Dalam perjalanan pulang menuju kota tempat tinggal, Lina diminta Aradhea untuk mengaktifkan ponsel. Pemuda itu fokus mengemudikan kendaraan sambil memasang wajah serius. Serius bukan karena marah. Tapi ingin memberi ketegasan pada gadis itu, jika dirinya harus segera dipulangkan. Aradhea merasa bertanggung-jawab atas perginya Lina dari rumah.
Benar saja, sederet pemberitahuan akan panggilan masuk dan selusin pesan tampil di beranda ponsel. Pesan berupa pertanyaan, keluhan, pujian, kata-kata cinta, sampai pesan ancaman kepada Lina. Ada pula pesan terakhir masuk, nomor tak dikenal yang mengajaknya kenalan.
“Gimana nihh, De?” kata Lina sambil menengok.
“Balas aja semua,” jawab Aradhea nada menekan. Lina menurut.
Hanya dua detik setelah pesan dari gadis itu diterima oleh ayahnya, terdengarlah dering panggilan masuk.
“Papah!” Lina kembali menengok pada Aradhea.
“Angkat,” ujar pemuda berwajah manis kuning langsat itu. “Hadapi aja, Lin, apa pun yang terjadi,” sambungnya lantang, seraya menoleh.
Lina menerima panggilan dan terdiam mendengar suara umpatan di ponsel.
“Baik, Pah. Lina pulang sekarang.” Ia menutup percakapan sambil mengembuskan napas panjang.
“Gak mungkin, Lina, seseorang itu lepas dari masa lalunya. Gak mungkin juga lepas dari orang tuanya, kecuali waktu yang telah memisahkan,” seru Aradhea, kemudian menginjak gas penuh, berpacu dengan waktu di jalan bebas hambatan.
Pukul 20.15, mereka tiba di depan pintu pagar rumah berlantai dua itu. Hati Lina kecut lagi membeku. Ingatannya pun mengeras seketika.
“Ayo. Gak apa-apa, Lina. Aku yang bertanggung-jawab. Aku yang akan bicara sama kedua orang tua kamu,” kata Aradhea, seraya membuka pintu mobil. Lina tetap diam.
“Lin ... kamu percaya gak sama aku?” Tangannya memegang pundak Lina. Perempuan itu pun menatap balik dengan sorot mata yang cemas, kemudian perlahan-lahan membuka pintu. Aradhea memegang punggung tangan Lina, lalu memberikan kunci mobil. Mereka pun bergegas keluar.
Aradhea membuka pagar dan berjalan di depan. Sementara Lina melenggang pelan di belakangnya, agak menunduk. Bapak Candra dan Nyonya Liani sedang duduk di teras rumah, berdiri menyambut kedatangan sang anak.
“Assalamualaikum, dan Selamat Malam.” Salam kesejahteraan terdengar dari mulut Aradhea. Ia melangkah tenang ke hadapan Bapak Candra, terus mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Bapak Candra tidak menjawab. Tangannya terlipat kaku di pinggang.
“Dari mana saja kamu!” Pria bertubuh besar itu melotot tajam pada sang anak. Wajahnya bertambah sinis dari semula. Sifat tempramen dirinya telah mengalahkan rasa penyesalan yang sudah ada sejak kemarin. Lina hanya terdiam.
“Mohon maaf, Pak, Lina ikut saya ke kampung,” ujar Aradhea menjawab.
“Kamu!” tatapan mata Bapak Candra pada oknum di hadapannya itu sudah tidak terkendali. Penuh nafsu angkara murka.
Satu tamparan telak langsung mendarat di pipi kiri Aradhea.
“Pah?!” pekik suara Lina.
“Siapa kamu, berani-beraninya mengajak anak saya! Bangsat!” dadanya ditegakan.
“Sekali lagi, mohon maaf, Pak. Saya hanya ingin mengembalikan anak Bapak dalam keadaan selamat,” balas Aradhea dengan pandangan tertunduk. Nyonya Liani sedikit sumringah.
“Kamu tahu! Anak saya sudah dijodohkan dengan seseorang,” hardik pria itu dengan wajah merah dan sorot mata tajam.
“Saya tahu, Pak. Karena itulah saya ingin memulangkan anak Bapak, dan sekali lagi, saya memohon maaf.” Aradhea menatap mata Bapak Candra. Lelaki itu justru semakin tersulut api emosinya.
“Kamu tahu ... tapi berani kurang ajar!” Tangan kanannya mengepal kuat.