ARADHEA

Rudie Chakil
Chapter #8

Gemericik Rasa

Kamis pagi tak berbeda dengan hari-hari sebelumnya, dan pasti serupa dengan hari-hari setelahnya. Ada pun yang menjadi pembeda adalah rasa hati dan pikiran yang tengah dirasakan seseorang, atas kondisi yang terjadi pada kehidupannya.

Hari kamis itu suasana hati Lina tampak berseri. Layaknya musim semi di film animasi. Beraneka warna cerah nan ceria.

Berangkat kuliah tadi ia diantar oleh Wahyu. Sudah hari ke-empat pemuda putih tampan itu mengantar jemput. Lina pun merasa senang, karena menurutnya cinta adalah sebuah bukti nyata, sebuah karsa, bukan hanya sekadar rasa dan kata.

Perempuan berzodiak Aquarius itu duduk di kursi depan mobil. Wajahnya begitu ceria melihat pemandangan jalan. Wahyu yang berada di kursi kemudi seringkali melirik. Hari Selasa kemarin, Wahyu menyatakan perasaan cinta pada Lina. Sore hari ketika Lina hendak masuk rumah, di depan pintu.

“Lina, sebentar,” suara panggilan dari Wahyu, menghentikan langkahnya.

“Iya, Mas, aku mau ambil minum dulu,” balasnya, seraya menengok. Wahyu segera memegang pergelangan tangan Lina cukup keras.

“Aku cinta padamu, Lina.” Dengus napasnya seakan-akan menyusup ke dalam hati dan pikiran Lina, seiring sorot mata serius yang menatap wajah cantiknya.

Mahasiswi pecinta musik itu terkejut dan terharu seketika. Ia memang telah ratusan kali mendengar ucapan dan kata-kata serupa. Namun untuk yang satu ini, pasti ada pembeda dengan yang sudah lalu. Kali ini tunangannya itulah yang menyatakan ungkapan hatinya.

Lina terasa ceria, lebih ceria dari malam lusa kemarin, dan juga hari Rabu kemarin. Jam delapan pagi, langkah kakinya sudah sampai di area dalam Universitas.

‘Hari ini ke rumah Ade’.

Alarm pengingat sudah ia aktifkan di ponsel. Mengingat akan pertemuan malam nanti dengan orang yang membuatnya sangat penasaran.

 

Pukul 16.00, Lina duduk di kursi warung Pak Khusnul, menunggu kedatangan Wahyu yang akan menjemput. Ditemani oleh Fendi yang memang selalu ikhlas menemani. Sementara, Vera, mahasiswi yang selalu pulang bersamanya itu sedang tidak masuk kuliah karena sakit.

“Fen, nanti malam lo jemput gue yah. Gue mau naik motor lagi,” ucap Lina, yang duduk di sebelah kiri Fendi. Seperti biasa, mahasiswa berambut gondrong itu duduk di pojok warung.

“Iya,” jawab Fendi.

“Lo udah bilang belum sama Ade?” tanya gadis jelita itu.

“Iya,” jawab Fendi lagi.

“Fen ... Ade itu kayak gimana, sih? Terus terang gue penasaran sama dia,” gumamnya sambil mencubit siku tangan Fendi.

“Iya, iya ... apaan?” balas pria itu.

Lina melepas cubitannya. “Si Ade itu kayak gimana?” tanyanya.

Pemuda berbibir tipis yang memakai switer cerah itu tersenyum seribu maksud.

“Dia ... yah begitu. Pasti bikin orang penasaran,” ucapnya.

“Iya, benar kata lo, Fen, dia itu sosok mistik,” mata Lina menatap serius.

Fendi meminum kopi yang sudah agak dingin, lalu membakar rokok. “Lin ... lo inget gak kejadian kemarin?”

“Kejadian apa?”

“Waktu lo duduk di motor Ade, terus lo kepanasan sampe pegang kepala?”

“Iya, kenapa?” Lina coba mengingat, matanya melirik ke atas.

“Itu kan cuaca panas banget, tapi langsung berubah jadi mendung,” ucap Fendi.

“Iya, yah?” Lina seperti terheran karena teringat. Sorot matanya kembali menatap Fendi.

“Iya ... sebelumnya kan Ade nutup gelas punya lo, padahal gak ada laler... inget gak, lo?” lelaki itu mengepulkan asap rokok ke bawah.

“Iya, iya, gue ingat.” Garis wajah Lina tambah penasaran, merasa sama dengan pikiran Fendi, bahwa hal tersebut terjadi karena Aradhea melakukan hal tersebut.

