ARADHEA

Rudie Chakil
Chapter #3

Perkara yang Tak Mudah

Melihat puncak gunung dari seberang bukit, rasanya akan mengundang pertanyaan. Kehidupan apa yang ada di balik sana?

Pesona mistiknya...

Keanggunannya...

Aura tersembunyi apa yang tak tampak padanya?

Gunung Pranama yang berdiri gagah menjulang cakrawala.

Dari seberang bukit sebelah utara, terlihat jelas bukit yang berada di sebelah timur. Berbentuk pucuk seperti puncak Gunung Pranama yang gagah menantang langit. Di puncak bukit tersebut terdapatlah sebuah bangunan bergaya rumah jaman kerajaan. Berdiri kokoh tanpa teman kecuali rimbunan hutan. Rumah panggung tersebut memiliki tiga pintu utama yang sama, menuju satu ruang tengah. Yakni ruang pertemuan dan konsultasi.

Kehadiran malam di bukit Gunung Pranama, selalu saja menghadirkan kabut, gelap, dan dingin yang datang tanpa diundang. Namun hanya kegelapan yg bisa dihilangkan oleh pemilik pendopo kayu itu. Seperti jutaan kunang-kunang dalam satu tempayan yang terlihat dari kejauhan.

Kepulan asap tembakau membumbung naik ke langit-langit rumah, berpadu samar dengan kabut putih yang cukup tebal memenuhi seisi ruangan.

Seorang lelaki setengah baya dan istrinya tengah berbincang dengan seorang kakek, pukul 22.35 menjelang tengah malam.

“Cucu saya sudah cukup umurnya. Jangan lupa sama janji kamu, tujuh belas tahun yang lalu.” Kakek pemilik pendopo berbicara kalem, sembari melirik tajam pada pria berambut rapi di depannya.

“Iya, jelas, Mbah ... itulah alasan, kenapa kita ke sini,” gumam seorang wanita anggun berbusana mewah, memandang mata orang tua berusia di atas tujuh puluh tahun itu.

“Benar, Mbah.” Pria itu tersenyum, memperkuat ucapan istrinya.

Ia lalu menengok ke sudut kanan ruangan, melihat patung kayu jati berbentuk Burung Garuda setinggi satu setengah meter.

“Tahun depan, atau sekitar tujuh bulan lagi anak kami baru lulus kuliah,” sambung pria yang duduk bertopang kaki, di sebelah sang istri. Lelaki sepuh berkemeja batik pemilik rumah itu hanya tersenyum.

“Kamu jangan takut. Cucu saya sudah lebih mapan dari sampean berdua. Hahaha. Tahun ini sepertinya adalah tahun yang baik untuk melangsungkan pernikahan mereka.”

“Baik, Mbah, hal ini akan kita bicarakan lagi nanti ketika kami bertemu dengan keluarga Arsan.”

“Yah, Embah sangat rida pada kalian sekeluarga.” Kakek berwajah bijaksana berpeci hitam itu tersenyum bangga.

“Sekarang sudah cukup larut, kalian bersedia jika menginap di sini?” pintanya, membuat kedua tamu itu ikut tersenyum.

Lihat selengkapnya