Sang ‘Waktu’ mengajak hari iringi canda pada manusia, sekadar saran dan tanpa paksaan, namun banyak yang tidak peka.
Sang ‘Aku’ mengajak alam pikir temani diri, pada sifat buruk dan kebiasaannya, namun banyak yang tidak rela.
Warna-warna yang terlihat seperti cahaya bintang jatuh pada sepertiga malam, berada di belakang kumpulan awan saat hujan turun pada sepertiga siang.
Bagi mereka yang melihat, akan tampak keterhubungan antara kondisi dirinya bersama segenap rasa yang ada, dengan warna-warna yang saling pendar menyilang, tetapi tidak akan pernah saling bertubrukan.
Begitu pula bagi mereka yang tidak melihat. Warna-warna itu akan menjadi pemerhati, bagi mereka yang tiada peduli kecuali memuaskan ego dan kepuasan diri sendiri. Hingga sesekali desiran awan hitam bergesekan, barulah mereka diperdengarkan rasa takut akan ketakutannya.
Bukan melihat atau dilihat-lah yang utama, tetapi merasakan warna-warna keagungan akan kehidupan-lah yang utama.
Bukankah telah berasal dari citra seni warna ilahi? Bahwa dalam tiap-tiap kesulitan selalu ada kemudahan, dan dalam tiap-tiap kemudahan selalu ada peringatan.
Nissan Juke berwarna biru metalik melaju pelan melewati alas konblok. Berhenti tepat di belakang motor Vespa tua berwarna cokelat yang sedang parkir di pinggir jalan, dekat pintu masuk utara sebuah Universitas.
Seorang laki-laki berambut seleher yang tidak terlihat berantakan, mendekati perempuan yang turun dari mobil dan duduk di bangku motor vespa miliknya itu. Ia meninggalkan teman bicaranya yang duduk-duduk di bawah pohon rindang.
“Fen ... lo ada waktu gak? Gue mau cerita tentang masalah gue sama Ade. Kira-kira dia respon gak yah?” ujar Lina sambil memegang setang motor.
“Pasti, lah. Ya udah ayo, gue juga mau mampir ke rumah dia,” balas Fendi.
“Oh ya, gue minta nomor Ade yaa, Fen.” Lina mengambil ponsel di dalam tas. Fendi memberikan nomor kontak dengan mengirimkannya lewat ponsel.
“Ya udah, lo jalan duluan yaa. Gue di belakang lo.” Ia beranjak, melangkah masuk ke mobil. Fendi pun berpamitan dengan temannya.
Sepanjang jalan menuju rumah Aradhea, Lina terus mengikuti Fendi. Meskipun membawa kendaraan santai, pemuda gondrong berjaket Levis itu amat lihay berkelok zig-zag di jalanan ibukota. Melaju cepat salip kanan salip kiri, hingga kecepatannya sulit diimbangi oleh Lina. Kondisi jalan lancar, Lina mendekat, dan kondisi jalan padat, Lina jauh tertinggal.
Saat setengah perjalanan, Fendi agak jauh meninggalkan Lina. Bokong vespa nyentrik itu terlihat sekitar tiga puluh meter dari kaca depan mobil.
Tersebutlah sebuah truk yang mengangkut mesin di kiri jalan. Kendaraan darat beroda banyak tersebut melaju seperti keong racun di pinggir sawah. Sedangkan Fendi sedang semangat-semangatnya menarik-ulurkan gas motor. Ia membanting setir ke kanan, menyelip kendaraan besar dan panjang itu. Di sebelah truk ternyata ada sebuah mobil sedan yang juga menyalip, dan di sebelahnya kanannya lagi terdapat ruas jalan arah putar balik.
Beberapa jarak di depan, mobil sedan itu tiba-tiba mengerem mendadak. Mungkin si-supir melihat arah putar balik yang mesti ia lewati.
Braakkk...
Fendi terjungkal dan berselancar di aspal, bagaikan pembalap moto GP. Untung saja truk besar itu yang berjalan sangat pelan hingga mudah untuk berhenti. Tetapi supir mobil sedan mengkilap itu paham, bahwa seseorang celaka karena ulahnya. Segera ia putar balik dan telapak kakinya menginjak gas sampai pol, melesat kabur tak terlihat.
Lina terperanjat melihat kejadian itu. Khawatir dan mendumal sendiri di dalam mobil. Tangannya langsung menekan tombol di tengah dasbor. Lampu dim pun berkedip di mobil seperti kodok biru itu.
Beberapa pengguna jalan dan pengendara lain coba membantu Fendi. Aneh, lelaki kurus itu bangkit tanpa merasa sakit sama sekali. Lina menghentikan kendaraan di tengah jalan, dan keluar. Fendi hanya senyum-senyum, karena memang tidak ada luka sedikit pun di sekujur tubuhnya. Hanya busana yang ia kenakan compang-camping tergores aspal jalanan.
“Lo gak apa-apa, Fen?” seru Lina sembari mendekat. Para pengguna jalan juga banyak yang berhenti. Fendi lalu melihat kondisi motor. Bagian depannya sudah penyok. Ia dan Lina lantas mendorong motor ke sisi jalan.
“Gak apa-apa, Lin, ayo jalan lagi.”
Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.
Posisi laju dua kendaraan itu sama seperti saat berangkat, mobil di belakang motor. Namun berbeda kecepatan putaran roda tentunya. Sepanjang jalan, Lina masih terbawa heran, dan terus berpikir, mengapa Fendi tidak terluka? Padahal ia jelas melihat benturan dan daya lanting yang cukup keras. Ia santai memperhatikan motor Fendi yang melaju secara perlahan. Miring-miring sampai tiba di depan rumah Aradhea.
