Nikmatilah proses. Terkadang dalam sebuah proses, badan ini akan bergerak sendiri, kaki ini akan melangkah sendiri. Menuju satu tempat, di mana proses itu harus dilaksanakan.
***
Embun di pagi hari selalu menyapa ayam jantan yang tengah terlelap, sampai ia terbangun. Ayam jantan pun selalu menyapa sinar mentari pagi, hingga menyinari bumi. Sinar mentari pagi juga selalu menyapa semua manusia, dan berharap agar semua manusia senantiasa menyapa embun pagi dengan makna ucapan, ‘Selamat Pagi’.
Pagi hari pukul 06.45, cakrawala tampak cerah. Lina bersiap akan berangkat menimba ilmu di tempat kuliah, hanya tinggal mengambil kunci mobil di laci meja rias, lalu berpamitan dengan kedua orang tuanya. Hari itu ia berniat membawa kendaraan sendiri, sebab takut kejadian menunggu akan terulang lagi.
Lina turun dari tangga rumah, dengan rambut yang masih tergerai basah dan belum diikat kuncir kuda seperti kebiasaannya. Langkahnya tenang menuruni undakan demi undakan tangga rumah berlantai keramik. Tak berpegang pada pegangan tangga yang terbuat dari besi stainlees.
Saat berada di ruang tengah, sayup-sayup ia mendengar suara kedua orang tuanya sedang berbincang di ruang tamu.
“Gak apa-apa, Yu. Namanya juga lagi sibuk,” ucap Nyonya Liani.
“Biasa itu mah, gak masalah,” suaminya menambahkan, sudah berpakaian rapi dan hendak berangkat ke kantor.
Lina muncul dari balik lemari pajangan ruang tamu setinggi dua meter lebih. Ia mendengar percakapan mereka.
“Iya, saya jadi merasa salah sama Lina.” Wajah Wahyu terlihat seperti seorang yang amat berdosa. Menunduk-nunduk pada kedua calon mertuanya itu.
Sapaan Lina pada embun pagi seketika padam. Berubah menjadi diam membeku. Ia kemudian menuang teh hangat yang tersaji di meja. Ayah dan ibunya tersenyum memperhatikan.
“Lina mau bawa mobil sendiri aja, Mah,” ujarnya pada sang ibunda.
“Lho, Wahyu udah mau antar kamu, gimana sih?” balas wanita berambut sebahu dan agak gemuk itu.
“Yah kalo memang Mas wahyu sibuk, jangan bilang mau antar jemput Lina. Lina kan jadi repot,” gumamnya sambil melihat pada orang yang bersangkutan. "Lina juga masih bisa sendiri, kok,” lanjutnya.
“Maafin Mas Wahyu, Lin. Kemarin Mas Wahyu benar-benar gak sempat,” ucap Wahyu dengan roman bersalah.
“Udah, kamu jangan ngambek. Wahyu udah minta maaf tuh,” seru ibunya dengan senyuman. “Kamu enggak usah bawa mobil. Diantar sama Wahyu aja.”
Akhirnya Lina menuruti permintaan ibunya. Sepintas lintas wajah Wahyu berubah ceria.
Sugesti pagi Lina yang telah berubah menjadi diam pada embun pagi, pada kokokan ayam jantan, dan juga pada cerah sinar mentari, menjadikannya diam sepanjang perjalanan. Ia hanya curiga dan menduga-duga.
Benarkah Wahyu adalah sosok munafik?
***
“Bu, es jeruk yaa,” pinta Vera pada istrinya Pak Khusnul, di depan etelase. Sore hari Lina sudah lebih dulu duduk di pojok warung, dengan segelas kopi hitam. Hanya ia pengunjung perempuan di warung, selebihnya para mahasiswa yang sedang menikmati minuman dengan gadged di tangan masing-masing.
“Lo minum apa, Lin?” Vera bertanya sambil melihat gelas berisi minuman gelap. Lina sedang memainkan tab.
“Kopi item ...” jawabnya dengan senyum tanpa gengsi. Saat memesan tadi, entah mengapa hatinya menginginkan minuman tersebut.
Vera seharusnya bisa menjadi sosok teman yang paling dekat dengan Lina. Tetapi ia selalu minder olehnya. Perempuan bertubuh mungil itu terlalu segan karena kalah posisi, kalah hawa, dan kalah sikap. Padahal tidak harus begitu. Adalah lebih baik jika ia bersikap biasa saja. Lina tidak pernah membatas-batasi hal apa pun padanya.
Pertemuan mereka pun hampir setiap hari, meski hanya dalam perjalanan dari gerbang universitas sampai di depan pagar rumah Vera.
“Lin ... gue pulang naik angkot aja yah,” ujar mahasiswi manis berambut keriting itu. Tidak enak sebab merasa diri agak mengganggu. Semenjak hari pertama diantar-jemput oleh Wahyu, Lina sudah mengabarkan pada Vera, jika ia tidak lagi membawa kendaraan. Tetapi juga bilang padanya untuk tetap mengantar pulang.
