Lina Caroline merasakan hampa dalam kehidupan. Senyumnya tak lagi bersinar seperti mentari pagi. Keceriaan dirinya hilang ditelan gelap malam yang terus berkepanjangan. Sudah dua hari, perempuan energik itu sudah tidak lagi merasakan hawa semangat yang mengalir pada sendi-sendi hidupnya. Waktu siang telah mati, waktu malam tambah sepi. Tak tahan dihantam prahara yang menerpa. Ketika di rumah, ia bungkam seribu bahasa. Ketika di kampus, ia bagaikan pribadi yang tak bernyawa.
Masih segar dalam ingatan Lina, bagaimana perlakuan ayahnya kepada Aradhea. Wajah lugu berhidung mancung itu dipukuli di depan matanya sendiri. Dan sekarang, ia tidak tahu, keberadaan Aradhea ada di mana.
“Lina...” suara Bapak Candra menghentikan laju pikiran yang tengah mengambang. Sore hari di kursi keheningan. Lina hanya menengok, tanpa berucap sepatah kata pun.
“Papah iba melihatmu seperti ini. Kamu menjadi seperti bukan dirimu,” ujar Bapak Candra. Tangannya berpegang pada pagar stainless. Sang anak duduk di sebelahnya, menatap pemandangan sekitar dengan pandang kosong.
“Lina...”
“Iya, Pah, Lina gak apa-apa, kok, Pah,” pelan ia menjawab.
“Berulang kali Papah minta maaf sama kamu. Apa kamu belum memaafkan Papah?”
Lina tetap tenggelam dalam pikiran.
“Kamu tahu, Lin. Pernikahanmu itu begitu penting bagi keluarga kita. Ini menyangkut hidup Papah di masa lalu, menyangkut harga diri keluarga kita. Papah harap kamu memahami betapa penting Papah menepati janji.”
Lina menatap sang ayah yang tampak cepat menua. Beban pikiran di waktu belakangan ini lekas menyusutkan penampilan fisiknya. Biar bagaimanapun hati kecil Lina tidak bisa berpaling. Ia sayang pada orang tuanya.
“Iya, Pah. Lina juga enggak bisa bilang apa-apa. Semuanya terserah Papah sama Mamah,” ucapnya bernada pasrah.
Bapak Candra berbalik arah, membungkuk sambil memegang pergelangan kursi keheningan.
“Besok keluarga besar Om Arsan mau datang ke sini, untuk melamar kamu. Papah mohon sama kamu. Tolong jaga sikapmu. Papah sadar, mungkin kamu belum sepenuhnya mengenal Wahyu dan keluarganya.”
Bagai terjatuh seorang diri ke dasar jurang, Lina hanya bisa pasrah dan mengiyakan.
Bapak Candra lantas mengusap kepala Lina beberapa kali, seraya memandang wajah cantiknya. Dalam hati ia sungguh merasa tidak tega melihat buah hatinya itu. Tetapi meluruskan kondisi yang terjadi pun ia tiada mampu.
“Lina...” datar dan lembut suara Bapak Candra, kemudian mencium kening sang gadis. Tak lama kemudian ia pun berlalu.
Adeee...
Aradhea...
Kamu ke mana, sih?
Resah suara dalam benak Lina, sebab merasa sangat bersalah padanya. Berkali-kali ia menghubungi sang pujaan hati lewat telepon dan pesan singkat, namun Aradhea sedang berada di area yang terisolasi dari pemukiman, terlebih lagi dari arus telekomunikasi selular.
***
Keesokan harinya, pada sore yang cerah, keluarga besar Bapak Arsan datang ke kediaman Bapak Candra. Tak terkecuali dengan Mbah Waskita yang ikut turun gunung.
Terjadilah pertemuan dua keluarga penuh senyum dan tawa.
Mbah Waskita seringkali memperhatikan Lina, terkejut bangga melihat anak perempuan yang dahulu pernah ditimang-timang olehnya itu telah menjadi seorang gadis yang nyaris sempurna secara fisik. Ia merasa amat puas, meskipun bukan hal itulah yang utama.
“Wahyu ... kamu sangat beruntung mempunyai istri seperti Lina,” ujar kakek berbatik gelap itu, menengok pada sang cucu.