“Kenapa, Fen?” seru Aradhea begitu melihat jaket bagian belakang Fendi tampak rombeng, hingga terlihat kaus hitamnya. Kebetulan ia sedang duduk-duduk di teras rumah.
“Tadi ada mobil ngerem mendadak, terus gue ketabrak,” jawab Fendi, dengan tangan mengibas celana yang juga sobek hingga terlihat kulit kakinya. “Untung gue gak apa-apa.”
“Terus? Mobilnya kabur?”
“Yah kabur.”
“Oh, hahaha.” Aradhea justru tertawa. “Tapi kondisi lo beneran aman, kan?” tanyanya.
“Iya, Alhamdulillah, aman, De.”
Aradhea mengangguk-angguk. “Oke, balikin ... sini, balikin si-hitam keling.” Tangannya menunjuk pada cincin batu yang dipakai Fendi.
“Apaan?”
“Itu ... cincin yang lo pakai.”
Fendi agak terkaget. Pikirannya yang sekarang meyakinkan pikirannya saat dalam perjalanan tadi, bahwa cincin yang dipinjamkan Aradhea dapat membuat badannya tidak berdarah saat tersungkur di jalan raya. Yakni cincin tek-tok, alias kebal senjata tajam.
Ia lalu melepas cincin di jari tengah, dan memberikannya pada Aradhea.
“Ini gak punya kekuatan apa-apa, Fen. Jangan mikir yang enggak-enggak loh,” celetuk Aradhea ketika menerima. Serasa paham betul membaca alam pikir seseorang. Lina hanya tersenyum sembari menyimak.
“Parah banget nih orang,” lelaki bercambang panjang itu tertawa kecil serta menunjuk-nunjuk.
“Serius, Fendii! Sugesti lo sendiri yang bisa bikin badan lo enggak terluka, bukan batu ini. Lo berubah paham yah?” suara Aradhea dari datar jadi meningkat tinggi.
“Iya, De.” Fendi menunduk, memahami maksud Aradhea. Menurutnya, Tuhan-lah tempat bersumber segala kekuatan.
“Ya udah, mari masuk.”
Air muka Lina terlihat begitu cerah dan segar. Seperti tiada yang ingin ia ungkapkan. Padahal gadis berkaus hitam celana Levis itu datang justru ingin meluapkan semua pada Aradhea. Tetapi ketika bertemu dengan pemuda kharismatik itu, batinnya terasa tentram. Pun ia belum menyadari sepenuhnya, bahwa rasa ketertarikan telah merasuk mengisi hatinya.
“De ... gue mau cerita,” ucap Lina, memaksa diri membuka percakapan. Aradhea menghadap pada Lina dengan tatap menilik dalam.
“Lo tahu, kan, masalah gue kemarin?” tanya Lina dengan lirikan canggung.
“Perasaan, lo belum cerita apa-apa deh, Lin,” jawab Aradhea.
“Omongan lo yang kemarin benar-benar tepat, De. Lo bisa, kan, baca masalah gue?” sorot matanya begitu mengharap.
“Gimana, yah? Orang lo belum cerita.”
“Ya udah deh, gue cerita sekarang yah,” Lina menarik napas.
“Eh, Lin, hape lo getar yah?” sambar Aradhea sebelum mahasiswi cantik itu bicara.
Lina segera mengambil ponsel di dalam tas.
“Ya ampun, dia nelpon lagi,” gumamnya sambil melihat panggilan masuk dari Wahyu.
“Angkat, Lin, jangan didiemin,” saran pemilik wajah kekanakan itu, karena seringnya tersenyum.
“Sebentar yahh.”
Aradhea dan Fendi meminum kopi yang telah disediakan Arryan, mereka lalu membakar rokok.
“Iya ... aku lagi di rumah teman,” ucap Lina yang sedang bicara lewat telepon. Aradhea dan Fendi hanya menyimak.
“Kenapa? Aku baru aja sampai ... gak, ah! Enggak! Besok-besok aja. Udah, udah, aku lagi sibuk!” Lina memutus laju suara di ponsel.
“Ini, De, cowok yang bakalan jadi suami gue. Dari kecil gue udah dijodohin sama dia.” Lina menoleh, mimik wajahnya berubah jadi murung.
Aradhea menatapnya sebentar.
“Lo bisa gak menerima dia sepenuhnya?”
“Enggak bisa, De. Itulah masalahnya. Gue baru sadar sekarang-sekarang, kalau gue sama sekali enggak punya rasa cinta sama dia. Dan gue gak bisa hidup sama orang yang gak gue cintain,” seru Lina.
Aradhea mengarahkan tatapannnya ke bohlam kuning yang menggantung. Ia berpikir keras.
Tak lama kemudian, ponsel di dalam tas bergetar lagi, namun diacuhkan oleh si pemilik karena merasa malas untuk menjawab.
“Angkat, Lin,” nada bicara Aradhea tidak memerintah, tapi memberi saran untuk melakukan.
“Oh, Papah!” Lina segera mengangkat panggilan masuk dari ayahnya. Ia mendengar suara di telepon tanpa berkomentar.
“Iya, Pah,” ujarnya pelan, terlihat kesal tetapi juga mengangguk-angguk.
“Iya ... Lina pulang.”
Setelah selesai bicara, Lina menggerutu sendiri.