ARADHEA

Rudie Chakil
Chapter #16

Tamparan!

Tentang perjuangan, sejarah akan terukir.

Tentang sejarah, perjuangan juga akan terukir.

 

Sepanjang perjalanan pulang, air mata Lina tak henti menetes. Pengkhianatan terkejam akan jauh lebih pedih, apabila dilakukan oleh orang terdekat, dan terlebih lagi oleh orang yang disayangi. Itulah yang tengah Lina rasakan.

Ia sangat terpukul ketika Aida melakukan itu padanya. Ditambah, ia malah terpengaruh dengan apa yang dikatakan sahabatnya itu tentang Aradhea.

Mungkin karena tertekan oleh keadaan, akal sehat Lina menjadi tidak berperan. Gadis lugu itu percaya, jika Aradhea bermain di dua kaki. Bahwa Aradhea seolah-olah hanya mempermainkan perasaannya saja.

Ayo, Lina, kau memilih cinta atau persahabatan?

Hatiku cenderung kepada cinta. Lagipula, dia sudah putus. Bagaimana aku pilih sahabat jika perlakuannya demikian, dan di mana salahku semisal aku memilih cinta?

Tapi kau sudah berjanji padanya?

Sungguh ... aku tidak pernah mengucapkan janji itu. Aku hanya tidak tahu, apa yang harus kulakukan.

 

Pukul 19.30, Lina masih bersedih di kasur sambil memeluk kedua kaki. Pikirannya mengawang, terngiang-ngiang tentang segala yang terjadi pada dirinya.

Ade ... lo kok tega sih!

Lidahnya menari-nari di dalam mulut, berbicara sendiri tanpa gerak pada bibir tipisnya yang terus membungkam.

Lina ... tenangkanlah dirimu. Apakah engkau percaya pada Aida? Tembak suara halus dari alam bawah sadarnya.

Lina bersin. Tangannya mengusap lubang hidung. Sisa-sisa tangis masih menimbulkan rasa gatal di pangkal hidung.

“Lina...”

Suara dan gaya bicara menyerupai suara Aradhea tiba-tiba terdengar cukup jelas. Entah hanya dalam benaknya, atau benar-benar secara nyata.

“Ade!” Ia pun terkejut dan celingukan seperti dahulu saat menelepon Aradhea di kursi keheningan. Pandangannya terfokus pada ruangan sekitar kamar.

Yahh ... Gue percaya sama cinta gue. Gue percaya sama lo, De.

Saat itu juga tatap matanya melihat pada sapu tangan pemberian Aradhea yang ia letakkan di atas meja rias. Ia pun mengambilnya.

Gue ngerti maksud lo ngasih sapu tangan ini, De.

Bibirnya mulai tersenyum, kemudian mengambil ponsel untuk bertanya keberadaan sosok yang bersangkutan. Dapat dipastikan, meski dia akan bertanya perihal berceritakah Aradhea pada orang lain mengenai dirinya atau tidak, tetapi dia tidak akan menceritakan perlakuan Aida yang meludahi wajahnya.

Dah berangkat, De?

Ibu jarinya menekan tanda kirim, kemudian meletakkan kembali ponsel ke atas meja rias.

Tok ... tok ... tok ....

Suara ketukan pintu kamar tiba-tiba terdengar.

“Gak dikunci, kok,” serunya. Bibi Narti muncul dari balik pintu yang dibuka.

“Ada Mas Wahyu,” tangannya menunjukkan dengan ibu jari, agar Lina segera turun menemui Wahyu. Lina hanya diam, raut wajahnya kembali suram. Bibi narti tetap berdiri di muka pintu.

“Iya, Bi, nanti Lina turun,” ucapnya dengan suara serak, juga bernada lemas karena kedatangan Wahyu yang sama sekali tidak diharapkan. Bibi Narti menatap mata sayu Lina, kemudian berbalik badan, berjalan ke bawah.

Saat Lina sedang berkaca di meja rias, Wahyu tiba-tiba masuk kamar.

“Lin,” sapanya dengan tersenyum.

“Gak usah ke sini dong, Mas Wahyu. Sebentar lagi juga aku turun,” seru Lina dengan wajah cemberut. Wahyu lantas duduk di pinggir kasur.

“Aku mau bersantai di balkon. Di sana aja yuk,” ajak Wahyu dengan menggelengkan kepala ke arah balkon. Lina membuang napas panjang satu kali.

“Kamu enggak bawa rokok, kan?” tanya gadis berkaus merah ketat dengan celana Levis gombrang itu.

“Hmmm, rokok mah bawa.” Tangannya saling bertaut di atas lutut.

Lina bertanya hal tersebut bukan karena menolak Wahyu merokok. Tetapi takut kejadian kedua terulang kembali. Wahyu menjadi setengah sadar setengah gila lantaran menghisap ganja.

“Rokok aja, kan?” tanya Lina sembari beranjak.

“Iya lah, memang apa?” balasnya bertanya, seperti tidak pernah melakukan satu kesalahan di tempat yang sama.

Lelaki berkemeja putih itu pun beranjak, dan melangkah menutup pintu kamar. Ia juga menyembunyikan fakta, bahwa ia sudah menghisap ganja di rumahnya.

“Kamu mau ngapain pintu ditutup-tutup?” Lina bergegas membuka kembali pintu kamar, namun Wahyu langsung memeluknya.

“Lina, maafkan aku, Lin.” ucapnya sambil menyandarkan kepala Lina di pundaknya. Rasa jengkel yang bercampur dengan perasaan bingung atas keadaan yang terjadi, membuat Lina hanya diam. Ia jelas tidak ingin memperkeruh keadaan dengan menolak hal tersebut.

