Malam baru akan terlahir, ketika bumi mulai berputar membelakangi matahari. Ketiadaan hangat seakan-akan mengadili sebuah peran yang dianggap hampir mati. Membawa karsa, meliput cipta, melempar rasa di antara kaki-kaki Sang Waktu yang mulai memberi pengajaran kepada seorang inshan terpandangnya.
Pergerakan waktu seakan-akan terus menggulung apa pun yang ada di hadapannya, namun juga melihat apa pun yang ada di belakangnya.
Kepada siapa ia hendak memohon pertolongan, jika karsa Sang Waktu sudah datang untuk menyeretnya. Menyeretnya ke sebuah lembah sempit yang terus menjepit.
Perempuan muda itu menahan rasa sakit. Ia tidak mengetahui berapa lama lagi ia akan bertahan pada tubuh yang didiami. Pandangannya sudah mulai buram, sedikit demi sedikit kabur hingga tidak melihat apa pun. Penciuman dan napasnya sesak secara perlahan lalu menghampa seketika. Pendengarannya samar-samar mengecil, sampai tidak terdengar suara apa pun. Perabaan dan seluruh anggota tubuhnya kaku, kemudian hilang semua rasa.
Kini detak jantung telah diam membatu. Menggelap mati tempat ditampungnya semua rasa dari sumber rasa. Berhenti gerak laju decak aliran energi hidup. Memancar paksa memori, non materi, juga batasan-batasannya keluar dan terpencar ke segala penjuru.
Unsur hayat telah kembali kepada-Nya Yang Memiliki. Melayang terbang tiada beban. Tanpa batas melesat lepas bagai tak berbekas. Menari-nari di ambang kucilnya tari gemulai gerak alami jagad kinasih. Menerjang kedalaman rongga-rongga lautan sifat Ilahi yang Suci. Suci tanpa pernah terlihat kesucian-Nya, agung tanpa pernah terasa kelembutan-Nya, luas tanpa pernah terbatas segala kebesaran aturan-Nya.
Tinggallah sesosok tubuh tergantung kaku. Diam di sela-sela isak tangis beberapa orang yang ditinggalkan. Hanya sang sukma sejati yang tetap terjaga, dan selalu setia pada pengalaman yang juga dirasakan olehnya.
Pandangannya terbuka secara perlahan-lahan, namun tidak terlihat apa pun yang ada di alam sekitar. Seperti rembulan tertutup awan, yang coba mengintip wajah semut hitam dari balik dedaunan pada gelapnya malam. Sangat mungkin melebihi bayangan hitam yang berkelebat dalam pekatnya perut gua, bahkan terlebih gelap. Itulah mula-mula yang dirasakan oleh sang sukma, yang dahulu berada di dalam jiwa.
Ketiadaan sungguh akan menghadirkan sebuah keberadaan. Ketiadaan panas akan menghadirkan keberadaan dingin yang teramat sangat dingin, hingga menjadi panas bagi yang menyentuhnya. Ketiadaan bising akan menghadirkan sebuah keheningan yang teramat hening, hingga terdengar deru seperti Semesta yang tertawa. Ketiadaan benar akan menghadirkan keberadaan salah yang terlihat jahat dan teramat kejam, hingga muncul seseorang yang membawa panji-panji kebenaran yang hakiki.
Begitu pula ketiadaan terang, akan menghadirkan apa yang dirasakan sang sukma, hingga datang berkas-berkas bayang agak keunguan, kecoklatan, dan kekuningan. Bergulung-gulung saling kejar-mengejar ke arah mata memandang, lalu menghilang berganti ulang.
Hadirlah secercah cahaya membentuk telapak tangan yang mengajaknya jalan tanpa melewati sebuah jalan. Berjalanlah sukma itu mengikuti.
Di pengujung hilangnya berkas-berkas berwarna, sukma itu dipertemukan dengan perubahan secercah cahaya yang mewujud sebagai seorang tua renta berpenampilan gagah bijaksana. Ia berbicara dengan makna dan tanpa bahasa.
Sang sukma memahami bahwa ia harus berjalan di belakang sosok itu, mengikutinya sampai terlihat sebuah pesimpangan jalan. Tetapi sesampainya di persimpangan, sosok tersebut menghilang.
Sang sukma tampak kebingungan. Tidak ada siapa pun yang menemani. Sendiri mencari tahu arah mana yang harus ia tuju. Tanpa waktu berpikir, bergerak menelusuri tapak di atas gundukan-gundukan besar selembut kapas berwarna ungu. Terus berjalan dan berjalan, hingga jatuh terperosok jauh sampai ke dasar jurang.
Di dasar jurang tampak area datar yang sangat luas. Sederet manusia berjumlah tak terhitung berbaris menyamping. Semua berdiri dengan lututnya. Tangan kirinya memegang dagu dan tangan kanannya memegang kening. Tanpa sehelai benang pun menutupi sekujur tubuh mereka.
Mereka semua berwajah cemas. Meng-iba pada pemandangan berwarna merah tua kehitaman yang berbayang di sekitar.
Sang sukma bertanya kepada salah seorang di antara mereka; “Mengapa kamu seperti itu?”