahkan ketaatan kita masih jauh dari dirinya, tetapi kita malah membentak orang tua kita? Memarahi ketika tidak sesuai kehendak hati tanpa tahu perjuangan seorang ibu dalam membahagiakan kita. Kita bukan apa-apa kita umat Nabi Muhammad yang pendosa ....

"Ialah Uwais Al-Qarni, pemuda yang sangat menyayangi ibunda dan taat kepada Sang Pencipta hingga tidak terlena dengan manisnya dunia. Pemuda yang tidak terkenal di masyarakat, tetapi namanya mampu menembus seantero langit. Itulah sepenggal cerita yang semoga dapat menginspirasi kita. Saya akhiri, wabilahi taufiq wal hidayah, Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Tepat setelah salam itu selesai, suara tepuk tangan datang dari mana-mana. Mereka menatap lelaki yang berdiri di atas mimbar dengan takjub.

Gadis-gadis ikut bertepuk tangan, kemudian menyeka air sebening kristal yang berontak jatuh ke pipi.

"Sungguh mengharukan ...," kata seorang gadis yang memakai mukena putih motif bunga kecil di tengah. Yang di sampingnya mengangguk, kemudian menyeka kelopak indahnya.

"Aku tidak mengira ia bakat menjadi seorang dai. Kukira ia hanya pemuda jelek yang cueknya minta ampun." Ia mendengkus, menatap remeh.

"Jangan gitu. Gus Faris itu putranya Kiai sini, loh. Pendiri pondok pesantren ini. Tidak boleh seperti itu, La." Aqila mengangkat bahu, lalu berdiri. Mengikuti arus santri-santri lain yang juga berdiri hendak kembali ke kamar mereka masing-masing. Pengajian telah selesai. Ceramah dari Faris cukup mampu membuka hati mereka. Menangis tersedu, teringat ibu, dan pulang.

Sebenarnya, tanpa ditanya pun, Aqila juga akan seperti itu. Hati itu gundah gulana. Senyum ibunya terbayang di otak. Terputar layaknya sebuah film. Ah, ibunya benar-benar pandai dalam mempelajari agama. Pandai menyaring intisari dari Surat Luqman, bagaimana tata cara dalam mendidik anak yang harus dilakukan dengan lemah lembut dan kasih sayang.

"La?" Arsyila menepuk pundak Aqila pelan, kemudian menggelengkan kepala. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Aqila menatap Arsyila beberapa detik. Gadis yang satu-satunya menerima kehadirannya di pondok itu. Ia menghela napas berat, menggeleng.

"Halah, bilang saja sedang memikirkan Gus Faris. Aku tadi memperhatikanmu yang selamu curi-curi pandang Gus Faris." Arsyila terkekeh, melipat mukena. Aqila membelalakkan mata.

"Aku tidak mencuri-curi, kok." Gadis itu pergi dengan masih memakai mukena, meninggalkan Arsyila yang masih terkekeh.

"Tunggulah sebentar saja! Aku akan berjalan bersamamu!" teriak Arsyila dengan tangan yang terampil melipat mukena. Anak matanya berkali-kali menatap punggung Aqila, takut-takut ditinggal.

Arsyila berlari kecil menghampiri Aqila, kemudian berusaha menyejajarkan langkahnya.

Lihat selengkapnya