ARADHEA

Rudie Chakil
Chapter #6

Pertemuan Penting

Langit cerah ketika malam baru saja ditampakkan, akan selalu menjadi hiasan abadi bagi para pemuda-pemudi yang saling mencinta, kemudian bermesraan berdua. Langit cerah di waktu malam juga memberikan tawa pada sepasang remaja yang merasa telah memiliki pasangannya.

Padahal, siapa yang tahu jodoh setiap anak manusia?

 

***

 

Langit cerah di malam Jumat, merupakan pertemuan penting, antara keluarga Candra Gupta dengan keluarga Arsan Widodo. Antara Lina Caroline dengan seorang laki-laki dewasa muda bernama Wahyu Iswandi, yang merupakan calon jodohnya.

Bapak Arsan — ayahnya Wahyu — adalah sahabat dari Bapak Candra semasa muda, kala masih duduk di bangku kuliah. Mereka tetap menjalin persahabatan selepas masing-masing berkeluarga, hingga keduanya matang baya.

Dua kepala keluarga itu sepakat untuk mempererat tali persaudaraan tatkala mendapat usul dari Mbah Waskita — ayahnya Arsan — mengenai perjodohan antara Wahyu dan Lina sejak masih kecil.

Pertemuan keluarga itu diadakan di sebuah rumah makan mewah, wilayah Kota Kembang. Mereka menyewa sebuah ruangan khusus untuk pertemuan tersebut. Keceriaan terpancar pada wajah-wajah mereka saat menikmati hidangan istimewa di satu meja. Budaya dari dua keluarga itu pun hampir serupa, tiada obrolan saat makan. Selesai makan, barulah mereka mulai berbincang-bincang.

“Baiklah, kita langsungkan saja arah pembicaraan dari pertemuan ini.” Bapak Arsan membuka inti percakapan selepas masing-masing bercakap ringan.

“Saya tidak berpanjang kata, karena kita semua sudah tahu tujuan dari pertemuan ini. Yaitu mempererat tali persaudaraan keluarga kita.” Pria berjenggot lebat dan rapi itu melirik pada Bapak dan Ibu Candra.

“Dengan senang hati, Pak Arsan. Kami pun sudah siap dengan hal ini,” ujar Bapak Candra seraya menengok pada sang anak.

“Mulai hari ini, biarkan mereka saling mengenal terlebih dahulu,” lanjutnya sembari tersenyum.

Para istri dari dua kepala keluarga juga ikut tersenyum. Sementara Lina dan Wahyu bersikap biasa saja.

Wahyu adalah seorang yang matang dalam bersikap. Pembawaannya tenang dan dingin bagi siapa saja yang pertama kali melihat. Termasuk Lina, dan juga kedua orang tuanya yang terlihat telah jatuh hati pada pemuda berkacamata itu. Dia berwajah tampan dengan kulit putih bersih bak seorang wanita. Hidung mancung, bibir agak lebar, serta lesung pipit yang turut menghias senyumnya. Rambutnya tipis, lurus, hitam dan klimis, tersisir ke belakang. Tubuh proporsional dengan tinggi 175 cm.

Dalam pertemuan itu, kedua orang tua Lina terkesima melihatnya. Merasa bahwa dia-lah pria yang benar-benar pantas bersanding dengan putri semata wayang mereka. Pasangan yang terasa sempurna menurut beberapa pasang mata di sana.

Bapak Arsan melanjutkan bicara dengan nada khidmat.

“Inti dari pertemuan ini adalah supaya Wahyu paham, bahwa Lina adalah jodohnya. Sebaliknya, Lina juga melihat, bagaimana calon suaminya.”

Wahyu dan Lina hanya mengangguk-angguk, sesekali juga mereka saling melirik. Dua inshan yang dijodohkan itu memang duduk saling berhadapan, hanya terhalang meja makan bersama.

“Gimana, Lin?” tanya Bapak Candra pada sang putri yang duduk di sampingnya. Satu baris dengan sang ibunda.

