Anak-anak sang vikaris secara terbuka beropini bahwa Mama pasti harus bersusah payah demi meyakinkan Papa agar mengizinkan Arabella ke London. Di matanya, hanya segelintir yang lebih membawa mudarat daripada upaya-upaya mencari kesenangan dan mengompori rasa besar kepala sebagaimana yang terwujud dalam pesta-pesta di London. Kendati dia tidak pernah berkeberatan apabila Mama mendampingi Arabella dan Sophia untuk menghadiri ajang-ajang sosial di Harrowgate, dan bahkan memuji gaun mereka, sang pendeta selalu menekankan bahwa perintang waktu semacam itu, sekalipun pada hakikatnya tidak tercela, niscaya menghancurleburkan karakter perempuan paling berbudi apabila dinikmati secara berlebih-lebihan. Mr. Tallant pribadi tidak menyukai pesta, malahan sering mengecam betapa sia-sianya kehidupan yang dijalani oleh para sosialita. Terlebih lagi, meskipun tidak pantang bergurau, dia membenci sikap main-main, gemas akan obrolan kosong, dan jika alur percakapan berbelok ke remeh-temeh duniawi, dia tidak pernah luput menyetir topik ke arah yang lebih berterima.
Namun, undangan Lady Bridlington untuk Arabella ternyata tidak mengejutkan sang vikaris. Dia tahu Mrs. Tallant rutin menyurati sang kawan lama dan, meski kurang setuju akan motif utama di balik tekad sang istri untuk meluncurkan si putri sulung ke tengah-tengah masyarakat, dia mesti mengakui bahwa argumentasi istrinya memang valid.
“Mr. Tallant tersayang,” kata sang istri, “bahwa keberhasilan memperoleh pasangan yang terpandang niscaya mendatangkan manfaat rasanya mustahil dimungkiri! Kau sekalipun tentu mengakui bahwa Arabella adalah gadis yang cantik luar biasa!”
Mr. Tallant mengakui, sekaligus menambahkan secara spontan bahwa Arabella mengingatkannya pada sang istri ketika seusia itu. Mrs. Tallant tidak kebal terhadap pujian ini. Dia merona dan dengan jail mengatakan bahwa suaminya tidak perlu coba-coba merayunya.
“Aku cuma ingin menyampaikan, Mr. Tallant, bahwa Arabella pantas bergaul di lingkungan kelas satu!” dia mengumumkan.
“Sayangku,” tukas sang vikaris dengan mimik geli, “kalaupun aku sepakat denganmu, aku merasa berkewajiban mengingatkan bahwa ambisi untuk bergaul di lingkungan kelas satu bukanlah cita-cita terpuji. Aku tidak ingin putri-putriku menyimpan keinginan yang begitu superfisial. Namun, karena aku tahu kau sudah menyiapkan banyak amunisi, aku akan tutup mulut dan mempersilakanmu melanjutkan argumentasi.”
“Kalau aku keliru, silakan ralat aku,” kata Mrs. Tallant serius, “tetapi aku yakin kau takkan diam saja apabila putri kita berpasangan dengan putra keluarga Drayton dari Knaresborough!”
Sang vikaris terperanjat dan sontak memandangi istrinya dengan ekspresi penuh tanya.
“Joseph Drayton belia kian lama kian intens menunjukkan perhatiannya,” Mrs. Tallant mengumumkan dengan nada mencekam. Dia mengamati dampak ucapannya, lalu melanjutkan dengan datar, “Tentu saja, aku mafhum bahwa dia dianggap sebagai calon suami idaman oleh banyak orang, sebab dia akan mewarisi seluruh kekayaan ayahnya.”
Sang vikaris melontarkan sumpah serapah secara refleks. “Aku tidak setuju! Dia keturunan pedagang!”
“Betul sekali!” Mrs. Tallant mengiakan dengan puas. “Namun, dia sudah mengekor Arabella enam bulan terakhir ini.”
“Apakah maksudmu putri kita memberi hati kepadanya?” tanya sang vikaris resah.
“Tentu saja tidak!” tukas sang istri seketika. “Sikapnya sopan, tetapi biasa-biasa saja, sebagaimana sikapnya pada Dewsbury sang pendeta belia, Alfred Hitchen, Humphrey Finchley, ataupun lusinan pemuda lain! Arabella, Suamiku Budiman, adalah kembang di kawasan ini!”
“Ya ampun!” kata sang vikaris sambil geleng-geleng kepala karena takjub. “Harus kuakui, Sayang, bahwa aku tak berkenan menerima satu pun pemuda tersebut sebagai menantuku.”
“Kalau begitu, mungkinkah kau berharap Arabella akan menikahi sepupunya Tom, Mr. Tallant?”
