“Linaaa...”
Panggil dua orang mahasiswi di persimpangan koridor menuju perpustakaan.
Lina sedang berjalan ke luar bangunan kampus menuju kedai Pak Khusnul. Langkahnya tenang, tetapi memang agak cepat ia berjalan.
“Heiii ... ada apa?” langkah tenang dari kaki jenjang itu terhenti.
“Liiin.” Dua mahasiswi itu pun mendekat.
“Nanti malam acara ulang tahunnya Ery, pulangnya kita hangout yuk?” pinta seorang teman di antara mereka.
“Sorry banget yaa, gue gak bisa datang,” kedua tangannya berpadu di depan dada, terus berlalu dari hadapan mereka.
“Kok Lina gitu, yah?” bisik salah satu temannya.
“Dia memang seperti itu, tergantung suasana hatinya,” jawab temannya yang satu lagi.
Sebagai seorang wanita, Lina memang terbilang acuh tak acuh. Terkadang ia lebih menyukai persahabatan dengan laki-laki daripada berteman dengan sesama kaum hawa. Ia tidak pernah mengurus segala sesuatu yang dianggapnya tidak penting, biarpun orang lain berkata itu adalah sesuatu yang penting. Namun begitu, bila ia menganggap sesuatu hal yang cukup penting, maka ia paling bersikeras mempertahankan ucapan dan perbuatannya.
Di kedai Pak Khusnul, Fendi menatap pada jam dinding. Bukan resah menunggu kedatangan seseorang, melainkan merenungkan kata-kata yang keluar dari mulut Aradhea saat pertemuan kemarin malam. Fendi telah mengenal lebih jauh sosok laki-laki eksentrik itu.
Usia Aradhea memang terpaut satu tahun di bawahnya. Namun untuk urusan kehidupan, Aradhea jauh berada di atasnya. Bisa dikatakan, Fendi yang justru belajar banyak tentang kehidupan dari Aradhea.
Sudah beberapa kali ia datang ke rumah Aradhea, demi mengisi hausnya pertanyaan hati seputar hidup dan kehidupan. Pemuda berkulit sawo matang itu merasakan langsung apa yang sudah ia dengar, dalam bentuk kenyataan yang berbicara dalam setiap kondisi kehidupannya.
Kemarin malam, Aradhea berbicara tentang ‘waktu’. Fendi baru saja menyadari ucapan Aradhea tentang waktu. Maka itu ia memandangi jam dinding sembari terus berpikir.
“Hai Fen, kenapa lo?” seru Lina sambil menepuk punggungnya. Fendi tetap diam pada posisinya, dengan dagu yang bertopang pada kedua tangan.
“Lama banget datangnya. Gue dah nunggu dari tadi,” jawabnya ringan.
“Pak Khusnul ... es teh manis yaa,” ucap Lina agak keras.
“Fen, gue dengar-dengar, komunitas motor Vespa tuh orangnya solid yah, benar gak?” tanyanya, seraya duduk di kursi panjang, sebelah Fendi.
“Gak juga. Tapi tergantung orangnya,” jawab Fendi bernada malas, tetap dalam posisinya.
“Fendi, yang benar kenapa sih!” perempuan berdagu oval itu menggoyang-goyangkan badan Fendi.
“Hahaha ... ini Lina, tehnya,” tawa pemilik warung sambil memberikan segelas es teh. Pak Khusnul dan istrinya memang terkadang memperhatikan pembicaraan mereka.
Kedua tangan Lina menerima, memegang gelas dan nampan yang diberikan Pak Khusnul. Fendi lalu menyenderkan badan ke pojok tembok.
“Iya, benar, Lin. Kalau gak percaya, coba lo bawa motor gue, terus pura-pura mogok, berhenti di pinggir jalan raya Bogor. Gue jamin, ada aja orang yang deketin,” ujar pemuda berjaket levis itu.
“Yeeeh, itu mah cowok-cowok yang mau kenalan sama gue.”
“Benar, hahaha. Enggak ... maksudnya mereka pasti bantuin.”
“Ah, tapi gue gak mau, bikin repot orang lain aja.”
“Ini, kan, misalnyaaa...” potong Fendi. “Ngeselin nih orang.”
“Hahahaha.” Lina tertawa. Ia memang seringkali memancing respon Fendi supaya berkomedi.
