Usiaku tiga puluh dua sekarang. Empat hari menuju ulang tahun ke-33. Bekerja di perusahaan multinasional, seorang brand manager yang baru dipromosikan satu bulan lalu. Aku tinggal di sebuah apartement dengan jumlah lantai paling banyak di Kuala Lumpur. Nama perusahaan real-estatnya juga selalu mentereng di seluruh iklan properti. Mapan dan belum menikah. Itulah yang orang lain lihat tentangku. Aku sih, tidak peduli. Ini hidupku. Selagi aku tidak merugikan orang lain, why should it bother me?
Tidak ada yang spesial dari namaku. Itu bukan nama yang langka. Bukan nama yang di setiap kota paling banyak hanya ada dua-tiga orang. Biasa saja: Lauren. Begitulah semua orang memanggilku. Keluargaku juga. Teman-temanku bahkan sekarang menggantinya menjadi ‘Lou’, ‘Loren’, atau ‘Laury’. Bermacam-macamlah. Tergantung sedang bersama siapa dan sedang seperti apa suasananya. Karena kalau sudah bersama Kalu, sobat paling sableng sekaligus calon mama ter-hectic yang pernah kukenal, terkadang nama asliku menjadi tidak berguna. Entahlah, aku sebetulnya tidak terlalu ambil pusing soal nama. Karena sesering apapun nama panggilanku yang sudah pasaran itu diubah-ubah, dia tetap lebih suka memanggilku ‘Laura’.
Dia, sembilan Maret 34 tahun silam. Tahun yang berbeda, empat bulan sebelum bulan kelahiranku. Pisces. Zodiak yang katanya paling intuitif. Itu benar. Di antara kami, dialah yang paling pandai menebak. Dia juga seorang pekerja perusahaan multinasional, yang lucunya justru saingan terbesar perusahaanku. Dia bekerja di bagian marketing. General Manager. Posisi itu jelas lebih tinggi dari posisiku sendiri. Dia si manusia penyuka matcha, yang lantas membuatku jadi ikut-ikutan suka matcha. Dia memutuskan berkuliah di Kota Depok. Maka satu tahun kemudian, aku menjadi siswi kelas dua belas yang super duper ambis hanya agar diterima di universitas yang sama dengannya. Tentu saja aku harus bekerja sekeras mungkin, belajar lebih tekun, tidur lebih larut, apalagi mengikuti banyak bimbel intensif. Ya Tuhan, itu universitas terbaik. Universitas ternama di Indonesia. Dan ya! Aku berhasil. Kami berkuliah di tempat yang sama. Di kota yang sama. Kota Depok. Fakultasnya juga sama. Dia manajemen dan aku ilmu ekonomi. Tapi perbedaan itu tidak berarti banyak karena begitu lulus S1, aku tentu saja mengejar magister manajemen. Bidang yang akhirnya sama dengannya.
Aku selalu sama dengannya. Dia pekerja keras, mandiri, penuh ambisi, a city person. Itu tanpa dibuat-buat pun sudah seratus persen sama denganku. Aku dan dia selalu bermimpi tinggal di kota megapolitan seperti Jakarta. Hidup bertetangga dengan puluhan gedung pencakar langit, pusat perbelanjaan, hotel-hotel bintang lima, stasiun siaran TV, hiruk-pikuk Ibukota. Kami tidak keberatan jika setiap pagi menu sarapan kami adalah pemandangan manusia-manusia berdasi kantoran yang mengantre di sepanjang KMT KRL. Atau setiap petang, teman perjalanan pulang kami adalah kemacetan jalan raya. Kami selalu suka kesibukan kota. Yang penghuninya seolah tidak punya tujuan lain kecuali bekerja.