Perumpamaan setiap manusia di dalam garis hidupnya adalah seperti semut kecil yang berjalan pada ranting yang bercabang dua. Pada tiap-tiap cabang dua akan menjadi cabang tiga, dan di setiap tiga cabang akan menjadi empat cabang. Masing-masing cabang empat, akan selalu menuju lima cabang. Semuanya berlaku hingga cabang ranting menjadi tujuh puluh tujuh cabang.
Adapun cabang ranting yang pasti dilewati oleh semut kecil itu sudah digaris-tebalkan sebelumnya. Namun dalam prosesnya, semut kecil sama sekali tidak melihat. Ia tetap harus memilih jalan mana yang akan ia lewati kala berhadapan dengan percabangan.
Seperti tak bergesernya posisi bulan dan bumi pada garis orbitnya. Perjalanan semut itu pun tidak akan pernah bergeser dari garis tebal yang telah diarsir, oleh Sang Maha Pengarsir.
***
“Fendii ... motor lo ngalangin jalan gue nih!”
Seorang perempuan berteriak sambil menepuk-nepuk batok lampu motor Vespa dengan bentuk seperti tank militer. Kendaraan klasik roda dua berwarna cokelat tersebut sedang terparkir di pinggir jalan. Tepat di belakangnya sebuah mobil juga ikut parkir — dalam keadaan mesin menyala.
Laki-laki yang dimaksud oleh perempuan itu sedang duduk santai bersama temannya di salah satu kursi taman.
“Hmmm.”
Laki-laki berambut gondrong itu bergumam panjang sembari beranjak, meninggalkan temannya yang duduk tersenyum melihat perempuan itu.
“Eh, Lina, macam-macam lo yaa. Motor gue udah minggir banget juga,” ujarnya sambil mendekat.
“Beneran, gue cium lo!” ia melangkah cepat, mendekat pada perempuan yang mengajaknya bercanda itu.
Si-perempuan segera masuk mobil dan mengunci pintunya, kemudian tertawa melihat laki-laki itu berganti menepuk-nepuk kaca depan dengan tapak kanan. Tak lama ia pun membuka kaca.
“Gue tunggu lo di Pak Khusnul. Ajak tuh teman lo,” ujarnya.
Lina Caroline — 21 Tahun. Seorang perempuan yang percaya diri, energik, dan ceria terhadap semua orang. Tinggi badannya 173 cm, dengan lekuk tubuh yang menawan. Ia juga tumbuh dalam lingkungan keluarga berada. Pokoknya, siapa pun yang melihat, berasa lengkap pemberian Tuhan pada dirinya.
Tetapi, nobody perfect.
Satu hal yang tak bisa dirasakan olehnya sedari masih berusia balita hingga sekarang. Lina tidak pernah merasakan bagaimana rasanya jatuh cinta. Belum pernah mengerti tentang sebenar-benarnya rasa cinta asmara.
Orang tuanya telah menjodohkan dirinya dengan seorang lelaki pilihan keluarga. Hal tersebut sudah ditanamkan pada dirinya semenjak masih kecil. Jadi, Lina tak pernah menganggap serius, bahkan kadang bersikap apatis terhadap hal-hal yang beraroma cinta asmara. Jika hanya rasa simpatik, nyaman, dan perasaan suka, ia mungkin merasakan.
Beberapa kali ia coba berpacaran, atau berhubungan dekat dengan laki-laki. Terhitung sudah lima kali. Satu kali saat masih SMP, tiga kali saat SMA, dan satu lagi di awal-awal ia masuk kuliah. Tetapi di antara semuanya, tidak ada satu pun sang pacar yang bisa membuat hatinya benar-benar luluh oleh cinta asmara.
Lina menerima mereka menjadi pacar hanya karena rasa kasihan, dan ketika menyandang status berpacaran memang ada saja kendala yang memutuskan hubungan. Semua akhir hubungan itu pun berdasarkan keputusan sepihak darinya. Ke-empat laki-laki itu juga belum pernah ada yang menginjak lantai rumahnya.
Semenjak Lina beranjak dewasa, kedua orang tuanya memang sering mewanti-wantikan perihal perjodohan. Ayahnya selalu menanamkan satu sosok pria yang hanya pernah ia temui saat masih kecil. Lina juga terima atas hal itu, mengerti bahwa jodohnya sudah ada yang mengatur, yakni kedua orang tuanya. Ia begitu yakin pada restu orang tua, bahwa sosok jodohnya adalah laki-laki terbaik.