“Kelak rumah tangga kalian akan dianugerahi dunia yang berlimpah,” lanjutnya. Semua orang yang ada di sana tersenyum ceria kecuali Lina.
Terlampau gembira membuat pria sepuh itu menjadi banyak bicara. Sampai-sampai membocorkan hal yang seharusnya tidak didengar oleh publik. Padahal Mbah Waskita aslinya adalah pribadi yang cenderung pendiam.
“Lina,” suaranya terdengar berat, memanggil gadis anggun nan jelita itu.
“Iya, Mbah,” Lina mengangguk dan tersenyum.
“Kamu sudah mengerti belum, mengapa Embah sangat menginginkan kamu menjadi istrinya Wahyu?” tanyanya.
“Maaf, Mbah, Lina belum mengerti,” jawab gadis bergaun cocktail biru muda dengan berbagai perhiasan itu. Apabila dia sudah benar-benar berhias diri, maka setiap pasang mata pasti akan tertuju padanya.
“Baiklah, Embah akan memberi tahu. Dengarkan baik-baik.” Mbah Waskita menarik napas panjang.
“Siapa pun laki-laki yang menjadi suami kamu, dia akan menjadi seorang pemimpin yang sesungguhnya.” Jelas suara Mbah Waskita, memberitahukan sebuah rahasia dari seorang Lina Caroline. Meskipun Lina sendiri belum mengetahui hal tersebut.
“Ohh...” wajah-wajah terpana tampak pada seluruh anggota keluarga yang hadir. Terlebih lagi Wahyu yang tersenyum bangga pada dirinya sendiri.
“Sejak dahulu, saya sudah mengetahui hal ini.” Pandang kakek berbadan agak kurus itu, fokus pada beberapa orang. “Karena itu Embah sayang sekali sama Lina,” ujarnya.
“Maaf, Mbah, izin bertanya,” Bapak Candra menyela karena rasa penasaran. “Apakah hal itu merupakan sesuatu yang bersifat pasti?”
“Iya ... ini sudah ketentuan dari Semesta,” tengok Mbah Waskita pada Bapak Candra.
“Saya akan berikan sebuah bukti.” Posisi duduk Mbah Waskita bergeser, tidak lagi menyender. “Lina, sayang, coba perlihatkan kaki kamu.”
Lina yang duduk di antara ayah dan ibunya itu langsung berdiri.
“Lina mendapat anugerah dari Tuhan. Di betis kirinya terdapat benda gaib yang menempel,” ucapnya dengan tangan menunjuk.
“Coba ... coba, kalian pegang. Letaknya sedikit di bawah tengkuk betis,” lanjut sang kakek, pada kedua calon besan anaknya.
Bapak Candra meraba sambil menekan kulit kaki Lina, dan saat jarinya menyentuh titik bersemayam benda tersebut, Lina mendadak lumpuh seperti saat bersama Mbah sayyidi. Hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang batinnya sudah terkoneksi dengan benda gaib itu.
Bapak Candra terkejut seraya bertanya, “ini apa, Mbah? Kok keras?” rautnya heran.
“Itulah benda gaibnya, namanya pulung keprabon,” jawab Mbah Waskita.
Lina duduk terheran, mengingat kejadian sejenis yang ia sendiri belum paham mengapa hal itu terjadi.
“Saya jadi ingat kisah Ken Dedes, Mbah,” kata Bapak Candra.
“Nah, tepat, kamu benar. Itu adalah pulung yang sama, dengan apa yang dimiliki oleh Ken Dedes,” jawab Mbah Waskita.
Saat itu juga Bapak Candra baru tersadar, bahwa putrinya bukanlah sosok sembarangan. Hatinya kecut, menatap haru pada sang anak. Teringat akan pola pikir, sifat, gaya hidup, dan juga kepribadian Lina sejak kecil hingga dewasa.
Setelah perbincangan itu, keluarga Arsan mengikat hubungan Wahyu dan Lina dengan seperangkat emas murni seberat lima kilogram, berikut sebuah simbolis di jari manis kedua inshan, bahwa mereka telah resmi, bertunangan.