Hari ini, saat kembali harus mengingat segalanya, saat usiaku bahkan sudah tidak lagi pantas untuk memainkan peran cinta-cintaan anak muda, saat usiaku sebenarnya sudah terlalu matang untuk membangun keluarga dan melupakan dia, seluruh cerita itu justru terputar kembali di kepalaku. Perasaan yang telah terkubur dalam-dalam itu seperti terpaksa kembali digali. Hari ini, semesta sengaja sekali mengirimku datang ke Kota Jakarta. Kota impian kami. Semesta seperti sedang menertawakan hidupku yang akhir-akhir ini kosong dengan membawaku datang mengunjungi kenangan lama itu. Hatiku yang akhir-akhir ini seolah mati rasa. Dan kurasa akan selamanya begitu.
Lima belas tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mencintai seseorang.
Sejak kecil aku seperti sudah ditakdirkan untuk menjadi manusia yang paling tidak ahli dalam berkomunikasi. Tidak bisa sepertinya yang sampai diangkat menjadi duta wisata di kota kami. Sejak kecil aku memang cuma bisa menulis. Untuk bilang selamat ulang tahun padanya pun aku harus berpikir seribu satu kali sepanjang malam, ujung-ujungnya tetap saja cuma bisa kusampaikan lewat sekotak hadiah yang kemudian kutitipkan Kalu. Ah, Kalu. Teman terbaikku. Tokoh penting dalam cerita kami.
Setelah hampir lima belas tahun, segalanya memang harus selesai hari ini.
***
Lima belas tahun yang lalu.
"Ya kalau semua panitia santai-santai begini, semua sibuk gaming, lupa tanggung jawab. Semua sibuk pacaran. Surat dispensasi cuma dijadikan tameng supaya bisa bolos kelas, tapi datangnya malah bawa pacar, malah ngebucin sana sini, percuma kita ngadain acara ini. Percuma seminggu yang lalu saya orasi di depan semua dewan guru. Di depan orang tua-orang tua kalian agar mereka mendukung acara ini. PERCUMA!"
Kak Ari memukul papan tulis kayu itu dengan ujung spidol. Menimbulkan bunyi berkelutak yang amat memekakan. Bunyi yang membuat suasana menjadi semakin tegang. Semua panitia menunduk. Tidak ada yang berani mendongak apalagi kalau sampai tidak sengaja bertemu tatap dengan mata Kak Ari, si ketua pelaksana. Bisa gawat. Bisa kena semprot duluan.
Aku lebih mati kutu lagi. Tugas rundown acara yang kubuat keliru. Satu jam yang lalu diperiksa Kak Ari. Belum sampai ke lembar berikutnya, ia sudah merobeknya menjadi dua bagian yang kemudian beterbangan ditiup angin. Ia memakiku. Mengancam acara ini akan failed hanya karena tugas rundownku yang tidak sesuai keinginannya. Padahal, aku lebih dari sadar betapa tugas rundownku cuma satu dibanding sepuluh faktor yang bisa menggagalkan acara. Tapi Kak Ari lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih ketat daripada yang bisa kalian bayangkan tentang seorang leader.
Ia selalu memikirkan kemungkinan terburuk. Ia selalu menetapkan deadline satu minggu lebih cepat dari seharusnya. Alasannya simpel. Supaya kalau ada apa-apa, ada sesuatu yang harus dibenahi, kami masih punya cukup waktu. Ia selalu menilai buruk semua hasil kerja kami. Itu semata-mata hanya karena ia tidak ingin kami berbesar kepala. Ia tidak ingin kami cepat puas. Entahlah. Atau sebetulnya ia cuma tidak pandai saja mengungkapkan perasaan bangganya. Atau sebetulnya ia terlalu sering bertingkah menjadi orang yang keras. Sampai ia lupa caranya memuji dan menjadi hangat.
Kak Ari naik pitam. Ia sekarang dengan garangnnya berdiri di atas kursi kayu. Berdiri berkacak pinggang. Membuat kedua matanya bisa dengan mudah mengamati kami satu per satu meski kepala kami tertunduk sekalipun. "WOII KALIAN YANG BUKANNYA KERJA MALAH MOJOK BERDUA! Nggak malu sama yang susah payah bikinin surat dispen?! Nggak malu sama yang sudah dua malam menginap di sekolah?! Nggak malu atau memang nggak punya malu? Heh?!"
Tidak ada yang berani menjawab kecuali denting jarum jam. Suasana di gedung olahraga berukuran 20 x 30 meter itu sepenuhnya berubah senyap.
