ARADHEA

Rudie Chakil
Chapter #15

Lebih Buruk, Lebih Baik

Dan apabila kebahagiaanmu dirampas oleh waktu, maka terimalah, kemudian percayalah bahwa Sang Waktu akan mengembalikannya nanti.

 

***

 

Udara di pagi hari seringkali tertawa, melihat embun yang jatuh di dahan pohon tepi sungai. Embun yang jatuh juga selalu tertawa, melihat air yang mengalir di sungai tiada henti. Air sungai pun tertawa melihat uap air yang telah menguap menjadi udara.

Sama seperti kehidupan yang selalu berputar, di mana objek luarlah yang selalu menjadi bahan tertawaan, tanpa bersedia melihat, bahwa sosoknya sendiri juga mengalami rangkaian proses.

Hanya tanah yang tidak menertawakan objek apa pun kecuali menertawakan dirinya sendiri. Jikalau ia ingin melihat sesuatu di luar diri, maka ia pasti akan diam laksana langit di angkasa raya, kemudian setelahnya barulah ia mengadakan sebuah tindakan. Tindakan yang disertai dengan perubahan.

Demikian pula hal-nya dengan manusia yang khusyuk pada diri sendiri, pada perkembangan dirinya ke arah yang lebih baik. Mereka senantiasa melihat sosoknya sebagai bahan proyeksi, di kala berhubungan dengan ruang lingkupnya. Tidak sibuk melihat, apalagi menertawakan orang lain dan sesamanya.

 

Kelopak mata itu terbuka di pagi buta, seirama dengan indahnya suara-suara penyeru yang membelai telinga. Merambat bersama udara sejuk sisa-sisa angin malam yang belum sepenuhnya hilang.

Seraut wajah cantik alami terbangun seperti ada yang membangunkan. Tanpa mengulet ringan di atas tempat tidur. Hanya terbengong dengan pandangan kosong.

Tak lama, ia beranjak keluar dari kamar, lalu melangkah menuju salah satu ruangan yang berada di lantai bawah. Ruangan yang memang disediakan untuk beribadah. Menyisihkan sugesti-sugesti kepenatan dalam gerak peribadatan, juga dalam gelombang kerendah-hatian. Ia kembali ke kamar seiring nuansa cerah cakrawala fajar.

Lina mempunyai kebiasaan di waktu pagi yang sudah hampir menjadi sebuah prinsip. Yaitu apabila hendak berangkat kuliah dan melihat kedua orang tuanya berada di meja makan, maka ia pasti ikut makan bersama, atau, paling tidak, ia minum secangkir teh hangat. Namun, bilamana ia sedang malas makan atau enggan untuk berbincang pagi, ia bakal berangkat lebih dini agar kedua orang tuanya tidak lebih dahulu berada di meja makan. Cukup berpamitan di depan kamar.

Beberapa langkah kaki Lina dari pijakan tangga yang terakhir, tampaklah ayah dan ibunya sedang makan sambil berbincang.

Lina datang menghampiri, sekadar mengisi perut dengan secangkir teh hangat.

“Kamu gak sarapan, Lin?” lembut suara Nyonya Liani menawarkan.

“Minum teh aja, Mah,” jawabnya.

“Lina ... ada yang mau Papah bicarakan sama kamu.” Bapak Candra berhenti menyuap nasi goreng, lalu minum. Lina memegang erat gelas yang masih panas. Kepalanya agak menunduk, serasa sudah menyadari arah pembicaraan yang dibuka oleh ayahnya.

“Benar? Kamu menolak Wahyu?” lanjutnya bertanya. Lina tetap bergeming.

Bapak Candra menarik napas, sebab menunggu jawaban yang cukup lama belum terdengar.

“Lina, Papah bertanya sama kamu, lekas jawab!” suara Bapak Candra mulai meninggi. Lina masih diam menunduk. Hanya jari lentiknya yang bermain di sisi gelas.

“Sikapmu jelas terlihat, kalau kamu sama sekali tidak membuka hati pada Wahyu.”

Sedari kecil Lina sungguh segan pada ayahnya yang memang bersifat tegas. Ia pun menjawab sambil menunduk.

“Lina gak bisa ngomong apa-apa, Pah. Papah tahu, Lina gak bisa bohongin diri sendiri.” Pandangnya menatap pada lingkaran cair berwarna coklat tua di hadapannya.

Bapak Candra melirik pada istrinya yang tampak khawatir.

“Lin ... Papah pernah hidup seumur kamu. Papah mengerti apa yang kamu rasakan. Tapi kamu belum paham yang namanya hidup berumah tangga itu seperti apa. Papah harap kamu menerima semua ini.” Sorot matanya tertuju pada sang anak.

“Ini demi kebaikan kamu, Lina. Demi kebaikan kita semua,” sambung pria setengah baya yang masih tampak gagah itu.

Lina menengok pada ayah dan ibunya. “Maafin Lina, Pah ... Mah ... kebaikan seperti apa yang mengharuskan seseorang sampai enggak punya pilihan, Pah?” gadis yang memakai blazer hitam itu menengok dengan wajah sedih.

“Lina...” ucapannya tertahan.

“Lina enggak bermaksud untuk membuat Papah sama Mamah kecewa. Tapi, Lina cuma mau bilang, kalau Mas Wahyu belum tentu baik untuk Lina, Pah.”

Bapak Candra mengembuskan napas. Arah pikirannya berada pada dua sisi yang berputar.

“Papah kasih tahu yaa. Wahyu adalah pria yang paling baik untuk jadi suami kamu. Sekarang, kamu punya pilihan untuk mematuhi orang tua kamu atau tidak? Itu pilihan kamu,” serunya. Lina berpikir sejenak.

“Iya, Pah, Mah, Lina mau berangkat dulu,” gumamnya dengan nada dan sikap yang sopan.

Setelah beberapa saat tak ada lagi percakapan, ia beranjak dan meminta uluran tangan orang tuanya untuk undur diri.

 

Pagi hari selalu membuka kebaruan.

Waktu penting yang dapat membawa seseorang akan pengalaman manis atau pun pahit. Pengalaman yang akan ia sukai atau tidak ia sukai, bahkan bisa saja pengalaman yang ia benci.

 

“Pah ... menurut Mamah, Lina enggak sepenuhnya salah lho, Pah,” ucap Nyonya Liani selepas sang anak pergi beraktivitas. Mereka masih duduk di meja makan. 

“Lina itu sangat penurut orangnya. Dia akan diam kalau ada sesuatu yang enggak sesuai sama pikirannya,” sambungnya.

Bapak Candra berpikir dalam dan menggangguk pelan. Membenarkan perkataan sang istri.

“Lantas gimana dengan perkara ini? Mau dibuang ke mana muka saya pada keluarga Pak Arsan?” balas Bapak Candra dengan napas tak teratur.

“Ingat, kita sudah berjanji, Mah. Kecuali janji yang kita ucap pada orang lain, mungkin Papah juga persetan dengan itu. Tapi ... tapi kita berjanji pada keluarga Pak Arsan.”

“Iya, yahh.”

Lihat selengkapnya