Cakrawala senja selalu berwarna pudar, tidak putih, tidak kuning, tidak juga biru. Perpaduan antara ketiganya. Cakrawala senja seakan-akan bersimpuh kepada waktu malam untuk mengondisikan apa-apa yang terbaik bagi tiap-tiap manusia yang sedang berharap datangnya perubahan, berharap terwujudnya niat baik, dan berharap perihal kebahagiaan.
Cakrawala senja di malam Minggu tampak cerah terbentang. Sang rembulan sebagai raja bagi hiasan malam sudah hadir lebih dini. Menampakan diri di tengah-tengah warna perpaduan antara gelap dan terang.
Lina menggeser kursi keheningan ke pinggiran balkon di sisi pagar stainless, kemudian duduk, memandang cakrawala senja yang tak terbatas. Hatinya mendecak deru keberadaan dan keagungan Tuhan, meski alam pikirnya terbawa oleh rasa takut dalam kehidupan.
Apabila dilihat dari apa yang tampak, kebanyakan orang pasti berkata, bahwa Lina Caroline adalah seorang perempuan yang sangat bahagia dengan kehidupannya. Kondisi fisik yang nyaris sempurna, cantik, tinggi, kaya, ia juga pintar dan baik hati. Apa yang terasa kurang pada dirinya?
Yah, itu benar, apabila alam pikir yang bicara. Namun, bagaimana jika hati nurani yang berbicara? Tidakkah itu akan menyisakan perasaan aneh yang selalu hinggap di dalamnya? Bukankah ia merasakan demikian? Seperti merindukan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu merindukan apa?
Satu hal yang pasti dipegang erat oleh seorang Lina adalah bertawakal. Hal ini sebenarnya sudah keluar konteks, apakah seseorang itu merupakan umat beragama atau bukan.
Saat memandang cakrawala senja itu, ia menyerahkan semua kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala sesuatu yang terjadi pada dirinya.
Nuansa jiwanya seperti garis tipis di ujung paling atas sebuah segitiga. Sudah tak lagi terlihat antara bersyukur dan ingkar. Tak terasa antara gembira dan bersedih. Semuanya bertemu dalam satu titik tunggal semua rasa. Ia merasakan hal itu hanya pada saat mengingat-Nya.
Sungguh, ia sudah lelah berdebat dengan teman-temannya tentang Tuhan, tentang Teologi. Tidak ada satu pun dari orang-orang yang pernah berdebat atau bertukar pendapat dengannya dapat memuaskan dahaga dalam jiwa Lina. Beberapa pemikirannya tentang Teologi memang tergolong kritis. Kalah atau menang tetap saja tidak mengisi hausnya pertanyaan dalam hati. Tetap saja akan meninggalkan perasaan kosong, hampa, gersang, dan mengawang dalam benak gadis itu.
Angin sepoi nan landai pun menggerakkan daun-daun pohon palem di halaman rumah. Sesekali menerbangkan beberapa helai rambut lurus Lina, dan terasa dingin ketika menyentuh kakinya. Saat itu Lina mengingat, semenjak bertemu dengan Aradhea, semua pengetahuan yang ia tahu luntur seketika.
Hatinya utuh menerima, saat pertama kali Aradhea berkata; Di mana tidak ada cinta, di situ pasti ada masalah. Aradhea seolah-olah paham, jika sosok yang dihadapannya itu mempunyai pola pikir yang berbeda dengan kebanyakan orang.
Benar juga, yahh. Ini terjadi sama gue. Batin Lina berucap.
Satu kalimat pembuka dari Aradhea itu membuat dirinya tidak berani menentang, menyangkal, apalagi mendebat dengan pengetahuan yang ia punya. Ia merasa tak kuasa membaca karakter atau pola pikir Aradhea. Mata batinnya bagaikan melihat cahaya benderang yang menyilaukan alam pikirnya.
Gadis pemilik ingatan kuat itu menyelonjorkan kaki ke pagar balkon. Pikirannya terus mengingat kata-kata Aradhea.
Kucing. Orang-orang yang merasakan hidup ini gak adil, sebenarnya orang itu sangat di sayang sama Tuhan, dengan syarat, dia harus ikhlas.
Lina berpikir dalam. Mengulas makna, apa yang pernah Aradhea ucapkan di samping kedai Pak Khusnul.
Kata orang tua, tulang rusuk takkan tertukar, jodoh udah di tangan Tuhan.
Pokoknya jangan pernah melawan sama orang tua. Percuma! Tuhan juga gak akan rida. Gerbang Tuhan yang paling awal itu adalah rida orang tua. Ucap Aradhea dengan tatapan tajam. Pikiran Lina menerawang mencari titik terang.
Itu namanya Doa, Lin. Doa merupakan sesuatu yang paling kecil, tapi juga sesuatu yang paling besar. Kelihatannya gak penting, padahal paling penting.
Aradhea berkata tatkala hujan-hujan bersamanya. Saat paling indah yang pernah dirasakan Lina, walau sedikit pun tidak mengundang kemewahan.
Yaa Tuhaaan ... batinnya berbisik, saat pikirannya mencari makna kata-kata Aradhea.
Ia kemudian teringat pada Aida, pada perkataannya saat sedang membicarakan Aradhea.
Semua omongannya Ara, semuanya terjadi dalam hidup gue, Lin.
Iya yah? gue juga ngerasain. Kata Lina dalam hati, dan kembali terngiang ucapan temannya itu.
