Bagi orang-orang yang sudah biasa ‘menahan sejenak’, atas sebuah hal yang merugikan dirinya, pasti kelak, ketika ia harus tegas, ia akan tegas setegas-tegasnya.
***
Aradhea memarkirkan Nissan Juke di sebuah jalan kabupaten, pada sepetak tanah di kanan jalan. Pukul 05.35, mereka sudah sampai di wilayah dataran tinggi menuju rumah Aradhea. Suasana sekitar jalan itu tidak jauh berbeda dengan Taman Nasional. Pohon-pohon besar, rumput liar hijau tua, semilir angin gunung, udara sejuk alami yang bersetubuh dengan sisa-sisa kabut yang masih tertinggal.
Aradhea sengaja tidak membangunkan Lina, sebab tak tahan melihat sungai kecil berair jernih di sisi jalan, yang langsung berseberangan dengan jurang landai. Ia pun membuka setengah kaca mobil, kemudian terjun ke sungai dataran tinggi itu untuk mandi.
Hawa dingin mengitari sekitar tubuh Lina.
“Ahh.” Gadis itu terkejut seraya terbangun.
“Ade...” panggilnya, menengok ke bangku supir yang telah kosong.
Lina kemudian melihat pemandangan indah di depan kemudi. Langit, gunung, bukit, hutan, sawah, dan perkampungan warga yang terlihat dari kejauhan. Ia pun keluar, dan tersenyum melihat Aradhea dari atas.
“Lina ... sana, sana, jangan lihat!” serunya mengusir dengan mengibaskan tangan ke udara.
“Hihihi, gak apa-apa sih, De, biasa aja. Lo enggak telanjang, kan?” ujar Lina.
“Yah enggak, lahh.” Ia menatap Lina yang berjongkok di pinggir sungai sambil menghirup udara segar. Tak lama kemudian ia pun naik.
“Nyenyak Lin, tidurnya?” tanya Aradhea, membungkuk mengambil baju. Lina hanya terdiam.
“Gue mimpi, serem banget.” Wajahnya menjadi serius.
Aradhea hening sejenak. “Gak apa-apa, cuma mimpi,” sambil mengusap rambutnya dengan handuk kecil. “Ayo...” ajak pemuda yang masih bertelanjang dada itu.
“Iya ... mau cuci muka dulu.” Lina membuka ikat rambut. Tampaklah rambut indahnya tergerai sepunggung. Ia perlahan-lahan turun ke aliran air.
Aradhea cepat-cepat berganti pakaian di samping pintu mobil yang dibuka.
Mereka kembali meneruskan perjalanan di jalan kabupaten itu, sampai menepi pada satu tempat yang mereka tuju. Yaitu sebuah warung makan sederhana dengan area tanah datar yang cukup luas. Dari warung tersebut terlihat jalan setapak mendaki ke atas, menuju sebuah bukit. Itu adalah satu-satunya jalan yang harus mereka lalui untuk sampai ke rumah kakeknya Aradhea.
Empat puluh menit berlalu sudah, mereka tertatih melangkah di jalan setapak itu. Setapak menanjak berupa tanah berbatu yang membelah hutan dan semak belukar.
“De... istirahat dulu yaa, gue capek,” Lina berhenti melangkah, menunduk sambil memegang pinggang. Tangannya juga membawa jinjingan plastik kresek berisi peralatan mandi.
“Hahaha, tanggung, Lina. Itu rumahnya udah kelihatan,” balas Aradhea.
“Ah, mana?” Lina menengok ke arah yang ditunjuk. “Oh, iya.” Terlihatlah dari kejauhan, sebuah bangunan dari kayu, yang berada di tengah-tengah area datar.
Namanya Sayyidi — 77 Tahun, kakek Aradhea. Beliau sedang berbincang di depan rumah dengan seorang remaja laki-laki berusia dua puluh tahun yang bernama Duljana.
Duljana adalah seorang yang sangat dekat dan begitu mengenal Aradhea. Pemuda itu berasal dari kota Jakarta. Aradhea membawanya beberapa bulan yang lalu untuk tinggal sementara bersama sang kakek.
Keduanya tersenyum, melihat Aradhea dan Lina berjalan mendekat. Duljana segera beranjak dan bergegas menyambut.
“Mas, udah ditunggu sama Simbah,” ucapnya jenaka, kemudian menengok pada Lina.
“Hah!” Duljana sangat terkejut melihat dara cantik berkaus ketat itu. Ekspresinya yang riang gembira menjadi bungkam dan terpana.
“Wahai, Perempuan Berambut Merah,” bisiknya, seolah sedang berbicara sendiri.
“De,” Lina menyenggol Aradhea dengan sikut. “Dia ngomong apa? Rambut gue kan hitam,” gumamnya.
“Hahaha, udah, gak usah didengerin,” balas Aradhea.
“Tapi, gue kok kayak kenal sama dia yahh?” tanya Lina yang dalam benaknya tidak asing melihat Duljana. Benar-benar merasa mengenal, meski tidak bisa menjawab hal tersebut berdasarkan apa.