Wahyu menoleh ke ranjang mewah yang tampak rapi. Jari-jari tangannya mulai menggenggam jari tangan Lina.

Lina segera beringsut dari dekapan Wahyu.

Saat berhadapan itulah Wahyu benar-benar menyadari, bahwa paras Lina sangatlah cantik. Ia lantas ingin menciumnya.

 

Di saat yang sama, Bapak Candra tersenyum melihat mobil sedan silver milik Wahyu terparkir di depan rumah.

Nyonya Liani meminta bibi Narti untuk membuka pintu gerbang. Sejak setengah jam yang lalu ia duduk di teras, minum teh sembari menunggu kedatangan sang suami.

 

“Kamu mau apa?”

Lina menolaknya dengan kedua tangan, kemudian mundur satu langkah. Ia mengerti akan sikap seseorang yang hendak meminta ciuman.

Pemuda klimis berkacamata itu hanya memandangi paras dan tubuh Lina yang hampir membuatnya hilang ingatan. Ia kemudian memegang kedua hasta Lina.

“Aku cinta sama kamu, Lina. Aku mohon, terima aku sebagai suamimu,” ucap Wahyu, dengan kedua tangan memegang erat kulit putih perempuan di hadapannya.

“Jawab pertanyaan aku. Apa kamu bersedia jadi istriku?” lanjutnya dengan tatap tajam.

Tangan Lina menampik-lepaskan cengkraman Wahyu. Ia lalu melangkah ke sisi meja rias.

“Aku enggak mencintai kamu, Mas. Bagaimana aku bisa jadi istri kamu?” jawabnya.

Wahyu sebenarnya sangat geram, tapi ia teringat akan sebuah saran saat berkonsultasi dengan seseorang. Ia menahan amarah, duduk kembali di pinggiran kasur.

“Terus, apa yang bisa aku lakukan untuk dapat meluluhkan hati kamu?” Wahyu melihat ke cermin besar yang tertampak gadis tinggi bertubuh sintal dengan celana Levis gombrang itu. Pikirannya liar mengarah ke ranjang yang ia duduki, berbagai posisi yang tampak pada cermin.

“Beri aku waktu untuk semua ini, Mas. Aku tahu apa yang harus aku lakukan,” jawab Lina, seraya duduk di kursi meja rias.

“Yah ... kamu tahu apa yang harus kamu lakukan.” Wahyu mengangguk-angguk. Dipikirnya Lina sudah mengerti dengan apa yang ia maksudkan. Padahal, Lina berkata seperti itu adalah meminta dirinya sendiri untuk berusaha, supaya dapat mencintai Wahyu.

“Lina ... sini duduk di sebelah aku,” pinta pemuda tampan itu, seolah-olah tidak sadar bahwa yang didudukinya adalah tempat untuk tidur, bukan untuk duduk-duduk berpacaran. Lina hanya bergeming.

“Kumohon, Sayang, duduk di sini, di sebelah aku,” rayunya kembali.

“Aku gak mau, Mas. Memang gak ada tempat yang lain? Lebih baik kita ke bawah aja.” Lina beranjak untuk membuka pintu kamar.

Wahyu juga beranjak dan memegang pergelangan tangan Lina.

“Kamu mau apa?” Sorot mata Lina menatap tajam dengan wajah serius.

“Sejak awal aku udah curiga kamu masuk ke sini!” Lina berusaha melepaskan cengkeraman. Biar bagaimanapun dia adalah seorang wanita yang berperasaan penuh. Merasa takut berdua di dalam kamar dengan seorang pria, meski itu adalah calon suaminya sendiri.

Akhirnya dengan tangan mengepal ia memukul keras siku tangan Wahyu sampai genggamannya terlepas.

“Kamu jangan berbuat kurang ajar padaku!” tantangnya dengan gaya berani.

Dasar Wahyu memang seseorang yang belum sadar akan jati dirinya, dan belum fokus akan kehidupannya. Seperti orang tidak pernah berpikir atas apa-apa yang akan dilakukan. Ia lantas melangkah ke arah pintu, namun langsung memeluk tubuh Lina dari belakang, kemudian mencumbu leher jenjang Lina dan meremas-remas kedua payudaranya.

Sontak saja rasa marah Lina langsung naik ke ubun-ubun. Siku kirinya reflek menghantam kepala Wahyu, kemudian mendorong tubuh pemuda itu hingga roboh ke lantai.

“Kamu benar-benar gak pantas jadi suami aku! Kelakuanmu seperti orang yang gak punya moral!”

Wahyu yang sudah dikuasai oleh nafsu segera bangkit dan hendak kembali memeluk tubuh Lina, tetapi Lina langsung menendang dadanya. Gadis itu pun membuka pintu kamar, kemudian cepat-cepat turun.

Wahyu berlari mengejar Lina yang terpogoh-gopoh menuruni tangga, undakan demi undakan menuju lantai dasar.

 

Bapak Candra sedang melangkah di ruang tengah, hendak masuk kamar untuk berganti pakaian.

Nyonya Liani berjalan di sampingnya.

 

Plaak....

Terlihat jelas di depan kedua orang tua Lina, kacamata yang dipakai Wahyu terlempar jatuh ke lantai. Lina menamparnya saat lelaki itu menarik bahunya dari belakang. Wahyu terbengong di tangga, undakan kedua dari bawah. Sedang, Lina sudah berdiri di lantai dasar.

Bapak Candra tergesa menghampiri mereka, lalu menatap sang anak dengan sangat murka.

Lihat selengkapnya