“Iya.” Fendi menyahut. “Kadang-kadang kalau dia ngomong, terus apa yang diomongin itu pasti terjadi,” lanjutnya.

“Ah, masa, sih, Fen? Mungkin apa yang dia ucapkan bias dan punya makna ganda.” Tegas Lina, bernada kurang percaya, padahal dalam hati ia sungguh percaya. Memang demikianlah manusia. Terkadang hati dan pikiran logika belum dapat seimbang karena sesuatu hal yang belum sepenuhnya diyakini.

“Tadinya gue juga berpikir begitu, Lin. Tapi gua menemukan hal itu lebih dari lima kali,” ujar Fendi dengan percaya diri.

Ketika sedang asyiknya berbincang, ponsel Lina berdering, tanda Wahyu sudah datang menjemput.

“Fen, cowok gue udah datang. Sorry yah,” ucap perempuan itu sambil berdiri.

Saat mendengar ucapan itu, Fendi agak terkaget. Sebab ia tidak pernah tahu bahwa ada seorang pria dalam kehidupan Lina.

“Sorry ... nanti malam gue ceritain semua sama lo.” Tangannya menyentuh pelan bahu belakang Fendi, matanya tajam meyakinkan. Dalam benak ia merasa tidak enak pada teman baiknya itu, karena belum menceritakan apa-apa tentang kehidupan pribadinya. Terlebih ia kemarin bertemu Aida, dan selalu mengingat perkataan Aida tentang dirinya yang sangat tertutup.

Lina berjalan ke mobil Wahyu. Fendi tetap duduk, menunduk dan menikmati asap tembakau yang keluar masuk mulutnya.

 

“Lin ... ganti baju kamu cepat. Aku mau ngajak kamu makan di Puncak,” bicara Wahyu, saat mereka baru duduk di kursi ruang tamu. Lina yang duduk di hadapannya langsung menengok.

“Kok kamu enggak bilang sebelumnya? Malam ini aku ada janji sama teman aku,” serunya.

“Oh, jadi teman kamu lebih penting daripada aku?” nada bicara Wahyu terasa menyerang dengan senjata yang tak terlihat.

“Bukan gitu, Mas, tapi memang sudah seminggu yang lalu, aku bikin janji sama dia.” Lina membela diri. Suaranya masih terdengar pelan dan merendah.

“Teman kamu yang mana sih? Pasti cowok?” Wahyu menggerutu sekaligus bertanya.

“Memang kenapa kalo temanku cowok!” nada bicara Lina seperti menyerang balik.

“Sudah! Aku gak mau ribut sama kamu. Cepat kamu ganti baju dan ikut aku,” gerutu Wahyu tak mau kalah.

Akhirnya Lina mengalah. Ia juga tidak ingin perseteruan lisan dengan Wahyu kian berlanjut. Dengan mimik cemberut ia meminta izin untuk mandi.

 

Setelah tampil cantik mengenakan dress panjang berwarna putih, Lina datang ke ruang tamu, duduk kembali di depan Wahyu. Raut wajahnya masih tampak tak terima. Mulutnya tiada berkomentar sepatah kata pun. Serasa malas dengan gumaman yang baru saja terjadi. Namun begitu, ia justru makin sering dipandangi oleh lelaki yang memakai kaus hitam dan celana Levis itu. Melihatnya seperti tatapan macan kumbang kala melihat seekor kijang kencana, yang ditujukan ke arah wajah dan payudara.

Lina lebih sibuk dengan ponsel. Perasaannya jauh lebih tidak enak pada janjinya dengan Aradhea dan Fendi, ketimbang pada lelaki di depannya itu. Ia mengirimi Fendi pesan Whatsapp, sebab belum punya nomor ponsel Aradhea.

‘Fen, sorry banget yah, gue gak jadi ke rumah Ade’.

 

Di tempat yang dituju surat elektronik yang baru saja dilayangkan itu, Fendi sudah siap untuk meluncur. Sudah berpakaian rapi, sudah duduk menunggu berita yang isinya perintah untuk segera menjemput. Tapi dia bagai kena paw dalam permainan Capsa. Pesan yang diterimanya malah jadi terbalik.

 

Kencan pertama berdua dengan Wahyu sangat tidak menggoda perasaan Lina. Saat-saat yang seharusnya romantis bersama seseorang yang kelak akan menjadi teman hidupnya itu lebih menjenuhkan ketimbang dalam kesendirian di dalam kamar. Wahyu dianggapnya sebagai individu yang tidak bisa membawa suasana, terlampau kaku, dan sungguh egois.

