Ar&Gen (Not a Cinderella Story)

innaya amalia
Chapter #3

BAB 2

Ar dan Gen duduk berhadapan di sebuah café langganan si pangeran. Gen tentunya sudah tahu itu karena apalagi pekerjaannya setelah One Direction pergi selain nongkrong cantik memandangi instagram Pangeran Arshad.

Sebenarnya jika perutnya sudah keroncongan seperti ini Gen akan memilih untuk membeli nasi padang untuk di bawa pulang, karena kalian tahu sendiri jika porsi nasinya akan bertambah dua kali lipat. Tapi Ia dan si pangeran sudah duduk cantik di café dengan nuansa mediterania itu dan berarti Ia harus bersikap cantik juga. Namun jika Ia masih punya kesempataan untuk kabur dari tempat ini menuju warung pecel lele, tentu saja Genevive akan memilih sepiring pecel lele dengan ekstra sambal dan 2 porsi nasi. Jika kalian lupa, gadis 168 sentimeter itu sudah mengalami hari yang sangat berat hari ini, Ia bahkan belum menyentuh makanan sejak pagi.

“Lo pesen apa?” pertanyaan Ar membuat Gen mendongak dari konsentrasinya membaca buku menu.

Genevive tidak langsung menjawab pertanyaan Arshad karena Ia sendiri masih kesusahan untuk memilih menu apa yang akan Ia pesan. Gen tidak sekampungan itu, Ia pernah melihat semua makanan yang ada di menu, hanya saja, hanya saja mereka tidak menjual makanan yang bisa mengganjal perutnya. Sebagian besar menu hanya di penuhi oleh salad, pasta, dan sandwich, tidak ada nasi seperti yang Ia dan perutnya dambakan.

Philly steak sandwich?” ucapnya ragu.

“Minumnya?” Tanya Ar cepat.

“Air dingin aja,” jawab Gen tak kalah cepat.

“Saya seafood laksa sama jus semangka aja, mbak,” ucapnya pada pelayan yang sedari tadi berdiri di samping meja kami.

Gen memandangi Arshad seperti biasa tanpa mengerti maksud dari tatapannya itu. Gadis itu masih mengira jika saat ini Ia pasti sedang tertidur dan bermimpi aneh-aneh seperti sekarang. Ar yang sedari tadi merasa gadis di yang duduk di depannya itu memandanginya dengan tatapan tidak santai juga membalas tatapan tersebut dengan tatapan yang sama. Lima menit lomba adu tatap itu berlangsung sampai akhirnya Gen menguap karena lelah.

Gen terkesiap sendiri karena ulahnya dan dengan spontan Ia menampar pipinya sendiri dengan cukup keras. “AW!” Gadis itu mengaduh kesakitakan karena ulah bodohnya sekali lagi.

Arshad lagi-lagi hanya tertawa melihat acara komedi gratis di depannya. Gen terlalu banyak bertingkah aneh hari ini, mungkin sebentar lagi Ia harus mulai berkonsultasi dengan ahlinya.

Tak lama, menu yang mereka berdua pesan datang. Gen memandangi laksa dengan kuah merah yang terlihat pedas. Pasti mantap banget kalo pake nasi hangat, pikirnya seketika.

“Kenapa? Mau cicip?” sebelum Gen menggeleng, namun Ar sudah lebih dulu menyendokan kuah laksa dan sepotong cumi-cumi.

Gen menengok ke kanan dan kiri, mungkin saja orang yang duduk di depannya ini sedang menawarkan orang lain yang mungkin berada di sekitarnya. Tapi café itu lumayan sepi bahkan hampir kosong karena jam makan siang sudah berlalu satu jam yang lalu.

“Gua ngomong sama Lo. Cepetan, pegel nih,” keluh Ar karena gadis itu tidak kunjung sadar dengan keadaannya sekarang.

Gen dengan gelagapan menerima suapan dari Ar dan segera menelannya sampai hampir lupa mengunyah jika saja Ar tidak mengucapkan. “Kunyah dulu baru telen!” perintah Ar sesudah sendok itu di seruput habis oleh Genevive.

“Pangeran tau sekolah saya dari mana?” Tanya Gen membelah keheningan.

Gadis itu sudah mulai bisa mengendalikan dirinya setelah menyantap habis makanan yang dipesannya tadi. Tapi tentu rasa keingintahuannya tidak bisa dikendalikan semudah itu.

“Kan ada di foto instagram kamu,” jawab Ar seadanya.

Gen memutar otaknya untuk mengingat-ingat foto apa saja yang pernah Ia unggah. Tidak banyak, hanya sekita 20 foto dan sebagian besar di antaranya bersama teman-teman sekelasnya dan seingatnya ada satu foto yang Ia sematkan lokasi sekolahnya. Oke, pertanyaannya yang satu itu sudah terjawab.

“Terus, Pangeran kok-“

“Panggilnya Arshad aja atau Ar kalo mau lebih pendek,” potong Arshad dan membuat Gen kembali salah tingkah.

Gen menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Tapi kan gak sopan,” cicitnya hampir tidak terdengar.

“Siapa yang bilang gak sopan?” Tanya Ar tidak terima.

Genevive menggeleng pelan. “Panggil Mas Ar aja, gimana?” ucapnya memninta persetujuan.

“Terserah lo aja. Senyamannya,” balas Ar.

“Terus, Mas Ar kok mau jemput saya?” Gen melanjutkan pertanyaanya yang tadi sempat terpotong.

“Apaan pake “saya-saya” kaya ngomong sama rektor aja,” protes Ar lagi.

“Ya terus pake apa?!” decak Gen kesal.

“Lo-gue, aku-kamu, you and I, banyak kali. Jangan sok formal lah,” Genevive mendengus sebal. Laki-laki di depannya itu tidak menghargainya yang berusaha bersikap sopan di depan putra bungsu dari penguasa Negara tetangganya.

“Aku-kamu, puas? Cepet jawab!” anggap saja Gen sudah kehabisan stok sabarnya sekarang.

“Ya gue kasian aja kalo lo harus jalan lagi ke bengkel,” jawaban Ar membuat gadis itu menegang. Apa katanya? Jalan? Ke bengklel?

“Mas Ar orang yang tadi pagi?” Tanya Gen dengan nada tidak santai.

Arshad mengangguk pasti, diikuti erangan putus asa dari Gen. “Kenapa gak bilang dari tadi coba?” ucapnya bermonolog pada diri sendiri

“Terus kenapa kalo gue orang yang bantu lo tadi pagi?” Tanya Ar dengan wajah datarnya.

“Ya gak ada sih,” jawab Gen santai. “Tapi makasih banget tadi pagi udah mau di bantuin dorong motor, jujur aja awalnya aku kira Mas Ar begal, soalnya mukanya gak keliatan sama sekali,” jelas Gen panjang lebar.

Lihat selengkapnya