Di dalam hati, aku menyumpahi Kalu yang sekarang malah kabur. Bolos sekolah bersama pacarnya. Kalu yang tadi sempat ketahuan Kak Ari sedang makan siomay bersama Raihan di belakang panggung. Ehm, yang disebelahnya tentu saja ada aku. Aku yang kebetulan cuma mampir mencari angin setelah ribut bersama teman-teman sie acara lainnya karena rundown kami hancur dirobek-robek Kak Ari.
"Jo, apa kabar sepuluh juta dana sponsorship yang masih dalam status ditangguhkan? Heh? Sepuluh juta itu uang Jo! Bukan sekumpulan daun-daun kering!"
Anak laki-laki bernama Jo itu mendongak. Balas menatap Kak Ari datar. Seperti kehabisan kata-kata, sudah satu menit ia cuma diam mendengus.
"Tadi siang kami sudah mendatangi gerai toko material bangunan itu lagi. Bilang pemilik gerai itu bahkan sudah meneken kontrak sponsorship. Bilang kami sudah memasang logo gerai toko material bangunan itu besar-besar di pojok banner acara kita, di id-card peserta, di depan sekolah, di mana saja. Dan kepala keuangan gerai toko itu cuma menjawab paling lambat besok sore dana itu akan cair..."
Kak Ari menghela nafas panjang, "Kalau sampai besok sore gerai itu tidak mengirim dana sepuluh juta, pecat ia dari kemitraan sponsorship! Kamu dengar itu Jo?! Pecat ia!"
Jo mengangguk. Patah-patah kembali duduk di tempatnya, di lingkaran anak-anak sie sponsorship lainnya.
Dan Kak Ari kembali gencar mencari mangsa lain. Matanya berkeliaran menatap kami lamat-lamat.
Aku tertunduk dalam-dalam. Tanganku gemetar. Demi menyembunyikan wajah yang sudah semerah udang rebus, aku meringkuk di balik tubuh temanku yang tiga kali lipat lebih besar dari tubuhku. Duduk memeluk lutut, aku meremas-remas kertas rundown yang sebetulnya tinggal puing-puing saja. Menghasilkan setumpuk sampah lainnya yang nanti-nanti menambah pekerjaan panitia kebersihan. Berharap Kak Ari tidak akan pernah menemukanku. Berharap Kak Ari tidak pernah teringat wajahku sepanjang rapat evaluasi ini berlangsung.
Aku meringkuk semakin kuyu dibalik tubuh tambun Reymond. Membiarkan wajahku terbenam di antara lipatan tanganku. Aku tidak siap. Aku adalah orang yang paling tidak sanggup untuk dipermalukan di depan umum seperti Jo tadi. Sungguh, jika ia berani memakiku di depan panitia lainnya seperti apa yang telah ia lakukan pada Jo, esok-esok mungkin aku tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki di gedung olahraga ini sebagai koordinator sie acara. Tidak akan pernah. Kalian tahu? Sepecundang itulah diriku dahulu.
Tetapi segala pemikiran bodoh itu menjadi tidak berguna di menit-menit berikutnya. Menit-menit berikutnya saat Kak Ari betul-betul menemukanku. Esok-esok, di setiap kegiatan panitia, di setiap rapat evaluasi, meski harus pulang larut malam, aku tiba-tiba berubah menjadi orang paling bersemangat, orang paling enerjik. Sungguh, lihat saja nanti!
"Berdiri kamu, Lauren!" suara Kak Ari lantang menyebut namaku. Ia berseru galak.
Aku berdecak pelan. Bersengut-sungut beranjak dari balik tubuh Reymond. Masih dengan meremas bekas kertas rundown di tangan kiriku. Malam itu, penampilanku pasti masam sekali. Kaus panitiaku yang sudah lusuh keluar sebagian dari celana jeans, ikatan rambut sudah tidak serapi tadi pagi, id-card panitia terbalik sembarangan, dan wajah seperti tidak sempat cuci muka. Tapi peduli amat. Bukankah aku memang akan segera dipermalukan? Sekalian saja.
"Berdiri yang benar Lauren!"
Aku terkesiap. Segera menegapkan badan. Kepalaku yang semula tertunduk kini menatapnya.
Kak Ari menatapku sengit. Rahangnya mengeras, "Lihat mereka Lauren! Tatap mereka semua!" aku menelan ludah. Bersungut-sungut menuruti perintahnya.
