Adalah hal yang lumrah, bilamana seseorang yang hendak tidur, sejenak memikirkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Entah itu terjadi beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun yang lalu. Selama peristiwa itu menyentuh emosi dan sisi kemanusiaannya.
Malam itu tepat dua hari setelah pertemuan penting antara Lina dan Wahyu. Perempuan yang sudah memakai piyama putih itu merebahkan badan di kasur. Pikirannya merekam kembali jejak-jejak pertemuan mereka. Mengingat lagi sosok Wahyu. Sikapnya, wajahnya, dan percakapan singkat mereka.
Lampu kamar ia matikan, berganti tugas dengan lampu hias imut di sudut ruangan yang bersebelahan dengan akuarium ikan laut. Ia memberi makan ikan mini berwarna biru, kemudian kembali merebahkan badan.
Gelap pandangan mata yang tertutup dalam bayang temaram lampu pengantar tidur, memvisualisasikan secara samar, sebuah peristiwa siang hari tadi. Tentang seseorang yang tiba-tiba hadir dalam pikirannya.
Ekspresi wajahnya pun berubah. Senyum menawan tersirat dengan mata terpejam.
Dalam benak ia berbicara; “Dasar orang aneh.”
Jiwanya pun terbang menuju alam mimpi.
Seberkas cahaya suci bagai sinar mentari, coba menyinari belantara sanubari seorang inshani. Terhalang mendung pekat awan keinginan yang belum sirna dari jejak diri. Sinar suci itu terus berupaya menembus angan, tempat asal dari segala khayal. Hingga sampailah ia di dasar belantara yang kosong dan tertinggal.
Kasih yang tertahan, cinta yang menjulang, juga rida seluruh alam akan menggelar karpet merah diambang kepiluan sang inshani.
Terangilah jagad nurani dalam kebersatuan embusan napas kerinduan, wahai hierarki nasib yang hakiki.
Di tempat lain, Aradhea sedang diminta tolong oleh keluarganya Fendi untuk melakukan suatu pekerjaan.
***
Lina Caroline adalah seorang penyuka seni dan kehidupan. Bermacam seni sangat ia suka, bahkan seringkali ia nikmati. Tentang kehidupan pun demikian. Dari mulai falsafah hidup, kata-kata bijak, cerita-cerita kehidupan, sampai pemahaman tentang kondisi carut-marut negeri tempat ia dilahirkan. Maka itulah ia memilih jurusan sastra dalam mata kuliahnya.
Keesokan harinya di hari Minggu, perempuan berkaus putih dengan celana pendek itu seharian di rumah. Bersih-bersih kamar bersama Bibi Narti, seorang wanita paruh baya yang tinggal di rumahnya sedari ia masih sekolah dasar. Wanita itu terbilang saudara jauh dari pihak ayah, namun bersedia membantu segala keperluan keluarga Candra.
Sekitar pukul dua, siang hari, Lina duduk di kursi keheningan. Meletakkan ponsel, dan mengambil gitar yang tergantung di dinding, samping lemari pakaian.
Lina memainkan gitarnya sambil bernyanyi.
Jangan tanyakan bagaimana suara seorang Lina Caroline ketika sedang bernyanyi. Deretan piala di ruang tamu-lah yang akan menjawab. Piala yang didapat dari berbagai kompetisi yang ia ikuti semenjak masih SD sampai SMA.
Siang itu ia menanyanyikan lagu Stairway to Heaven, sekalian memperlentur jari-jari tangannya.
Dering suara handphone terdengar, memotong lagu yang belum selesai ia mainkan. Ia cepat-cepat meletakkan gitar berdiri di lantai, bersender pada lengan kursi keheningan yang ia duduki.
“Mas Wahyu,” ucapnya sendiri. Ia pun mengangkat panggilan masuk tersebut.
“Lina, lagi apa? Aku mau ke rumah.” Suara Wahyu terasa asing, kurang tribble dan terdengar tidak stereo.
“Lagi di rumah. Ya udah, gak apa-apa,” jawabannya bernada santai.
Setelah dirasa cukup lama tidak ada suara, Lina menutup percakapan. Melanjutkan bermain gitar dengan beberapa lagu yang ingin ia nyanyikan. Di antaranya lagu You’re Still The One, Ode To My Familiy, dan Unintended.