“Mas Ade?” Laki-laki berkulit sawo matang itu lantas menengok pada sang kakak.
“Kamu udah makan belum, Dul?” Aradhea sengaja mengalihkan pembicaraan, lalu berjalan menuju rumah.
“Sebentar, De, gue mau kenalan dulu,” ujar gadis itu. “Hmmm, kamu pasti adiknya Mas Ade?”
“Benar, Mbak, nama saya Duljana.” Pemuda bertubuh kekar rambut ikal itu mengulurkan tangan. Sikapnya sangat percaya diri.
“Lina.” Mereka pun berjabat tangan. Duljana terus menatapnya dengan wajah bingung. Tapi ia paham jika sang kakak tidak mau meneruskan pembicaraan tentang sosok yang ia sebut.
“Ayo, Mas, Simbah udah menunggu,” serunya.
Setiba mereka di halaman rumah, Lina langsung mencium tangan Mbah Sayyidi. Mereka kemudian duduk bersama.
“Duljana, minumnya dituangin,” pinta Mbah Sayyidi pada Duljana, menunjuk pada meja kayu jati ukiran yang sudah membatu.
“Diminum, Mas.” Tangan Mbah Sayyidi mempersilahkan. Aradhea tertawa kecil. Raut wajahnya sangat puas melihat keadaan kakeknya.
“Ini teman Ade, Mbah. Namanya Lina,” ucap Aradhea.
“Nggih, nggih.” Sorot matanya menatap Lina. “Suasananya begini, Mbak. Berbeda, sama di rumah kamu,” lanjutnya kalem.
“De!” Lina menengok sambil tersenyum, Aradhea malah tertawa.
“Masak apa, Mbah?” tanya pemuda kharismatik itu.
“Makan yukk, Embah sudah masak,” Mbah Sayyidi berdiri.
“De ... gue mau mandi.” Lina menyolek tangan Aradhea.
“Iya, silakan, Lin. Ayo gue antar ke kamar mandi.” Mereka pun beranjak.
***
Tempat tinggal Aradhea — Mbah Sayyidi, berada di puncak bukit yang masih terkondisi alami. Belum ada pemukiman, atau tanah garapan sebagai area perkebunan dan pertanian.
Tak jauh dari bangunan tempat tinggal itu ada sebuah telaga yang cukup luas.
Siang hari Aradhea mengajak Duljana untuk duduk-duduk di atas sampan kayu yang terikat pada pasak. Sedangkan Lina dan Mbah Sayyidi berbincang di pinggir telaga sambil memancing ikan.
Lina amat senang dengan kondisi alam di sana. Bahkan begitu menikmati keberadaan dirinya.
“Sebentar lagi hujan. Mas Ade pasti mandi hujan,” ucap Mbah Sayyidi. Lingkar matanya abu-abu sayu, namun tajam melihat kumbul yang tenang di permukaan telaga.
Embahnya Ade pasti bisa, baca masalah gue. Bisik Lina dalam hati.
Cucunya aja model gitu, gimana Embahnya. Demikian dugaan dalam benaknya.
“Mbah ... Lina mau cerita nihh sama Embah,” ujar Lina nada merayu manja.
“Silakan, silakan,” balas Mbah Sayyidi.
“Hmmm, apa yang harus Lina lakukan, Mbah?” garis muka bingung ia bicara.
Orang tua itu tenang menanggapi, diam sekitar tiga menit dengan pandangan kosong, bak menembus dasar telaga.
“Di kedua telapak tangan kamu, ada tahi lalatnya, sejajar?” datar suara Mbah Sayyidi.
“Kenapa, Mbah,” Lina mengangkat kedua tangan dan melihat.
“Hah?!" Rautnya sungguh heran, kembali menengok pada kakek berwajah bersih itu. “Benar, Mbah.”
Ya ampun, Embahnya Ade benar-benar tahu. Padahal kapan gue pernah ketemu dia? Tambahnya membatin.
“Mohon maaf yaa. Coba kamu berdiri,” pinta Mbah Sayyidi. Lina pun berdiri.
“Coba pegang betis kiri kamu sekarang, ini, di sebelah sini,” Mbah Sayyidi menunjukkan satu titik dengan kakinya sendiri, di bawah tengkuk lutut. Lina lalu menyingkapkan Levis gombrangnya.
“Ini coba kamu tekan agak keras.” Jari telunjuk lelaki tua berambut putih itu menunjukkan satu titik pada betis Lina, dengan mata terpejam dan tidak menyentuh kulitnya.
Lina kemudian menekan agak keras titik yang diberitahu.
“Aduuh...” rintih gadis itu. Badannya terhuyung, hampir jatuh. Kaki kirinya lumpuh mendadak, tak kuasa menahan beban tubuh. Tetapi hanya sementara. Hanya pada saat titik yang ditunjukan Mbah Sayyidi itu ditekan. Setelah itu kembali normal.
“Ini apa, Mbah? Kok bisa?” ekpresi Lina terheran-heran.
Mbah Sayyidi hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Wajahnya bundar ketika tersenyum.