Entah apa maksudnya. Tapi aku betul-betul sedang menjadi pusat perhatian sekarang. Bayangkan! Seorang Lauren yang introvert kini berdiri di barisan paling tengah, berdiri dikelilingi puluhan orang. Menjadi tontonan gratis. Aku nyaris kesulitan bernafas. Tanganku meremas bekas kertas rundown itu erat-erat, mencari pegangan.
"Mereka berkumpul di sini sejak pukul enam pagi, Lauren. Mereka melupakan sarapan, meninggalkan kelas, ulangan harian, apalagi tugas!" Kak Ari maju satu langkah mendekatiku. Dan kurasa suasana sedang berubah seribu kali lipat lebih mencekam sekarang.
"Lihat wajah wajah itu Lauren! Mereka sama lelahnya sepertimu, sama laparnya, sama mengantuknya! Mereka bersikeras tetap bekerja. Tetap mendekor ruangan, tetap mencarai dana, tetap melayani peserta. Tapi kamu..." suara Kak Ari tersendat di ujung kalimat.
"Kamu... Apa yang kamu lakukan Lauren? Kamu justru mendukung temanmu menggunakan dispensasi panitia ini untuk berkencan. Kamu membantunya membolos, Lauren... Lihat! Dia bahkan tidak ada di sini!"
Ah, Kalu!
Aku mengeluh tertahan. Jika saja suasananya lebih santai, jika ia bukan kakak kelas yang harus kuhormati, jika ia tidak sedang salah paham, aku pasti berani mendebatnya dengan makian yang tak kalah memalukan. Baiklah, aku memang introvert, pemalu, apalagi penakut. Tapi ia telah mengusik harga diriku. Ia telah membangunkan singa yang sedang tidur dengan menuduhku sembarang.
Kak Ari maju lebih mendekat, melirikku sekilas dengan tatapan bengis. Pandangannya turun ke bekas kertas rundown yang ada di tangan kiriku. Ia merampasnya tanpa permisi. "Bikin rundown saja nggak becus! Pakai sok-sok jadi pahlawan buat orang-orang bucin! You are too freak, Lauren..." hujatnya sambil sekali lagi merobek-robek bekas kertas rundown itu dihadapanku.
Aku merasa cukup. Merasa ucapan dan perlakuannya sungguh keterlaluan. Tuduhan itu seratus persen keliru. Dengan sudut mata berdenyut, aku menatapnya tak kalah bengis. Tidak pernah aku menatap Kakak kelasku segarang itu. Tapi hari itu, atas apa yang telah diperbuat Kak Ari, aku betul-betul murka padanya. Meski dua minggu kemudian, di malam closing party, aku baru tahu itu semua cuma wujud profesionalitasnya saja. Ia tidak sungguhan ingin mengataiku. Ia bahkan terang-terangan menyebut namaku dalam pidato penutupannya. Memberiku ucapan terimakasih, special thanks.
Aku masih menatpnya marah. Amat marah. Kubiarkan ia melihat sudut mataku yang hampir menumpahkan air. Sejak sepuluh menit lalu, sejak ia mulai memakiku, aku memutuskan diam. Diam berarti emas bukan? Meski terkadang tidak selalu begitu. Tapi malam itu aku memilih menjadi emas. Aku memutuskan tidak membalas makiannya barang sepatah kata pun. Aku diam dan berlari meninggalkan rapat itu tanpa suatu penjelasan. Termasuk pada Kak Ari. Aku tidak meminta izin padanya untuk meninggalkan ruangan. Aku tidak bisa terlihat menangis di depan banyak orang. Tidak bisa! Saat aku marah, saat aku menangis, aku tidak pernah bisa mengucap apapun atau ditemani siapapun. Tidak pernah.
Malam itu, di tengah rapat evaluasi yang selalu bersuasana tegang, di tengah penilaian Kak Ari atas pekerjaanku, aku pergi begitu saja. Membiarkan ia meneriakiku lebih marah lagi. Mengabaikan tatapan-tatapan bingung dari teman-teman. Melupakan puing-puing kertas rundownku yang sudah berserakan di lantai. Melupakan betapa kertas itu masih sangat penting untuk bahan evaluasi timku. Ya Tuhan, aku sungguh melalaikan kertas yang nanti-nanti menjadi amat berharga dalam hidupku. Aku sungguh melalaikannya. Sampai tidak sadar seseorang justru memungutnya jauh setelah aku berlalu pergi.
***