“Yah, seperti yang Papah bilang.” Lina mengangguk. “Tapi sebelumnya Lina boleh bertanya satu hal?”

“Apa itu?”

“Jika memang Mas Wahyu adalah jodoh Lina, kenapa Lina baru dipertemukan sekarang?” suara gadis cantik itu terdengar lembut dan sopan. Pertanyaan tersebut pun sebenarnya ditujukan pada keluarga Bapak Arsan, bukan pada ayahnya. 

Sepasang mata dari balik lensa optik pemuda yang duduk di depannya itu saksama memperhatikan. Tatapannya tenang meski beberapa kali beradu pandang.

Dua kepala keluarga pun saling menengok.

“Jadi, gini, Lina. Mbah Waskita sudah berpesan pada kita, supaya jangan dulu mempertemukan kamu dengan Wahyu, kecuali pada saat yang sudah ditentukan, yaitu pada hari ini.” Bapak Arsan mewakilkan jawaban yang kurang lebih sama, apabila dijawab oleh ayahandanya.

“Ohh ... baik, Om, maaf kalau Lina bertanya.” Sikap dan cara bicara Lina paling hangat dan tidak terkesan kaku.

Bapak Arsan tersenyum. “Hahaha, enggak apa-apa.” Lantas menengok pada istrinya.

“Lina ini sungguh gadis yang pintar, Mih. Tanda dari orang cerdas adalah mempertanyakan sesuatu yang mengganjal di hatinya, terlepas dari apa yang dia rasakan. Apakah senang atau kesal barangkali,” sambung pria berkulit kuning langsat itu, dengan pernyataan yang sedikit menyindir.

“Hahaha.” Mereka serempak tertawa, kecuali Lina. Lina bersikap biasa bukan berarti merasa tersindir, akan tetapi dia sama sekali tidak bangga apabila ada orang lain yang memujinya.

“Oh, iya, Lina kan masih kuliah yaa.” Ibu Erna — istri Bapak Arsan — menengok pada putranya. “Kamu antar jemput aja, Yu, sekalian mampir ke rumah Tante Liani.”

“Iya ... silakan,” Ibu Liani manggut-manggut.

“Biar bagaimanapun, masa pengenalan itu penting. Ekspektasi paska pernikahan bisa lebih terlihat nantinya,” tambah Bapak Candra.

Obrolan mereka pun berlanjut.

 

Kesan pertama ibarat kunci untuk membuka pintu hati seseorang. Tetapi kepercayaan dan kepedulian menjadi sebuah jalan, bilamana pintu itu sudah terbuka.

 

***

 

 

Wujud asli dari penyakit selalu menutup diri di balik mantel yang tak terlihat. Bertebaran di udara, seiring dengan angin kering yang berembus cepat melewati ruas jalan di antara gedung-gedung tinggi. Seperti hendak memeluk orang-orang yang memang sudah dituju. Tidak bergerak searah, dan saling bertubrukan bersama debu-debu jalanan.

Sebuah bangunan sederhana beratapkan asbes yang telah usang berdiri di sisi jalan. Tak gengsi bersaing dengan bangunan yang tinggi menjulang. Di sebelah kiri terdapat pohon tua yang berdiri ringkih berkulit kehitaman. Namun setia menemani dua orang lansia pemilik warung kopi dan gorengan.

Seorang perempuan muda berlari menghindari sengatan terik matahari. Sesekali berlindung di bawah rimbun pepohonan sisi ruas jalan, lalu kembali berjalan tergesa. Perempuan lincah yang memakai blazer dan celana hitam itu cepat-cepat mengejar perempuan berambut ikal sepunggung, yang tengah berlenggang tenang menuju bangunan kecil yang terbuat dari kayu itu.

“Aidaa ...”

Sebuah panggilan keluar dari pemilik wajah ceria. Bibir indah dengan hidung bangir, seakan-akan menambah renyah suaranya.