“Kemarin komunitas Vespa gue habis touring” Fendi menyulut rokok.
“Touring ke mana?” tanya gadis berleher jenjang itu.
“Ke gunung Halimun,” jawab Fendi sembari mengepulkan asap rokok dari mulutnya ke wajah Lina.
“Fendii, reseh lo!” tangannya mengibas-ngibaskan asap rokok.
“Kok lo gak ngajak gue sih? Lain kali ajak gue dong kalo nongkrong sama geng Vespa,” gumam perempuan berkaus hitam dengan lengan tangan sangat pendek itu.
“Halaah, nanti giliran gue ajak, lo-nya sok sibuk,” tegas Fendi menjawab.
“Coba, kapan lo pernah ngajak gue?” Lina bertanya, seraya melirik sinis.
“Ya udah ... nanti malam habis Isya gue ajak lo, ke rumah teman gue anak Vespa, mau gak?” tantang laki-laki beralis tebal itu, lalu menyeruput kopi hitam.
“Mmmmmm...” coklat bola mata Lina terangkat ke atas, tanda ia berpikir.
“Tuh, kan, paling juga lo gak bisa.” Fendi berkata demikian, padahal sebenarnya ia menaruh harapan seribu persen agar teman cantiknya itu mau ikut.
“Ok siap, berangkaaat. Tapi jemput gue yah,” balasnya dengan manja.
“Serius lo? Nanti malam gue jemput depan rumah yaa.” Fendi mengangkat piring kecil dan gelas kopi, kemudian ia letakkan di atas etalase lauk pauk. Lina mengangguk-angguk.
“Kemarin gue dikasih ini sama teman gue,” Fendi mengeluarkan sebuah batu cincin berwarna kuning.
“Apa itu?” tanya Lina, melihatnya sedang mengangkat batu cincin dengan dua jari, tepat di depan matanya.
“Lihat dong,” Lina mengambil batu cincin itu.
“Itu batu ... mata kucing kuning. Itu barang langka yang gak ada duanya,” ucap Fendi.
“Iya, yahh, kayak mata kucing beneran.” Lina terheran sambil memperhatikan batu cincin itu dengan saksama. Fendi menatap fokus wajah Lina dari samping kanan. Hidung mancung berpadu dengan bibir yang indah dan bulu mata yang lentik.
“Buat gue yah, Fen.” Lina menoleh cepat, membuyarkan pandangan temannya itu. Jari-jari tangannya langsung menggenggam erat batu cincin.
“Jangan, Lin, ngaco lo. Gue gak enak sama teman gue, itu pemberian dari dia,” jawab Fendi dengan ucapan rada emosi.
“Udah, sini!” rebut pemuda bermata sendu itu, berusaha membuka kepalan tangan Lina. Tetapi Lina dengan cepat menyembunyikan tangannya di belakang pinggang.
“Oke, kalau itu alasannya, nanti gue yang minta langsung sama teman lo,” ujar Lina, menawar. Fendi masih coba menjangkau tangan Lina.
“Sekarang lo mau ngasih gak?” Lina membujuk lagi.
Fendi agak terkaget. Ia berpikir kalau orang yang ditujunya, yaitu Aradhea, benar-benar akan bertemu dengan Lina. Lelaki itu jelas mengenali kedua temannya. Namun memang Fendi adalah orang yang asik dalam bergaul, maka ia tidak takut kehilangan barang yang disukai, demi seorang teman. Ia langsung duduk di tempat semula, menyender di pojok.
“Ya udah, nanti malam lo langsung minta aja sama orangnya,” ucapnya bernada lemas dan pasrah, seakan-akan menerima kekalahan.
“Nah, gitu, dong,” Lina tersenyum. “Teman lo yang ngasih batu ini nanti malam ikut kumpul juga yaa?”
“Iya, gue emang pingin ke rumahnya.”
“Oke, nanti malam gue yang minta sama teman lo. Sekarang, gue simpan dulu batu ini.” Lina menaruh ‘mata kucing kuning’ itu ke dalam dompetnya, sedangkan Fendi hanya melongo, menyayangkan batu cincin langka pemberian Aradhea diambil. Padahal sebenarnya ia hanya sekadar ingin menunjukkan kepada Lina, tapi tanpa ia duga perempuan cantik itu malah menginginkannya.
***