Sedang, Fendi, lelaki pemilik motor Vespa cokelat tadi adalah salah seorang temannya di kampus, yang merupakan universitas ternama di Indonesia. Sebuah perguruan tinggi yang sangat menjanjikan, dengan tanah yang luas, tembok yang putih bersih, dan banyak bangunan tinggi di dalamnya.
Lina Caroline tidak pernah membeda-bedakan dengan siapa ia wajib berteman. Tetapi bilamana ia tahu bahwa salah seorang temannya jatuh cinta pada dirinya, maka tak segan ia memotong tali pertemanan. Seperti putusnya benang layang-layang yang dimainkan oleh seorang bocah. Terbang menjauh dari jangkauan hingga tak terlihat. Dalam waktu yang relatif singkat, ia pasti tahu siapa-siapa yang telah jatuh cinta padanya.
Beberapa kali sudah, terjadi hal demikian.
Perempuan berambut halus lurus yang selalu diikat ekor kuda itu tak pernah takut bertindak. Bukan tanpa alasan ia bersikap demikian. Ia merasa kasihan pada lelaki yang berharap bisa memilikinya. Karena menurutnya sangat percuma. Sangat-sangat percuma.
Di kedai Pak Khusnul, Lina menunggu kedatangan Fendi. Kedai tersebut berada di seberang jalan, beberapa meter dari gerbang sebelah timur kampus. Kedai berukuran dua puluh meter persegi itu terlihat seperti warteg, dan memang berada di pinggir jalan umum. Tetapi entah mengapa, kedai itu jarang pernah sepi dari pengunjung, terutama Mahasiswa. Mungkin karena masakannya enak, tempatnya bersih, ditambah pelayanan dari pemilik kedai yang sangat ramah kepada para pengunjung.
Pukul 16.45, Lina duduk di pojok kedai. Kebetulan kedai itu belum ada pengunjung lainnya. Ia memesan segelas soda susu pakai es, lalu duduk sambil memainkan tab.
Fendi pun datang bersama temannya.
“Fen, sini deh.” Lina meminta Fendi, sambil tetap menatap pada layar tab.
“Kenapa?” jawab laki-laki berjaket kulit itu seraya mendekat.
“Menurut lo gimana caranya supaya kearifan lokal bisa bertahan di tengah kemajuan tekhnologi informasi? Atau justru, bisa bergandengan tanpa dilupakan?” Lina menengok.
“Ya elah, pesan minum juga belum, lo udah nyuruh gue mikir keras, dah mau bahas yang aneh-aneh di negara berkebutuhan khusus ini. Malas, ah.” Fendi pun duduk di sebelahnya, diikuti oleh temannya.
“Hahaha, bangke lo, Fen.” Mata lina tampak sipit. “Ayo dong, Fen. Gue demen tahu bahas sistem sosial sama lo.”
“Beh, kopi susu dua gelas,” pinta Fendi pada Pak Khusnul.
“Lin ... lo terakhir kali hujan-hujanan kapan? Udah mau hujan tuh langitnya.”
“Hmmm, kemarin gue kehujanan.”
“Bukan, maksud gue bukan kehujanan, tapi sengaja hujan-hujanan.”
“Oh, terakhir sama ayah gue, waktu gue masih SD. Kenapa emang?”
“Enggak, yang aneh tuh kalo kita sengaja hujan-hujanan kita enggak akan sakit. Tapi kalau kita gak sengaja kehujanan, kita bisa sakit,” ujar pemuda berambut ikal seleher itu.
Lina berpikir sejenak. “Iya, benar juga yahh,” bisiknya. Itulah mengapa gadis cantik itu suka berdiskusi dengan Fendi. Di samping sering berkelakar, pemuda pecinta kopi itu juga suka melontarkan pernyataan yang tidak terduga, dan perihalnya selalu valid.
“Pasti ada unsur psikologinya,” kata gadis berkaus biru itu sambil memasukan komputer mini ke dalam tas.
“Ya udah, sekarang lo ujan-ujanan gih di depan.” Tangan Fendi mencomot gorengan tahu. Temannya hanya tersenyum dengan kedua bola mata yang tak berpaling dari wajah Lina.
“Terus, lo teriakin gue yah dari sini,” Lina menyahut cepat, yang maksudnya adalah seperti ODGJ apabila ia melakukan hal itu.
“Hahaha ...” mereka tertawa bersama.