Gue ngerasa dia benar-benar mengenal kehidupan gue. Benar-benar tahu tentang diri gue. Di situ gue...
Hah?!
Lina ... lo benar-benar jatuh cinta sama Ade. Tukasnya pada diri sendiri sembari memandang mega-mega.
Setelah itu ia tersenyum sangat menawan, kepada langit yang warnanya kian memudar.
Angin sepoi nan landai kembali berembus menggerakkan rambut dan pakaiannya, kemudian mengitari area balkon dan area sekitar kursi keheningan.
Udara yang bergerak itu lantas masuk ke lubang telinga Lina. Menyisakan rasa agak penging di dalam telinga, berikut rasa dingin di sekujur tubuh.
“Ini apa?” gumamnya sendiri.
***
Di tempat lain, selepas waktu Maghrib, Aradhea sedang silaturahmi ke rumah Fendi. Ia baru sempat menjenguk adik dari sahabatnya itu, yang tempo hari mengalami kecelakaan di jalan.
Bayu. Lelaki berusia empat belas tahun sedang diurut oleh Aradhea sampai jejeritan. Sama seperti Fendi yang juga mengalami kecelakaan di jalan. Hanya saja Bayu mengalami cidera yang cukup serius. Menurut Aradhea, saraf persendian di kaki Bayu akan mengalami gangguan di tahun-tahun yang akan datang jika tidak diurut. Maka itu ia bersedia untuk mengurutnya.
Begitulah perlakuan Aradhea ketika sudah sayang pada seorang teman. Hal apa pun yang bisa ia upayakan, pastilah akan ia lakukan.
Setelah selesai mengurut, Aradhea berbincang dengan keluarga Fendi di ruang tamu.
Kedua orang tua Fendi adalah pribadi bersahaja yang begitu terbuka pada teman anaknya yang satu ini.
“Gimana, Pak, Om Sa’ad? Rumahnya udah ditempatin belum?” Aradhea membuka percakapan di ruang tamu, seraya meminum kopi yang disediakan oleh Fendi.
“Udah, De. Kata dia enak rumahnya, hahaha,” ayahnya Fendi yang berperawakan mirip sang anak itu tertawa.
“Lha, iya, orang rumah bagus kayak gitu, kok, mau dijual lagi,” balas Aradhea. Senyumnya mengundang siapa pun akan bersimpati.
“Kamu apakan setan di rumah itu?” tanya ayahnya Fendi.
“Enggak aku apa-apain, Pak, dia pergi sendiri. Lagi pula itu bukan setan, Pak. Setan itu adanya di dalam hati dan pikiran manusia, bukan makhluk sejenis itu,” jawab Aradhea.
“Ooh...” lelaki setengah baya berkumis hitam itu hanya manggut-manggut.
“Itu cuma makhluk halus yang mewujud, Pak. Sebenarnya dia itu gak bermaksud...” Nada dering ponsel Aradhea tiba-tiba berbunyi.
“Maaf yaa, Pak, sebentar,” Aradhea segera keluar, menuju halaman rumah.
“Lagi apa, De?” suara halus yang tak asing itu memanggil.
“Lagi di rumah Fendi, Lin,” jawab lelaki bersweter abu-abu gelap itu, duduk di pinggiran lantai teras.
“Hmmm ... bisa ketemu gak?” pintanya bernada manja.
“Bisa. Di mana?”
“Gue ke rumah Fendi yaa.”
“Iya.”
Ngiiiiiiiinnggg....
Suara gangsing itu datang kembali. Mendesis dalam telinga Aradhea. Sesuatu yang berasal dari sebuah alam, di luar alam manusia.
“Fen, Lina mau ke sini,” kata Aradhea setelah masuk ke tempat duduk semula. Kedua orang tua Fendi belum beranjak dari tempat duduknya.
“Dia enggak malam mingguan apa? Nanti cowoknya marah-marah lagi,” tampik Fendi. Padahal dia juga tidak malam mingguan. Aradhea mengangkat bahu.
“Hahaha,” gurat tawanya terseling lirikkan tajam pada Fendi, kemudian duduk santai dan membakar rokok.
“Tadi bagaimana, De?” ujar Ayah Fendi, melanjutkan percakapan yang sempat terpotong.
“Iya, Pak. Makhluk di rumah itu enggak bermaksud untuk mengganggu. Dia sudah ada di sana sebelum rumah itu dibangun.” Aradhea menjawab santai.
“Ohh...”
“Kalau melihat kenyataan yang terjadi, kan, banyak yang kurang paham, Pak. Banyak orang yang suka main ke alam Jin.”
“Maksudnya apa?” ibunya Fendi ikut bertanya.
“Iya, Ibu. Jaman sekarang ini, banyak sekali orang-orang yang pada senang main di alam Jin. Senang sama hal-hal mistik, seperti acara-acara di tivi atau di YouTube. Padahal alam gaib yang seperti itu lebih banyak tipuan ketimbang kebenarannya.” Aradhea menyeruput kopi.
Kedua orang tua Fendi hanya mendengar. Dalam hati mereka menderu segan pada Aradhea. Sebab Fendi seringkali bercerita, jika sosok pemuda di depan mereka bukanlah sekadar teman. Tapi lebih daripada itu.
“Saya aja, yang sudah mengenal tiga raja Jin di dunia ini, gak mau sok tahu tentang mereka, enggak mau berhubungan, apalagi minta tolong sama mereka,” tutur Aradhea.