Perempuan berambut ikal berkulit eksotis yang berjalan di depannya itu menengok. Matanya terlihat bundar, dengan bulu mata lentik di bawah kelopak mata.

“Lina.” Suaranya datar agak meninggi, seraya mengangkat kedua tangan seperti bersiap memeluk.

Gadis itu bernama Aida Nurrosi — 23 Tahun. Teman akrab Lina yang beberapa waktu belakangan ini jarang ketemu. Keduanya bersikap akrab seperti biasa meski salah satu di antara mereka sering menghilang tanpa kabar.

“Mau ke mana?” tanya Lina seraya memberikan pipi kanannya untuk ditempelkan dengan pipi kanan Aida.

“Ke Pak Khusnul,” jawab Aida.

“Ayoo.”

“Sorry, Lin, gue cuma mau beli minuman aja. Gak bisa lama-lama.”

“Aidaa ... kita udah lama gak bincang-bincang.” Lina menarik tangannya.

Aida memang sempat beberapa kali merasa keki pada sahabat baiknya itu, oleh karena Lina tidak pernah menceritakan masalah pribadi kepadanya. Lina memang merupakan perempuan yang agak tomboi, komunikatif, dan supel pada orang-orang yang ia kenal, tetapi ia juga pemilik pribadi yang tertutup. Ia benar-benar mampu menutup diri tentang kehidupan pribadi pada orang lain. Tentang kesenangan atau kesedihannya, meski kepada orang yang sudah sangat dekat dengannya. Seperti Fendi, Vera, Aida, atau teman yang lain.

Dua dara cantik itu masing-masing memiliki keunikan positif. Secara fisik keduanya sama-sama mempunyai stempel ‘anugerah’ dari Sang Maha Pencipta, Sang Maha Pembentuk Rupa.

Postur tubuh Lina mungkin lebih tinggi dari Aida, tapi tak sedikit orang yang justru menyukai tubuh standar dan seksi Aida. Lina mempunyai paras yang cantik, perpaduan antara wajah barat dan timur. Aida juga mempunyai wajah cantik dari versi yang berbeda. Mata bundar, hidung mungil tetapi tidak pesek, dan bibir agak tebal merekah yang berpadu pantas. Bisa menjadi penyeimbang kecantikan Lina. Secara jiwa pun demikian. Keduanya saling berlomba menjadi yang terlebih di antara mereka.

Sebenarnya Lina tidak pernah merasa, atau menginginkan untuk saling unggul-mengungguli. Ia hanya suka sibuk dengan dirinya sendiri. Aida yang seringkali merasa, bahwa Lina selalu menyainginya. Kemudian tampil-lah persaingan sengit di antara mereka berdua. Dari mulai potongan rambut, dandanan, gaya busana, sikap, sifat, barang bawaan, kendaraan, sampai materi alat tukar yang senantiasa menjadi ajang pencitraan mereka. Aida tidak pernah mau kalah dalam hal apa pun. Sedang, Lina tidak pernah mengikuti, atau pun menyaingi Aida bilamana perempuan yang terlihat lembut itu mempunyai sesuatu yang baru. Meski begitu, keduanya selalu bisa menjaga pertemanan mereka, akan bersikap biasa dan tetap berteman.

 

“Lina sekarang-sekarang gak ada perubahan, yah?” tanya Aida, duduk di pojok kedai. Sorot matanya tepat ke wajah Lina, kedua tangannya memegang rambut.

“Hahaha ... memang gue bunglon.” Lina cepat menjawab, kemudian mengambil dua gelas es teh yang disediakan oleh istrinya Pak Khusnul.

“Belakangan ini lo sibuk apa, Ay? tanya Lina pada Aida yang baru saja memakai bando warna ungu muda. Mimik wajah Aida seolah-olah merasa, jika pertanyaan Lina ada kesan menyindir.

“Ay ... lo marah sama gue yah?” lanjutnya setelah beberapa saat menunggu jawaban yang tidak ia dengar. Aida mengambil napas, menoleh dengan raut agak cemberut.

