ARADHEA

Rudie Chakil
Chapter #20

Kebersatuan Jiwa

Selepas waktu Isya, di ruang tamu, Aradhea sedang berbincang-bincang dengan Mbah Sayyidi, Duljana, dan Arryan. Mereka selesai menjalankan ibadah salat Isya secara berjamaah.

“Habisnya saya malu, Mas,” ucap Arryan, menundukkan kepala.

“Hahaha...” mereka semua tertawa.

“Jangan tertipu, Yan. Cinta dan kagum itu beda tipis. Kalau kamu kagum sama seseorang, kamu gak akan bisa memiliki dia,” kata Aradhea. Mbah Sayyidi dan Duljana hanya tersenyum.

“Contoh tuh Duljana. Pede aja biar udah ditolak berkali-kali sama perempuan. Masuk hutan berubah jadi macan, masuk kandang burung berubah jadi burung, masuk sarang semut berubah jadi semut. Masuk lubang WC berubah jadi kecoa,” lanjut laki-laki limited edition itu.

“Hahaha...” mereka serempak tertawa lagi.

“Mas,” Mbah Sayyidi memanggil. Aradhea menengok.

“Kalau ada pekerjaan lain, silahkan diurus. Jangan gak enak-an sama Embah,” ujar kekek bermata agak bundar itu, jelas mengetahui kalau sang cucu sedang menutupi rasa gelisah.

Keadaan hening sesaat, seperti ada angin lewat yang memasuki ruang tamu.

“Maafin Ade yaa, Mbah, bukan maksud meninggalkan Embah di sini,” ucap pemuda berkaus hitam itu. Mbah Sayyidi bertatap hangat.

Ngiiiiiiiinnggg....

Suara seperti gangsing kembali mendesis. Bersamaan dengan hawa dingin yang tiba-tiba datang memenuhi seisi ruangan. Temperaturnya tak berbeda dengan suhu udara yang ada di ruang terbuka area pegunungan.

“Assalamualaikum ... Walaikumussalam,” ucap Aradhea, berdiri menghadap pintu yang sejak tadi terbuka lebar. Mbah Sayyidi menatap tenang, Duljana melotot karena terkejut, sedangkan Arryan merasa heran lantaran tidak melihat kehadiran siapa pun.

Oknum batin Lina Caroline — Perempuan Berambut Merah, datang dan menghadap Aradhea.

“Saatnya kita bersama, wahai suamiku.” Ia berkata sambil berdiri di muka pintu. Busananya tampak bercahaya redup, tetapi tubuhnya bercahaya terang. Wajahnya tersenyum, dengan kedua tangan saling bertumpuk terbuka di depan dada. Memberikan sekuntum bunga berwarna putih lembayung.

Aradhea mengepalkan tangan, dan bunga itu sudah berada dalam genggamannya.

“Biar aku menunggu di depan rumah kamu,” kata pemuda bermata agak sipit itu, seperti orang yang sedang bicara sendiri.

“Ya sudah, sana,” Mbah Sayyidi berujar dengan raut hangat. "Lagipula Embah bukan sekedar tamu, kok. Embah juga lagi punya urusan di sini.”

“Baik, Mbah, Ade mohon doa-nya yaa.” Aradhea meminta tangan Mbah Sayyidi, lalu mencium punggung dan telapak tangannya bolak-balik.

“Dul, temani Embah yaa.” Pesan Aradhea pada pemuda berkulit gelap itu.

“Baik, Mas.” Duljana mengangguk.

Aradhea kemudian bergegas menuju rumah Lina.

 

“De ... lagi di mana lo?”

Fendi menelepon saat Aradhea sudah sampai setengah perjalanan. Nada suaranya begitu cemas.

“Lagi di jalan, Fen,” jawabnya.

“Lo mau jalan ke mana, De?” Fendi bertanya lagi.

“Ada apa sih? Buru-buru amat?” Aradhea menjawab dengan santai. Padahal ia sedang mengemudikan kendaraan melaju cepat di ruas kanan Tol Jagorawi.

“Li, Lina, De! Sumpah ... to, tolong lo ke sini sekarang,” seru Fendi terbata-bata menjelaskan.

“Ya udah, lo lagi di mana?” Aradhea berkata seolah tidak tahu apa-apa.

“Gue di rumahnya Lina.”

“Oke ... jemput gue di gerbang depan. Sekarang juga gue ke sana,” ucap Aradhea yang memang sedang dalam perjalanan menuju rumah Lina.

Fendi dan Aida langsung bergegas naik mobil milik Aida, menunggu kedatangan Aradhea di depan gerbang besar perumahan. Gurat wajah Fendi sangat resah. Sementara wajah Aida juga tampak resah, tetapi keresahan yang bersifat lain, seperti kurang berkenan dengan kedatangan Aradhea.

Beberapa waktu kemudian, terlihatlah Mitsubishi Pajero putih yang mereka kenal.

“Ara!” seru Aida. Fendi menengok.

Mereka lalu turun membawa dua buah payung, sebab gerimis yang belum juga reda.

“Ada apa, Fen?” tanya pemuda berjaket kupluk itu, berpura-pura tidak tahu. Fendi diam beberapa saat, kemudian menarik napas panjang.

“Lina bunuh diri, De.” 

Aradhea tertunduk. “Jam berapa?”

“Sekitar jam delapan.” Terang bicara Fendi, menatap Aradhea penuh rasa haru. “Dia ninggalin surat buat lo,” sambungnya.

“Surat apa?” tanya Aradhea dengan suara datar dan tenang.

“Ya udah, lebih baik kita ke TKP aja, De. Lo udah di tunggu sama orang tuanya Lina.”

“Sebentar.” Aradhea mengambil ponsel dari kantung celana.

“Mungkin surat itu ada kaitannya dengan pesan yang dikirim Lina sore tadi.” Aradhea mengambil ponsel dan menunjukkan layar yang tertera sebuah pesan.

Mereka pun membacanya.

Aradhea, jika kamu benar-benar mengerti tentang cinta, tolong buktikan!

“Sepertinya Lina memang udah punya rencana untuk bunuh diri,” gumam pemuda itu. Seketika udara lembab bertiup pelan di tengkuk leher mereka bertiga.

“Iya, benar, De. Ayo, kita ke rumahnya.” Pinta lelaki gondrong berkaus putih itu.

“Nanti dulu.” Aradhea menatap serius pada mereka.

“Gue mau bahas sesuatu di sini, sebentar.” Tegas Aradhea berkata. Fendi dan Aida bertanya-tanya dalam hati.

Lihat selengkapnya