ARADHEA

Rudie Chakil
Chapter #4

Matahari Malam Hari

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna secara ‘sempurna’. Namun apabila seseorang terus belajar memperbaiki kekeliruan, serta selalu berupaya menggapai perubahan diri ke arah kebenaran, kebaikan, dan fitrah manusia, maka yang demikian adalah orang yang sempurna dalam batasan kesempurnaan dirinya sendiri.

Sesungguhnya Tuhan lebih menyukai orang-orang yang mengaku salah.


***


Gemulai tari semilirnya angin kala hari menanti Magrib, terasa lembut menyisir rimbunan ilalang di tanah datar menghampar. Berikan suara-suara syahdu nan merdu berkumandang dari perkampungan seberang sungai.

Seorang pemuda tengah duduk termenung mengisi waktu pembatas antara siang dan malam. Tak beranjak menantang remang berujung kelam. Beratapkan himpunan awan-awan pembawa kabut tebal, temani bercak-bercak langkah makhluk cepat untuk kembali ke peraduannya di atas pohon besar.

Ia tidak beranjak dari dampar akar besar yang ia duduki. Sedari mentari masih terlihat seperti kuning telur, hingga sinarnya hampir hilang ditelan malam. Tetap duduk bergeming.

Waktu sakral itu ia hargai. Ia tak memujanya, juga tidak membencinya. Ia hanya menghargainya saja.

Seperti berputarnya bumi yang menjadikan waktu pagi, siang, sore, dan malam secara berulang-ulang. Perlahan namun pasti, harapan di hatinya akan sebuah harapan, agar harapannya itu dibawa oleh waktu Magrib kepada Sang Maha Pencipta, terus bergerak karena dorongan alam pikir yang kian khawatir.

Hawa panas dalam tubuhnya mendesak keluar mencari hawa dingin alam sekitar agar bersatu. Ingatannya kosong, mengambang di awang-awang. Namun begitu ia tahu, juga sadar akan keberadaan dirinya di sana. Ia tidak sakit, sama sekali tidak sakit. Memang begitulah manusia. Tak terbatas misteri tentangnya. Terlebih jika mengulas tentang sisi batin. Siapa yang percaya akan hal itu? Jika bukan orang-orang yang percaya akan perihal itu. Berbicara dengan imajinasinya sendiri. Dan biarlah orang-orang yang melihat dan mendengar itu, bercengkrama dengan ilusinya sendiri.

Bersatunya hawa panas dan dingin, nada-nada rendah dalam pikiran, ditambah keremangan cahaya sekitar yang kian memudar, memungkinkan seluruh panca indra berfungsi lebih.

Matanya mampu melihat apa-apa yang tidak biasa dilihat, telinganya mampu mendengar apa-apa yang tidak biasa didengar.

Panorama langit, tanah, dan tumbuhan yang ia saksikan seakan-akan terdiam, berhenti pada satu titik kosong.

Seketika itu juga sewujud perempuan tua renta berbusana abu-abu gelap hadir tepat di hadapannya.

“Siapa kau?” pemuda itu bertanya. “Jika kau hendak menggangguku, maka pergilah!” lanjutnya berikut pernyataan.

“Aku adalah pikiranmu sendiri wahai Manusia. Pikiranmu yang akan selalu menjadi duniamu.” Sosok perempuan tua tersebut menjawab.

“Tidak mungkin. Mengapa kau tidak mirip denganku?” pemuda itu kembali bertanya.

“Aku hanyalah simbolis dari pikiranmu. Bukankah belakangan ini engkau sendiri yang mengurungku dalam ruang gelap yang terbatas itu, menjadikan wujudku seperti ini?” Perempuan tua bertubuh kurus kering itu menjawab.

“Apa maksud menjadikan dirimu seperti ini?” Sang pemuda bertanya lagi.

“Ketika kamu masih anak-anak, bukankah kau coba menghilangkanku dengan segala kesibukanmu bermain-main? Pada masa itu aku berwujud seperti dirimu sebab aku masih memaklumi tingkahmu. Tetapi sekarang, kau memenjarakanku dalam kekhawatiranmu atas uang dan berbagai problematika dalam kehidupan, menjadikan wujudku seperti ini. Bisa jadi kelak ketika engkau dewasa dan mulai menua, dengan wujud apa kau akan menyiksaku demi segenap rasa nyaman yang kau mau?” ujar Perempuan tua.

“Mengapa aku tak menyadari kalau aku telah berbuat salah pada diriku sendiri?” Pemuda itu balik bertanya.

“Kau tidak akan pernah sadar, jika bukan karena Allah yang memberikan kesadaran padamu.”

“Terus, bagaimana supaya aku bisa berdamai denganmu?”

“Kau sudah mengerti, bahwa aku sangatlah bersifat liar. Maka janganlah berdamai denganku, kecuali kau telah mampu mengendalikanku. Jangan pula merasa damai denganku jika akulah yang masih mengendalikan dirimu.”

“Bagaimana aku bisa mengendalikanmu?”

“Engkau punya Allah, Tuhan semesta alam, Tuhan semesta makhluk. Tak bisakah engkau berdoa, dan berserah diri kepada-Nya?”

“Biarlah aku akan mencoba mulai detik ini.”

Lihat selengkapnya