“Jujur aja, gue sempat kesel sama lo, Lin. Lo apa-apa gak pernah cerita sama gue. Sampai masalah aksesoris mobil juga, lo lebih seringnya nanya sama orang lain ketimbang sama gue,” tukasnya.

“Aida ... masalah gitu doang. Gue gak mau ngerepotin lo tau. Terus, gue gak terbuka, karena emang gak ada yang harus gue ceritain.”

“Tapi paling enggak lo kan punya teman yang paham masalah itu. Gue jadi kayak orang yang gak dianggap sama lo, Lin.”

“Perasaan gue, lo yang enggak pernah nongkrong dehh, Ay. Lagian, mana gue tahu kalau lo enggak bilang sama gue. Tapi, ya udah deh, gue minta maaf kalau udah bikin lo tersinggung,” ujar Lina membela diri, mengambil tissue, lalu membersihkan basah air minum di bibirnya.

“Aida ... udah dong jangan marah. Lo juga jarang banget cerita tentang kehidupan pribadi lo sama gue,” sambungnya. Aida pun tersenyum. Keduanya menikmati es teh manis di waktu siang terik itu.

“Ay, lo kan anak indigo. Lo tahu gak latar belakang, kenapa seseorang bisa menjadi mistikus?” Lina betanya lagi.

“Hah!” Aida agak terkejut. Pupil matanya tak bergerak. Serasa berpikir, apa maksud pertanyaan Lina.

“Kenapa, Lin, kok tiba-tiba lo nanya gitu? Lo berteman sama paranormal yah?” lembut suaranya.

“Gak apa-apa, gue nanya aja,” balasnya ringan.

Aida menahan sesuatu dalam benak. Sikapnya kembali dingin. Sedangkan Lina tetap ceria menikmati segelas minuman dingin.

“Gue punya, teman begitu, Lin,” Aida bicara dengan nada serius. Pikirannya mengambang pada ingatan dengan seseorang.

“Iya ... soalnya lo kan juga suka, sama hal-hal mistik, gitu. Tapi maksud gue, orang seperti itu kok bisa yah memahami perkara di luar kehidupan mereka?” Lina bertanya penasaran.

“Susah dimengerti, Liin. Orang kaya gitu susah dimengerti...” gaya bicara Aida seperti sudah sangat mengenal orang-orang seperti itu, tetapi nada suaranya juga seperti menyudutkan diri sendiri. Lina yang memang sering memperhatikan sikap seseorang menjadi tambah penasaran.

“Susah dimengerti gimana sih, Ay?”

“Iya, pokoknya aneh.” Gadis yang memakai baju lengan panjang itu menggeser badan, menghadap ke arah Lina.

“Gue mengenal beberapa orang yang kayak gitu, sampai ada fase ketika dia bisa, hmmm,” Aida berpikir sejenak. “Bisa kayak di film Constantine, gitu.”

“Hah, masa sih?”

“Serius.”

“Maaf, Neng. Bapak boleh ikut ngobrol?” tanya Pak Khusnul.

“Ah, yahh, Pak Khusnul, silahkan, Pak,” Lina menjawab dengan senyuman.

Istri Pak Khusnul yang duduk di belakang etalase juga tersenyum melihat suaminya ikut berbincang. Sepertinya saat sedang mengelap meja, Pak Khusnul tak sengaja mendengar obrolan dari pelanggan cantik yang sering datang ke warungnya itu.

“Orang miskitus sudah bawaan dari lahir, Neng. Tapi ada juga yang bisa, karena belajar ilmu kebatinan,” ucap Pria tua itu.

“Oh, gitu, Pak.”

“Iya, saya kenal beberapa orang seperti itu. Ada satu orang yang saya kenal, anak muda seusia kalian. Dia lain dari pada yang lain.”

“Aradhea yah, Pak?” Aida bertanya dengan suara pelan.

“Apa?” tanya pria kurus berkulit sawo matang rambut putih itu karena kurang mendengar perkataannya.

Lihat selengkapnya