ARADHEA

Rudie Chakil
Chapter #21

Sayembara

Lina berdiri dan menyender di pagar balkon, tersenyum pada orang-orang yang ada di sana.

“Pah, Mah, benarkan, Lina pasti kembali.” Tatap mata gadis berkaus hitam celana Levis itu dirasakan berbeda oleh ayah dan ibunya. Suasana malam itu sungguh terkondisi nyaman, seperti menyediakan waktu santai untuk mereka berbincang-bincang.

“Ini tentang sisi lain dari diri kamu yang kami tidak tahu, sayang. Maafin kami yah.” Nyonya Liani memandang penuh penyesalan. Ia — atau mungkin juga suaminya, secara tidak sadar merasakan ada perbedaan dengan sosok Lina dari yang mereka kenal sebelumnya. Walaupun mereka tahu, jika Lina tetaplah Lina Caroline, putri tunggal mereka.

Bapak Candra menggelengkan kepala, dan bertanya. “Kamu benar-benar membuat kami khawatir. Apa yang menyebabkan kamu berani ambil keputusan seperti itu, Lina? Kamu enggak pikir tentang resiko?”

Merespon pertanyaan tersebut, sorot mata Lina mengawang beberapa saat.

“Hmmm ... enggak ada seorang pun yang berhak untuk mempertanyakan takdir, Pah. Tapi, Lina merasa punya hak untuk menjadi umat beragama. Lina percaya, Tuhan Yang Maha Esa pasti akan memberikan Lina kesempatan untuk hal ini.”

Bapak dan Ibu Candra, berikut mereka yang mendengar agak terperangah serta berpikir dengan jawaban tersebut. Lina tersenyum menawan.

“Semuanya karena sebuah pesan yang ditunjukkan sama orang ini, Pah.” Tangannya menunjuk pada Aradhea yang berdiri di pojok balkon.

“Sudah kubilang, aku tahu apa yang aku lakukan, De. Aku paham, pesan yang kamu tunjukkan padaku. Biar bagaimanapun, cinta seorang perempuan pasti lebih dalam daripada laki-laki,” sambungnya.

Aradhea tertegun. “Untuk kali ini, gue yang gak bisa ngomong apa-apa, Lin.” Pemuda itu pun tertawa kecil.

Bapak Candra menarik napas panjang seraya berdiri di depan Aradhea. “Apa permintaan kamu, De?” tanyanya.

“Biar saya utarakan di bawah saja, Pak, di teras rumah,” ucapnya.

“Ayo, Lin,” Aradhea mengangguk pada Lina, lalu mengajak Aida dan Fendi dengan lambaian tangan.

“Ayo, kita ke bawah.”

Mereka semua turun ke teras rumah, merasa penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Aradhea.

“Maaf, Pak, mungkin terdengar konyol. Tapi saya serius dengan permintaan ini, Pak.” Wajah Aradhea tampak malu-malu mengutarakan.

“Iya ... apa, De?” Bapak Candra mengerutkan kening.

“Saya ingin, Bapak mengizinkan Lina ... untuk mandi hujan sama saya, hehehe. Ayo, Lin.” Aradhea menarik tangan Lina, berlari menuju kerumunan hujan. Bapak Candra menggelengkan kepala sambil menyilangkan tangan di depan dada. Senyumnya sudah mulai hadir.

“Deeee...” Lina memeluk tubuh Aradhea. Aradhea langsung mengusap kepalanya.

Bapak Candra merasakan benar, bahwa kebahagiannya tiada lain adalah kebahagiaan darah dagingnya.

Fendi menatap Aida dengan senyuman bodoh. “Woy, kita ikutan yukk,” ajaknya pada Aida.

“Gak, ah, nanti gue masuk angin lagi,” gadis cantik itu menggeleng.

“Tenang aja, kalau lo sakit, jaminannya abang lo tuhh, hahaha,” Fendi menarik tangan Aida. Mereka berlari ke bawah pohon palem, untuk bersama Aradhea dan Lina.

“Aida, Fendi, hahaha.” Lina berjingkrak-jingkrak. Mereka saling berpelukan.

Aradhea menginjak sesuatu di bawah telapak kakinya, kemudian mengangkat kaki dan menengok ke lantai konblok. Sebuah cincin emas mengkilat terguyur hujan di sisi kakinya.

 

“Candra ... kita bicarakan urusan kita malam ini juga,” ujar Mbah Waskita dari belakang. Sepertinya beliau merasa takut akan kondisi yang berbeda dengan apa yang sudah direncanakan.

Bapak Candra sungguh bimbang dan hanya terdiam. Ia terikat akan dua janji yang keduanya belum bisa ia tepati. Pertama, janji dengan Mbah Waskita. Ke-dua, janjinya pada Lina di dalam hati — saat membaca secarik pesan. Kedua janji itu pun saling bertolak belakang.

“Kamu tidak ingkar bukan, sama janji kamu?” tekan lelaki tua itu. Bapak Candra tetap bungkam.

“Candra, lekas jawab pertanyaanku!” Hardiknya.

Aradhea dan Lina, juga Fendi dan Aida melihat keributan kecil di teras rumah.

“De ... gimana?” tanya Lina. Tangannya memegang tangan Aradhea. Wajahnya hampir tertutup rambut yang tergerai basah.

“Hmmm ... aku minta maaf sama kamu sebelumnya yaa, Lin. Untuk kali ini aku akan main kekerasan jika diperlukan. Jadi, maafkan aku semisal ayahmu juga nanti terluka karena tanganku. Apakah kamu mengizinkan?” ujar Aradhea. Lina berpikir sejenak.

“Silakan, De, gak apa-apa.”

Aradhea kemudian melangkah ke arah mereka, berhenti di muka teras, di samping tiang besar.

“Bapak ... apakah anda masih tega juga mengorbankan kebahagiaan putri anda sendiri, hanya untuk sebuah janji yang seharusnya masih bisa dilupakan?” Aradhea menatap Bapak Candra.

“Saya, saya tidak bisa berkata apa-apa, De. Saya, bukanlah manusia pengingkar janji. Tapi ... tapi saya bingung, apa yang harus saya lakukan?” Bapak Candra melirik ke arah keluarga Arsan.

“Saya baru benar-benar merasakan kebahagiaan anak saya, dan ituah sesungguhnya kebahagiaan saya,” ujarnya. Kehadiran Aradhea saat itu serasa memberikan angin segar pada dirinya.

“Oh, begitu, lantas, bagaimana dengan perkataan yang sudah kamu ucapkan dulu, juga kemarin?” sorot mata Mbah Waskita berusaha mempengaruhi.

“Mbah ... kami mohon, mengertilah keadaan kami, Mbah,” potong Nyonya Liani sedikit membungkuk.

“Sekarang kamu lihat, keadaan Lina baik-baik saja, bukan?” balas pria sepuh itu. Bapak Candra yang sudah kalut pikiran pun berani menekan balik.

“Mbah ... tolong jangan paksa kami, Mbah. Apa perlu saya mengganti nama anak saya!” ancam Bapak Candra, demi menggugurkan janji yang pernah ia ucapkan.

Lihat selengkapnya