ARADHEA

Rudie Chakil
Chapter #12

Kembalikan Hati Lina

Sore hari di kota besar adalah waktu ketika beragam emosi manusia seakan-akan memenuhi udara. Berpendar bersama kuning sinar matahari apabila langit cerah. Agak memudar bersama kumpulan mega-mega ketika langit mendung. Dan kian beringsut bersama warna-warna di balik awan bilamana turun hujan.

Semuanya berasal dari kesibukan aktivitas manusia di waktu sore yang tak pernah henti setiap hari.

Sang Maha Pengarsir kehidupan pun tersenyum, apabila emosi dari seseorang berada pada titik berserah diri kepada-Nya.


Sore itu di warung Pak Khusnul sedang banyak pembeli yang datang, terutama para mahasiswa. Mereka menikmati minuman sembari berbincang-bincang secara berkelompok.

Tiga orang duduk di kursi panjang depan etalase, dua laki-laki dan satu perempuan, bercanda tawa sambil menikmati es jeruk. Kelompok lainnya, dua orang pemuda tengah berbincang serius di kursi panjang samping kiri etalase, kursi yang biasa diduduki oleh Fendi dan Lina. Di kursi meja, sebelah kanan etalase, tampak dua orang perempuan sedang rumpi. Satu dari dua perempuan itu adalah Vera.

“Akhirnya ... gue bisa juga bayar hutang ke si-Lina,” ujar seorang gadis berkerudung modis. Wajahnya cukup manis.

“Memang benar lho, Allah itu memberi rejeki dari jalan yang enggak disangka-sangka. Gue ngerasain sendiri, Alhamdulillah,” lanjutnya, tersenyum pada Vera.

“Hutang lo ke Lina berapa, Sal?” tanya Vera, pada gadis bernama Salma itu.

“Dua juta, tapi udah lama belum gue bayar,” jawabnya dengan suara pelan. “Makanya gue jadi gak enak.”

“Oh ... iya. Tapi Lina mah santai sih orangnya. Apalagi dia tahu lo orangnya tanggung jawab.”

Salma mengangguk, lalu menikmati minuman.

“Oh ya, Ver, si-Lina itu agamanya apa sih?” Salma berbisik sebuah pertanyaan.

“Hmmm, gak tahu juga deh. Tapi gue dengar-dengar, dia enggak punya agama. Tapi gak tahu juga, coba aja nanti lo tanya langsung sama orangnya.”

“Lahh, lo gimana sih? Lo kan tiap hari jalan sama dia?”

“Iya, tapi gue gak pernah ngomongin masalah agama.”

“Kira-kira kalau gue nanya sama dia, dia marah gak yah?”

“Hmmm,” Vera berpikir, “Dia enggak akan marah,” dan menjawab dengan begitu percaya diri.

“Yakin, lo?”

“Iya, serius,” jawab gadis mungil berwajah manis itu. “Dia tuh sangat menghargai orang yang langsung nanya sama dia, ketimbang ngomongin dia di belakang, atau dengar sesuatu tentang dia dari orang lain. Dia sering ngomong gitu ke gue.”

“Oh, iya, dehh, nanti gue tanya.”

“Nah ... ini dia orangnya.” Vera menunjukkan ponsel yang berdering panggilan masuk dari Lina. Ia kemudian mengangkat panggilan dan memberitahu jika dirinya berada di warung Pak Khusnul.

Beberapa menit kemudian Lina datang. Memesan minuman, kemudian duduk di sebelah Salma, depan Vera.

“Vera, nanti mau ikut gue gak?” ujarnya, dengan pandang teduh. Salma terus memperhatikan dirinya, dengan menatap wajahnya.

“Ke mana?” balas Vera.

“Ke rumah Fendi. Dia lagi meriang,” jawab gadis putih berhidung mancung itu.

“Oh, iya, boleh, boleh.” Raut Vera justru senang dengan ajakan Lina.

“Oke, nanti kita ke Total Buah dulu yaa.”

Vera mengangguk. Salma terus saja menatap wajah Lina dari samping. Lina pun menengok.

“Kenapa, Sal? Lo kok ngelihatin gue aja?” ujarnya dengan suara lembut.

“Subhanallah ... lo jadi orang cantik banget sih, Lin, baik lagi,” seru Salma. Lina hanya tersenyum. Biar bagaimanapun, dia sama sekali tidak meninggi jika ada orang lain yang memuji.

“Gue mau bayar hutang gue, Lin,” lanjut Salma seraya mengambil uang di dalam tas.

“Makasih banyak yah. Sorry, agak lama.” Tangannya memberikan sejumlah uang yang telah disiapkan.

“Hah!” Lina terkejut dan menengok pada Vera.

“Vera ... gue dapat rejeki yang enggak disangka-sangka,” ucapnya, sehangat auranya yang berhawa feminin.

“Hahaha,” Vera dan Salma tertawa berbarengan, sebab baru saja membicarakan perihal itu.

“Ya udah, gue terima yaa.” Lina pun tersenyum.

“Lin. Gue boleh nanya gak?” gumam Salma seraya melirik.

“Tanya apa?”

“Tapi hal yang sensitif, dan sangat pribadi. Semisal lo enggak mau jawab yah enggak apa-apa.”

“Iya, memang lo mau nanya apa?”

“Hmmm ... gue jadi enggak enak ngomongnya.”

“Gak apa-apa, ngomong aja.”

“Hmmm ... agama yang lo anut tuh apa yaa, Lin?”

“Ooh, itu.” Lina tersenyum.

“Gue memilih untuk gak beragama, Sal,” sambungnya.

“Hah! Jadi, lo Atheis, Lin? Atau Agnostik?”

“Iya, gue Agnostik.”

“Kalau agama orang tua lo apa?”

“Orang tua gue kepercayaan. Aliran kejawen, gitu.”

“Ohh...”

“Tapi gue percaya sama Tuhan Yang Maha Esa, dan gue mengamalkan butir-butir Pancasila dalam hidup gue.”

Lihat selengkapnya