Hujan ... matikanlah harapannya jika engkau turun karena seseorang yang bersedih. Tetapi hidupkanlah harapannya, jika engkau turun karena seseorang yang bergembira.
***
Suasana setelah hujan meneduhkan hati Lina. Ia senang dengan air, senang dengan jalan yang basah karena hujan, dan senang dengan segala yang berkaitan dengan air. Hal itu menjadi pertanda bahwa ia adalah seorang pecinta kehidupan yang mau berjuang. Seperti air yang mengalir di sungai. Tetap melaju meski melewati celah-celah batu selubang jarum sekali pun.
Pagi itu Lina berangkat kuliah dengan mobil sendiri. Sebelumnya terjadi ketegangan antara dia dengan ayah dan ibunya. Gadis itu bersikeras meyakinkan, kalau ia ingin berangkat kuliah dengan kendaraannya sendiri seperti semula. Ia juga telah mengirim pesan pada Wahyu semenjak pagi-pagi buta. Pesan yang isinya tidak lagi bersedia untuk diantar oleh lelaki yang tak memperbolehkan temannya menumpang itu.
Sore harinya, Lina meminta Aida untuk ketemuan di sebuah cafe yang dahulu biasa mereka datangi. Cafe itu tidak terlalu besar, namun punya area parkir yang cukup luas di gedung sebelahnya. Banyak sekali pemuda-pemudi yang datang sekadar nongkrong dan berbincang-bincang.
Mereka bertemu di parkiran dan berjalan bersama memesan minuman, lalu menuju tempat duduk terbuka di pojok cafe, sudut kanan bangunan.
“Gue mau cerita sama lo, Ai,” ucap Lina begitu semangat. Mengambil tempat pertama untuk duduk. Aida tersenyum.
“Ada angin apa Lin, sampai-sampai lo mau cerita ke gue?” datar suara Aida, juga mengambil tempat untuk duduk di depan Lina.
“Hahaha, gue kangen aja ngobrol-ngobrol sama lo,” sahut perempuan berbadan jenjang itu. Rambutnya selalu diikat ekor kuda yang condong ke atas.
“Lo pasti masih penasaran soal mistikus?” tembak Aida.
Lina agak tercengang dengan pertanyaannya. Padahal ia baru akan memulai curhat tentang hubungannya dengan Wahyu. Aida malahan bertanya tentang permasalahan inti.
“Iya, benar, hahaha. Gue belum ketemu sama penjelasan yang logis,” balasnya dengan wajah ceria, lekat terasa menyamarkan jawaban.
“Lo kenal sama Ara di mana, Lin? Pasti Fendi yang kenalin yah?” Aida tersenyum.
“Iya. Ceritanya tuhh Fendi punya batu mata kucing, terus gue minta. Eh, dia enggak mau kasih ke gue, katanya gak enak sama orang yang ngasih. Ternyata yang kasih batu itu Ade. Yah, akhirnya gue minta sama Ade.” Jelas Lina bicara, bagai sama sekali tidak mengenal siapa Aradhea. Aida mendengarkan sambil menerima gelas minuman dari seorang pelayan cafe.
“Kalo lo udah lama yah kenal sama Ade?”
Aida mengangguk. “Lumayan,” jawab gadis cantik berkulit eksotis itu seraya menunduk.
“Berarti lo pernah dekat sama dia yahh, Ay?”
Aida menarik napas dalam. “Dia tuh cowok gue, Lin,” serunya.
Lina sebenarnya terkejut dengan pernyataan itu, namun ia mampu bersikap tenang. Hanya terkejut dalam hati saja, sedang, wajahnya seakan-akan menunggu kelanjutan perkataan Aida.
“Tapi dua bulan yang lalu gue udah putus sama dia. Mungkin gue kurang bisa memahami dia, makanya, gue sama dia jadi ada jarak,” lanjut gadis dengan busana blus sutra berstelan dengan Levis gelap itu.
Lina pun teringat ucapannya tempo hari.
“Susah dimengerti, Liin. Orang kaya gitu susah dimengerti...”
“Lo tahu kan, Lin. Gue pasti cerita tentang apa pun sama lo, tapi gue gak pernah cerita tentang Ara.”
“Iya, Ay.”
“Soalnya gue gak mau ada orang yang tahu tentang cerita gue. Tentang kesalahan gue sama Ara. Sampai detik ini, Lin, gue belum bisa melupakan masa-masa bersama dia.” Ucapannya terhenti oleh tarikan napas. Mata bundarnya menerawang mengingat sosok Aradhea.
Lina bergejolak dalam hati, amat berharap Aida membuka seluruh kisahnya.
“Dia itu cowok paling gagah yang pernah gue milikin. Cowok paling benar yang pernah gue temuin. Tapi juga cowok paling keras kepala yang ada di dunia ini.”
“Oh ... ” tatap mata Lina serasa tak percaya, meski hatinya berbunga-bunga mendengar Aradhea diceritakan.
Kemurnian hati memang memegang peranan penting. Niat awal Lina yang sekadar ingin tahu lebih dalam tentang Aradhea, terwujud karena Aida bersifat terbuka. Di samping itu, semenjak dahulu Aida memang senang jika berbincang-bincang dengan Lina. Dan jika mereka sudah bertemu, hal apa saja bisa menjadi bahan yang asyik untuk diperbincangkan.
“Terus, gimana dengan Fendi?” tanya Lina, menyambungkan kembali cerita Aida.
“Gak tahu. Maksudnya, gue gak tahu apakah Ara cerita atau enggak sama dia.”
Lina mengangguk-angguk. “Terus, Lo pertama kali ketemu sama Ade gimana ceritanya, Ay?”
“Hmmm ... awalnya ada acara bakar-bakaran di rumah Fendi. Waktu itu kayaknya lo lagi pergi ke Bali yah?” Aida mengingat-ingat.
“Ohh, iya,” jawab Lina dengan sikap santai, padahal degup jantungnya menggebu-gebu, ingin tahu kelanjutannya.
“Jam sebelas malam pas selesai makan ikan, Fendi cerita kalo dia punya teman yang aneh. Waktu itu anak-anak udah pada pulang. Tinggal gue, Fendi, Ananta sama ceweknya. Tuh anak kalo lagi cerita kan seru, yah? Nah, kita bertiga tertarik, sepakat minta kenalan sama teman yang dia certain itu. Kita cuma penasaran aja, sekalian mau nanya-nanya, sama minta diramal juga.”
“Terus, Ade datang?” Lina menyisip ucapan.
“Iyah,” jawab gadis dengan kalung dan anting yang berkerlip indah itu sambil tersenyum, lantas melanjutkan ceritanya.
“Semua omongannya Ara, semuanya terjadi dalam hidup gue, Lin. Gue ngerasa dia benar-benar mengenal kehidupan gue. Benar-benar tahu tentang diri gue. Di situ gue suka sama Ara.” Jeda cerita Aida, dengan minum jus mangga.
Berbagai rasa hinggap menyatu di benak Lina. Dara berbusana kasual itu jelas merasakan rasa yang sama, dengan apa yang dirasakan oleh Aida.
“Setelah itu gue jadi sering banget main ke rumah Fendi cuma gara-gara pengen ketemu sama dia. Gue minta kontaknya, terus dia sering gue ajak jalan. Gue benar-benar gak nyangka, Lin, ternyata dia seorang pengusaha sukses.”
“Hah! Serius lo?”
“Iya ... gue jelas jadi tambah jatuh cinta sama dia.”
“Ohh...”