Selepas makan, mereka tiada berbincang mesra layaknya sepasang kekasih. Lina langsung di antar Wahyu pulang.

 

***

 

 

Tangis-tawa atau pun senang-sedih akan menjadi satu titik dalam sisi lingkaran yang berputar. Bagaikan siang-malam yang senantiasa berganti setiap hari. Jika kemarin pagi Lina begitu ceria dengan satu kondisi yang dirasakannya. Hari itu, jumat pagi, ia begitu murung karena satu kondisi yang ia rasakan.

Pagi itu Lina enggan mengeluarkan suara saat perjalanan menuju kampus. Mungkin Wahyu sadar kalau pertemuan kemarin telah menyisakan rasa tidak nyaman bagi Lina. Tetapi dalam benaknya tetap saja ia yakin, jika Lina pasti akan menjadi istrinya. Bahwa Lina memang sudah seharusnya menurut pada titahnya.

Ia merasa diri di atas angin. Ikatan yang dililitkan orang tua membuatnya tidak memahami perasaan halus makhluk unik yang dinamakan ‘Perempuan’.

Sore harinya Lina menghubungi Fendi. Mencoba mencari suasana cair yang ia harapkan, juga minta ditemani seperti kemarin. Berbincang mereka dalam posisi yang sama. Fendi duduk di pojok karena hadir lebih dahulu, dan Lina di sebelahnya, sembari menikmati minuman dingin yang tak pernah bosan ia pesan pada Pak Khusnul.

Sore itu cuaca agak mendung, seakan-akan menjadi perwujudan suasana hati Lina yang tampak murung.

“Menurut lo, sistem perjodohan itu gimana, Fen? Bagus atau enggak?” bisik Lina. Fendi terkejut dengan pernyataan tersebut. Matanya menerawang memikirkan maksud dari perempuan berhati baik itu.

“Kalau gue sih tergantung ceweknya. Kalau ceweknya model kayak lo yah bagus,” jawab Fendi. Lina senyum terpaksa sambil bergeleng.

Nah, kalau ceweknya sosok yang gak lo suka, gimana?”

“Yah jelas gak bagus. Lagian ada aja sih pertanyaan lo.” Fendi menyeruput kopi sambil melirik Lina yang tidak seperti biasanya.

“Lin ... lo serius yah?” sambung Fendi dengan rasa penasaran.

Lina mengangguk, lalu menarik napas panjang. Bola matanya naik memandang langit-langit warung berupa asbes.

“Lo tau kan Fen, dari dulu gue gak pernah punya cowok.” Cepat nada Lina bicara, dengan raut wajah agak sewot.

“Lo tau gak kenapa?” tambahnya lagi, menengok. Fendi pun menundukkan kepala sambil tetap melihat.

“Gue dari kecil udah dijodohin, Fen,” seru Lina dengan napas berubah jadi lebih cepat.

“Hah?!” sorot mata Fendi fokus seketika. Seolah tak percaya dengan kepribadian ceria yang selama ini ia kenal.

“Terus, cowok lo yang kemarin itu orangnya?” lelaki berkulit sawo matang itu bertanya dengan wajah iba, didasari tenggang rasa yang begitu tinggi.

“Iya.” Lina menatap dalam pada Fendi.

“Dia namanya Wahyu. Dua minggu kemarin, keluarga gue ketemuan sama keluarga dia.”

Perihal dari Lina membuat Fendi serius untuk mendengarkan lebih jauh.

“Terus, lo gak ada rasa sama dia?” tanyanya dengan sikap kepedulian seorang sahabat.

“Justru itu, Fen. Buat gue rasa cinta itu gak ada. Cinta gue udah harus buat Mas Wahyu. Tapi setelah gue tahu, gue ngerasa benar-benar gak nyaman. Gue sama sekali enggak punya rasa cinta sama dia,” ujarnya mengeluh.

“Ya Allah, Lin. Kenapa lo gak bilang sama orang tua lo kalo gak nyaman?” Nada Fendi kian peduli.

“Apa yang harus gue bilang?”

“Yah itu tadi, lo harus bilang kalau lo gak mau. Atas dasar apa orang tua lo ngejodohin?”

“Gak mungkin, Fen, gue tau banget gimana orang tua gue,” raut wajah gadis berkemeja putih itu menampakan kegalauan. Jelas terlihat dari garis wajahnya, dan warna mata yang tampak memerah.

Lihat selengkapnya