“Bukan itu yang kuinginkan!” kata sang vikaris tegas. Setelah menenangkan diri, dia menambahkan dengan nada bicara lebih kalem, “Kakak lelakiku memang pria yang amat terpuji, setidak-tidaknya menurut dia sendiri, sedangkan aku semata-mata mengharapkan yang baik-baik bagi anak-anaknya. Namun, berkaca dari sekian banyak pengalaman masa lalu yang tidak perlu kusebutkan satu-satu, aku tidak ingin putri-putriku menikahi sepupu mereka. Terlebih lagi, aku yakin kakakku sudah merancang rencana tersendiri bagi Tom dan Algernon!”
“Memang!” Mrs. Tallant mengonfirmasi. “Dia berencana menikahkan mereka dengan gadis kaya.”
Sang vikaris menatap istrinya sambil tercengang. “Apakah putriku menyimpan perasaan pada satu pun di antara pemuda-pemuda tersebut?”
“Sepengetahuanku tidak,” jawab Mrs. Tallant. “Maksudku, Arabella tidak menunjukkan perhatian khusus kepada satu pun di antara mereka. Masalahnya, hanya pria-pria terhormat itulah yang sudah mengekornya sejak dia meninggalkan bangku sekolah. Terkait Drayton belia,” imbuhnya serius, seolah menimbang-nimbang, “harus diakui bahwa hartanya melimpah. Bukan berarti bahwa Arabella akan mempertimbangkan harta semata, tetapi tidak diragukan lagi bahwa pria yang mengendarai kereta kuda beroda dua nan elok, yang mampu menawarkan beragam tetek bengek memesona demi memikat hati wanita, tentu memiliki keunggulan dibandingkan dengan rival-rivalnya.”
Keheningan penuh makna menyelimuti keduanya, sedangkan seluruh implikasi dari pernyataan itu terserap dalam-dalam di benak sang vikaris. Akhirnya, dengan nada penuh damba, dia mengatakan, “Sesungguhnya aku berharap suatu hari kelak seseorang yang pantas bagi Arabella akan menghaturkan dirinya ke hadapanku. Bilamana demikian, aku tentu akan melepaskan putri kita dengan hati penuh syukur.”
Mrs. Tallant melirik suaminya dengan pandangan simpatik. “Mungkin saja, Sayang, tetapi mimpi namanya apabila kita berpura-pura bahwa kejadian semacam itu terwujud secara ajaib tanpa campur tangan manusia! Pada umumnya, seseorang yang pantas tidak mewujud begitu saja dari udara kosong, di tengah-tengah wilayah pedesaan. Calon suami yang pantas mesti dicari di dunia luas!” Mrs. Tallant melihat mimik pedih di wajah sang suami dan sontak tertawa. “Jangan katakan bahwa kasus kita lain, Mr. Tallant, sebab kau tahu sekali bahwa kali pertama aku berjumpa denganmu dalam sebuah pesta di York! Kuakui bahwa Mama mengajakku ke sana bukan supaya aku jatuh cinta padamu, tetapi kau tentu mengakui bahwa kita takkan pernah bertemu andaikan aku menunggumu sambil duduk-duduk manis di rumah saja.”
Mr. Tallant tersenyum. “Argumentasimu selalu tak terbantahkan, Sayang. Walau begitu, aku tetap tidak menyukainya. Aku meyakini bahwa Arabella adalah gadis baik-baik, tetapi dia masih sangat belia, apalagi pembawaannya menggebu-gebu. Aku khawatir dia bersikap tidak bijaksana ketika tidak ada yang mengawasi. Di bawah atap rumah Lady Bridlington, aku takut kalau-kalau Arabella terhanyut ke dalam kehidupan gemerlap yang lantas melemahkan akhlaknya dan menjadikannya tidak cocok menjadi bagian dari masyarakat yang berakal budi.”
“Tenang saja,” kata Mrs. Tallant menghibur. “Watak putri kita terlalu baik, jadi kita tidak perlu cemas barang sekejap pun. Aku yakin pula bahwa prinsip yang dia pegang pun terlalu kokoh sehingga mustahil digoyahkan oleh godaan. Barangkali kita semata-mata mesti khawatir kalau-kalau Arabella tidak pandai bergaul karena kurang polesan kota besar. Aku optimistis dia akan menjadi jauh lebih supel setelah menghabiskan waktu dengan Bella Bridlington. Dan andaikata ini cuma berandai-andai, ingat! anak kita sekalian memperoleh pasangan yang berterima, aku yakin kau akan bersyukur sama seperti aku.”
“Ya,” sang vikaris menyetujui sambil mendesah. “Aku tentu akan lega apabila dia bisa menyongsong masa depan nan nyaman sebagai istri lelaki terhormat.”
“Dan bukan istri Dewsbury belia!” tukas Mrs. Tallant.
“Betul! Tak terbayangkan bahwa anakku dapat memperoleh kebahagiaan bersama laki-laki yang menurutku—dengan menyesal mesti kukatakan—sangat vulgar!”
“Kalau begitu, Sayang,” kata Mrs. Tallant sambil berdiri cepat-cepat, “akan kusurati Lady Bridlington untuk menyampaikan bahwa kita menerima tawarannya yang sangat dermawan.”