“Ih, ngapain, Veraa. Udah gak papa, ikut gue aja,” himbau Lina, seraya memasukkan tab ke dalam tas.
“Gak papa Lin, gue naik angkot aja,” ucapnya, lalu memasukkan sedotan ke mulut. Bersikap seperti gayanya Lina jika sedang bicara.
“Veraa ... gue maunya lo ikut sama gue.” Lina kembali menampik dengan omongan, serasa mengerti permasalahan finansial yang tengah dihadapi temannya itu.
“Gue canggung sama cowok lo.”
“Canggung kenapa? Dia juga kan gak keberatan.”
“Iya. Tapi gue gak enak, Lin.”
“Udah, gak apa-apa, beneran dehh.”
Tak lama kemudian terdengar panggilan masuk dari ponsel Lina, tanda Wahyu sudah dekat di titik penjemputan. Lina tetap mengajak Vera untuk pulang bersamanya.
“Mas ... Vera katanya canggung sama kamu. Masa dia tadi mau pulang naik angkot,” ucap Lina di sebelah wahyu. Vera terlihat tambah canggung. Duduk sendiri di kursi belakang seperti orang kedinginan.
“Canggung kenapa? Aku biasa-biasa aja kok, enggak ada masalah,” balas lelaki yang memakai jas hitam itu.
“Namanya juga makhluk sosial, harus saling tolong-menolong,” lanjutnya dengan suara kalem.
Setelah itu tidak ada lagi suara obrolan di dalam mobil sedan abu-abu tersebut. Sampai Vera mengucapkan kata terima kasih, tepat di depan gang tempat tinggalnya.
“Kamu mau sampai kapan mengantar dia?” cetus Wahyu pada Lina, belum ada lima langkah kaki Vera setelah menutup pintu mobil. Raut wajah Lina yang tergurat ceria pun seketika berubah. Bagai mendengar suara bising yang dinyayikan seorang pengamen yang tidak berbakat.
“Tadi Mas Wahyu ngomong apa? Sekarang ngomong apa?” ia menarik napas. “Dari awal kan aku udah bilang, kalo Vera pulang sama aku,” balas Lina, dengan suara rendah dan datar.
“Kelihatan kali, Mas, kalau kamu gak suka si Vera ikut sama aku,” tambahnya lagi setelah beberapa detik.
Pria berwajah putih bersih tanpa bercak itu menggenggam erat setir mobil. Garis ketidakterimaan tampak pada raut wajah, juga dari sorot pandang di balik kacamata.
“Terus sampai kapan dia mau ngerepotin kamu?” Wahyu menengok dengan tampang kesal.
“Heh, kamu kenapa sih? Sebelum aku kenal kamu, aku udah biasa bareng sama Vera. Memang kenapa kalo dia ikut!” Lina menantang dengan nada dan suara yang mulai meninggi. Ia merasa tidak terima dengan maksud yang diutarakan calon suaminya itu. Dari awal mendengar perkataan Wahyu, ia sudah mengerti akan dibawa ke mana arah perkataan tersebut.
“Ya udah terserah kamu lah!” ketus Wahyu sambil menahan gigi-gigi geraham yang saling beradu.
Pria berbibir kering itu terdiam beberapa menit. Pikirannya mencari titik salah Lina, juga mencari argumen untuk bisa membenarkan sudut pandangnya. Cukup lama ia berpikir, tak tertembus, dan justru dikuasai oleh pikirannya sendiri.
“Ngapain sih, ngerepotin orang aja!”
Ia kemudian menggerundel pelan sendirian, namun terdengar oleh Lina.
“Hah!” Lina langsung menengok.
“Gini aja deh, Mas. Mulai sekarang Mas Wahyu gak usah antar jemput aku lagi. Aku mau bawa mobil sendiri aja,” ucap Lina, begitu cepat berpikir.
Wahyu menarik napas dalam.
“Kamu orangnya keras kepala yah!” celanya dengan sorot mata menatap tajam.
“Kamu yang harusnya ngaca!” perempuan berikat rambut ungu cerah itu ringan membalikan ucapan.
Wahyu hanya mengantar Lina tepat di depan pintu gerbang rumahnya. Lina menutup pintu mobil dengan keras, tanpa ucapan tegur-sapa. Mereka pun berpisah di saat matahari mulai tergelincir.
Malam hari dalam perenungan, menyadarkan sudut pandang di atas kursi keheningan. Ketimpangan dalam kehidupan, membuatnya berpikir panjang.
Larut dalam perenungan tentang apa yang sudah terjadi, menjadikan buah penyemangat tentang apa yang akan terjadi. Akal sehat pun berkreasi, membawa imajinasi pasti yang berhak atas nalar naluri.