Hai, Lina ... kamu jangan memakai baju putih, pakai saja baju yang hijau.
Sebelum berangkat kuliah, Lina mendengar suara dalam benaknya saat memilih baju yang akan dikenakan. Tanpa sadar, ia memilih kaus berwarna hijau ketimbang kaus yang lain.
Lina ... Kamu jangan belok kiri, ambillah jalan ke kanan meskipun agak jauh.
Suara di dalam hati itu kembali berujar, ketika mobilnya sampai di perempatan jalan menuju kampus. Ia lalu memutar setir ke kanan walaupun biasanya selalu melewati jalan ke arah kiri.
Berikan uangmu sejumlah dua puluh ribu rupiah.
Tatkala berada di lampu merah, melihat wanita setengah baya yang mengulurkan tangan kepadanya. Ia langsung membuka kaca, dan memberikan sejumlah uang yang diminta.
Pagi, siang, sore, malam, suara-suara dalam benak Lina jadi semakin terdengar. Satu hari, dua hari, tiga hari, sampai lima hari, ia baru menyadari akan keanehan yang bersifat batiniah dalam dirinya. Merasakan ada ‘dirinya’ yang bukan dirinya sendiri. Selalu mendikte dengan sebuah pernyataan kala ia sedang atau akan melakukan sesuatu. Sosok tersebut sungguh mengerti tentang dirinya maupun ruang lingkupnya, namun punya pemahaman dan berbicara seperti bukan pribadinya sendiri.
Lina paham, hal itu terjadi semenjak putaran angin di balkon merasuk ke telinga, tempo hari yang lalu. Beberapa kali ia meluangkan waktu guna berkonsentrasi serta memperhatikan, apakah sosok tersebut adalah dirinya sendiri atau bukan?
Dalam disiplin ilmunya sudah jelas bahwa itu adalah dirinya sendiri, yakni alam bawah sadarnya sendiri. Tetapi entah kenapa baru belakangan ini ia merasakannya dengan tingkat kepekaan yang maksimal, hingga menyangkal bahwa sosok pendikte itu bukanlah dirinya sendiri. Seperti suara dari seorang ‘teman khayalan’.
Seringkali ia berdebat tentang pilihan, atau tentang pemahaman, apabila sosok itu sedang mendikte dirinya.
Silakan tanyakan pada Ade. Silakan. Apakah pernyataanku salah atau benar? Apakah aku malaikat atau setan? Apakah aku dirimu sendiri atau bukan?
Demikan batin Lina berucap, saat Lina berniat menanyakan perihal itu pada Aradhea.
Lagi apa De?
Setelah mengirim pesan, ia menaruh ponsel ke meja rias, kemudian tengkurap di tempat tidur. Kebingungan tentang jagad hati benar-benar membuatnya ingin tahu. Tak lain dan tak bukan, seseorang yang ada di dalam pikirannya itulah yang pasti, kepada siapa ia akan bertanya.
Ponsel Lina berbunyi pesan masuk. Ponsel tersebut adalah ponsel yang ia khususkan untuk orang-orang yang menurutnya penting.
Lagi di jalan, mau pulang. Pesan balasan dari Aradhea.
Ada waktu gak? Lina membalas lagi.
Kalau besok sore ada.
Ok. Dengan emoticon tersenyum tentunya.
Keesokan harinya, pada Minggu sore jam setengah lima, Lina sudah sampai di depan rumah Aradhea. Ia melihat tiga orang berusia dewasa sedang berjalan keluar dan membuka pagar.
Mereka pun berpapasan di jalan depan rumah, saat Lina baru keluar dari mobil.
Ketiga orang tersebut tak berkedip menatap gadis itu. Lina memang memakai kaus putih longgar, namun juga memakai hotpants Levis pendek, hingga tampak kakinya yang putih, mulus, bersih, dan sangat terawat.
Masuk ke dalam mobil! Ujar batinnya.
Lina pun kembali masuk mobil untuk menghindari pandangan mereka. Begitu ketiga orang itu sudah pergi, barulah ia masuk rumah.
Aradhea sedang membereskan gelas, piring kecil, asbak, dan nampan. Lina memperhatikannya. Tersenyum di depan pintu yang terbuka, di samping jendela. Badannya masih di luar, tangannya memegang kusen pintu.
“Butuh bantuan?” ujarnya berirama menawarkan.
Aradhea menengok. Ia memang seseorang yang mampu bersikap tenang. Tanpa sedikit pun ketegangan, atau terkejut dengan seseorang yang datang secara tiba-tiba
“Masuk, Lin,” kata Aradhea seraya mengangkat empat gelas kotor dengan nampan, kemudian membawanya ke belakang.
Lina meletakkan tas selempang di kursi, mengambil sapu, lalu membersihkan lantai ruang tamu.
“Lina, enggak usah, biar gue aja,” Aradhea berdiri di sisi pembatas, antara ruang tamu dan ruang dalam.
“Gak apa-apa, kali, De. Gue juga suka bersih-bersih di rumah, kok,” jawabnya sambil mundur-mundur menyapu kolong meja.
Aradhea sungguh terkejut. Tubuhnya mundur satu langkah. Tak sengaja ia menatap betis Lina, dan melihat sebuah benda yang sangat menyilaukan di bawah paha kirinya. Ia pun terpana kosong pada sesuatu yang teramat jauh. Menembus batas antara ruang dan waktu.
“Ade...” Lina memanggil, melihatnya berdiri terbengong.
“Eh, iya, maaf.” Pengembaraan jiwanya terpotong oleh satu panggilan.
“Lo, kok, ngelihatin gue begitu, De?” ujar gadis bermahkota terikat itu, sembari meletakkan sapu di pinggir kursi.
“Astagfirullah,” bisik Aradhea, kemudian menjawab dengan sangat sopan sampai menundukkan kepala.
“Mohon maaf, Lin, gue sama sekali enggak bermaksud untuk kurang ajar.” Aradhea kembali menundukkan kepala. Sikapnya seperti siswa yang bersalah dan siap menerima hukuman. “Maaf, gue melihat sesuatu yang enggak gue sangka.”
Lina pun tersenyum. “Gue percaya sama lo, kok, De. Gue tahu, lo orang yang mampu mengendalikan pikiran negatif.”
Lina mendengar batinnya berargumen. Sosok yang seringkali mendikte dirinya itu tengah bicara sesuatu tentang Aradhea. Sekalian saja, Lina menyambungkan perkataan batin lewat bibir tipisnya.
“Mungkin kalau saat ini aku ajak kamu untuk berhubungan badan, belum tentu kamu bersedia melakukannya, bukan?” Lina tersenyum sangat manis. Sorot matanya menatap penuh rasa cinta.
“Hah!”
Aradhea kembali terperangah dengan pandang kosong.
“Kamu ... kamu ternyata?”
Ia melihat Lina berubah menjadi sesosok ‘Perempuan Berambut Merah’. Sosok tersebut benar-benar persis dengan kondisi fisik Lina. Perbedaannya hanya pada rambut dan pakaian saja. Rambutnya merah cerah, dan berpakaian seperti baju gotik panjang yang dikenakan wanita bangsawan Eropa pada abad pertengahan.