“Lakukanlah yang menurutmu benar,” kata sang pendeta. “Aku tidak pernah mengintervensi keputusanmu mengenai apa saja yang kauanggap pantas bagi putri-putri kita.”
Demikianlah, pada pukul empat sore di hari bersejarah ini, ketika sang vikaris bergabung dengan keluarganya di meja makan, dia mengejutkan mereka dengan berkelakar tentang perjalanan Arabella mendatang. Betsy bahkan tidak berani-berani menyebut rencana itu, sebab keluarga mereka memperkirakan bahwa Mr. Tallant takkan setuju. Namun, setelah mengucap doa dan keluarga itu duduk mengelilingi meja panjang, Arabella memotong makanan lambat-lambat, sedangkan sang vikaris, yang masih sempat melihat putrinya meletakkan sayap ayam tak berbentuk di piring ketika dia mendongakkan kepala, menyeletuk dengan mata berkilat-kilat geli, “Menurutku Arabella mesti belajar memotong makanan sebelum menceburkan diri ke tengah-tengah masyarakat. Kalau tidak, dia niscaya membuat kita semua malu karena kurang terampil. Asal tahu saja, Sayang, menjatuhkan makanan ke pangkuan tetanggamu, sebagaimana yang sepertinya akan terjadi saat ini, adalah perbuatan yang tidak sopan.”
Arabella merona dan sontak memprotes. Sophia, yang paling pertama pulih dari keterkejutan setelah mendengar Papa mengutarakan agenda London dengan penuh humor, langsung berkata, “Oh, tetapi aku yakin keterampilan memotong makanan tidak penting-penting amat, Papa! Di rumah-rumah megah, hampir seluruh makanan disajikan oleh pelayan.”
“Ralat, kalau begitu, Sophia,” kata sang vikaris mengalah.
“Apakah Lady Bridlington punya banyak pelayan?” tanya Betsy, yang terpukau membayangkan kehidupan nan glamor.
“Satu di belakang masing-masing kursi,” timpal Bertram cepat. “Dan satu yang berjalan di belakang Arabella tiap kali dia hendak menghirup udara; dua orang yang berdiri di belakang kereta kuda Lady Bridlington; dan kira-kira selusin, menurut perkiraanku, yang membentuk baris kehormatan di aula depan tiap kali Lady Bridlington menyambut tamu. Sewaktu Arabella pulang ke tengah-tengah kita, dia pasti sudah lupa caranya memungut saputangannya sendiri, camkan kata-kataku!”
“Wah, aku tidak bisa membayangkan Bella akan berbuat apa di rumah seperti itu!” kata Betsy, setengah memercayai ucapan kakaknya.
“Aku juga,” gumam Arabella.
“Aku yakin dia akan bertindak-tanduk persis seperti di rumahnya sendiri, Nak,” ujar sang vikaris.
Teguran ini disusul oleh keheningan. Bertram meringis kepada Arabella dari seberang meja, sedangkan Harry menyikut iganya diam-diam. Margaret, yang mengerutkan alisnya selagi ayah mereka berkata-kata, akhirnya memberanikan diri untuk angkat bicara, “Ya, Papa, tetapi sungguh tak terbayangkan olehku dia akan bertindak-tanduk seperti apa di sana! Suasana di London pasti lain sekali dengan kebiasaan kita di sini. Misalnya saja, aku takkan kaget andaikan Bella harus mengenakan gaun pesta tiap malam. Aku juga yakin dia takkan disuruh membantu memanggang roti, menganji kemeja, memberi makan ayam, atau ... atau membantu pekerjaan rumah pada umumnya.”
“Bukan itu maksudku, Sayang,” timpal sang vikaris dengan kaku.
“Berarti, Bella takkan disuruh membantu-bantu di rumah sama sekali?” pekik Betsy. “Wah, coba aku punya ibu baptis yang kaya!”
Komentar gegabah ini memunculkan raut tidak suka di wajah sang vikaris. Kentara sekali bagi keluarganya bahwa Mr. Tallant antipati membayangkan anak perempuannya terlarut dalam kesenangan duniawi belaka. Tatapan bengis dilontarkan ke arah Betsy yang besar mulut. Sebentar lagi, Mr. Tallant niscaya akan menyampaikan kuliah berkepanjangan mengenai bahaya membuang-buang waktu. Namun, sebelum sang vikaris sempat berbicara, Mrs. Tallant turun tangan dengan menegur Betsy karena kebanyakan mengoceh. Setelah itu, Mrs. Tallant berkata dengan riang, “Wah, aku yakin Papa setuju bahwa Arabella gadis yang baik dan layak memperoleh kelonggaran lebih daripada kalian yang lain. Kapan pun aku kesulitan mengelola rumah, aku selalu bisa mengandalkan pertolongan Arabella. Hebatnya lagi, dia tidak pernah cemberut, mengeluhkan bahwa dia bosan, ataupun merajuk karena mesti memperbaiki gaun lamanya alih-alih membeli yang baru.”